Fikih Utang Piutang (Bag. 8): Mengembalikan Utang atau Pinjaman
Dalam masalah utang piutang, tentunya setelah pihak pengutang meminjam, maka wajib bagi pengutang untuk mengembalikan utangnya. Pada pembahasan kali ini, akan diketahui tentang pengembalian utang dan tata cara pengembalian utang.
Mengembalikan utang atau pinjaman [1]
Tidak diwajibkan sejatinya bagi orang yang meminjam (muqtaridh) untuk mengembalikan barang pinjaman itu sendiri (secara fisik), karena barang yang dipinjam sudah menjadi miliknya secara sempurna dengan cara penerimaan (qabdh), selama penerima atau pengutang tidak mengalami kebangkrutan dan di-hajr (boikot). Dia tidak harus mengembalikannya secara fisik, karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan penuh sejak barang itu diterima dan kemudian telah memanfaatkan barang yang dipinjam tersebut.
Gambaran sederhananya seperti ketika seseorang meminjam uang, tentunya peminjam tidak perlu mengembalikan uang dengan seri yang sama seperti uang ketika ia meminjamnya. Dia cukup mengembalikan sesuai nominal yang dipinjamnya.
Karena utang piutang adalah akad tabarru’ (sosial atau tolong-menolong). Sehingga ketika suatu barang atau uang dipinjamkan, otomatis akan digunakan oleh si pengutang untuk diambil manfaatnya. Setelah manfaat itu diperoleh, maka akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.
Apabila si peminjam mengembalikannya secara fisik (dengan barang yang sama), maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
Keadaan pertama
Barang yang dipinjam adalah barang yang bisa ditakar (mikyal), ditimbang (mauzun), seperti beras, gandum, gula, minyak, dan uang; atau barang yang bisa ukur dengan takaran (menggunakan liter, mud, sha’, dan sebagainya); atau barang yang bisa diukur dengan kilogram, gram, dan sebagainya.
Maka dalam hal ini, si pemberi pinjaman wajib menerimanya tanpa perselisihan dari para ulama. Mengingat barang tersebut dikembalikan dengan sifat yang semisal, selama barang itu belum rusak. Baik harganya berubah ataupun tidak, seperti gandum yang masih utuh atau belum rusak. Dia wajib menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya; sebab itu adalah haknya.
Namun jika barang tersebut ada cacatnya, seperti gandum yang basah atau terlalu kering, atau beras yang rusak, maka pemberi pinjaman berhak menolaknya, karena tidak sesuainya gandum atau beras yang diberikan, dan hal tersebut mengandung kemudaratan.
Keadaan kedua
Barang yang dipinjam adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan (tidak ada persamaannya), yakni barang-barang yang dinilai dengan nominal, seperti pakaian, hewan, dan sejenisnya.
Sebagian ulama berpendapat, pemberi pinjaman tidak mesti menerima barang yang sama itu, bahkan boleh baginya untuk meminta nominal dari barang tersebut. Sebagian lagi berpendapat, bisa dengan dua cara; yaitu mengembalikan dengan nominal barang tersebut atau bisa juga dengan mengembalikan barang tersebut. Sebagaimana dalam hadis,
استسلَفَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بَكْرًا فجاءتهُ إبلٌ منَ الصَّدقةِ ، قالَ أبو رافعٍ: فأمرَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقضيَ الرَّجلَ بَكْرَهُ ، فقلتُ: لا أجدُ في الإبلِ إلَّا جملًا خِيارًا رباعيًا ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أعطِهِ إيَّاهُ ، فإنَّ خيارَ النَّاسِ أحسنُهُم قضاءً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah utang-utang sedekah, Abu Rafi’ mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membayar kepada orang itu unta muda yang pernah beliau pinjam.’ Akupun berkata, ‘Aku tidak menemukan unta kecuali unta-unta bagus yang sudah berusia empat tahun.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan saja kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam menunaikan pembayaran utang.’” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas, dapat diketahui beberapa hal:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam unta muda kepada seseorang, kemudian mengembalikan dengan unta lagi, bahkan dengan unta yang lebih baik.
- Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengembalikan dengan nominal, baik dinar atau dirham.
- Nabi mengembalikan dengan yang lebih baik, dalam hal ini diperbolehkan karena tidak ada persyaratan di awal akad. Jika ada persyaratan di awal akad, maka tidak diperbolehkan.
Keadaan ketiga
Apabila pinjaman itu berupa dinar atau dirham, maka ia (si peminjam) boleh mengembalikannya dengan dinar atau dirham yang sama, dan hukumnya seperti barang-barang yang memiliki padanan (mitsli), karena sama sifatnya, sehigga nilainya tidak berubah.
Namun, jika dinar atau dirham itu sudah dilarang penggunaannya oleh penguasa atau pemerintah, maka pemberi pinjaman tidak wajib menerimanya, karena nilai/harganya telah hilang atau jika dinar atau dirham tersebut sudah tidak digunakan. Maka yang wajib adalah mengembalikan nilainya, yaitu dengan jenis mata uang yang berlaku saat itu.
Dan apabila pinjaman itu dikembalikan dengan selain jenis dinar atau dirham –seperti emas atau perak lain yang bukan sejenis–, maka tidak diperbolehkan, karena hal itu bisa mengantarkan kepada riba.
Cara mengembalikan utang atau pinjaman [2]
Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya harta yang biasanya dijadikan utang piutang terbagi menjadi dua:
Mitsli : Yaitu barang yang terdapat padanannya dan satuannya serupa, bisa saling menggantikan tanpa ada perbedaan berarti, seperti barang takaran, timbangan, barang hitungan yang sama, dan uang.
Qimi : Yaitu barang yang tidak ada padanannya di pasar, atau ada tapi dengan perbedaan nilai yang sangat jauh, seperti hewan, pakaian, dan permata. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Maka ketentuan pengembaliannya sebagai berikut:
– Jika barang pinjaman itu mitsli, maka wajib mengembalikan barang yang sepadan.
– Jika barang pinjaman itu qimi, para ulama berbeda pendapat (sebagaimana yang telah dijelaskan):
- Sebagian berpendapat wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam.
- Sebagian lain berpendapat wajib mengembalikan barang yang sepadan dalam rupa dan sifatnya. Berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijelaskan di atas.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni berkata,
يجب رد المثل في المكيل والموزون. لا نعلم فيه خلافا … فأما غير المكيل والموزون، ففيه وجهان: أحدهما: يجب رد قيمته يوم القرض؛ لأنه لا مثل له، فيضمنه بقيمته، كحال الإتلاف والغصب. والثاني: يجب رد مثله؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكرا، فرد مثله … اهـ.
“Wajib mengembalikan barang sepadan pada barang yang ditakar dan ditimbang, dan ini tidak ada perbedaan pendapat. Adapun selain itu, ada dua pendapat: pertama, wajib mengembalikan nilainya saat dipinjam, karena ia tidak punya padanan; kedua, wajib mengembalikan barang sepadan dalam rupa dan sifatnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda dan beliau mengembalikan unta yang sepadan bahkan lebih baik.”
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 21 Rabi’ul awal 1447/ 14 September 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 193-194.
[2] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/397978
Artikel asli: https://muslim.or.id/109162-fikih-utang-piutang-bag-8.html