Beranda | Artikel
Fikih Hibah (Bag. 3): Rukun Hibah
10 jam lalu

Empat rukun hibah

Agar sebuah proses hibah dianggap sah dalam syariat kita, maka menurut jumhur ulama haruslah terdiri dari empat hal (rukun), yaitu:

Pertama: Orang yang memberi (Al-Waahib);

Kedua: Orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu);

Ketiga: Benda yang diberikan (Al-Mauhuub);

Keempat: Dan sighah (tanda serah terima).

Adapun pemberi (Waahib), maka dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kemudian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama, hibahnya tersebut masuk dalam sepertiga warisannya (menjadi wasiat dan bukan hibah), dan berlaku hukum-hukum wasiat di dalamnya.

Adapun orang yang diberi (Al-Mauhuub Lahu), maka bisa siapa saja. Dengan catatan, apabila hibah tersebut diberikan kepada anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengasuh yang sah dari mereka.

Terkait porsi dan jumlah benda yang diberikan, ulama sepakat bahwa seseorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada orang lain yang bukan kerabatnya. Adapun memberikan semua harta kepada sebagian anaknya saja, atau melebihkan pemberian kepada sebagian anak saja, maka menurut jumhur ulama hukumnya adalah makruh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ

“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir, 21: 71 dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya no. 5104)

Adapun sesuatu yang diberikan (Al-Mauhuub) adalah semua yang dimiliki oleh pemberi. Tidak sah memberikan sesuatu yang bukan miliknya.

Adapun sighah (tanda serah terima), maka semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul termasuk darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian, dan sejenisnya.

Dua macam hibah berdasarkan lafal penyerahannya

Pertama, lafal penyerahan (ijab) berbentuk sharih (terang-terangan)

Misalnya, “Saya menghibahkan benda ini kepadamu.” Atau juga dengan lafal yang umumnya digunakan untuk makna sharih, misalnya, “Saya berikan kepemilikan benda ini kepadamu”, “Saya menjadikan benda ini sebagai milikmu”, “Saya menghadiahkannya kepadamu”, “Saya memberimu makan dengan makanan ini”, dan, “Saya menjadikan binatang ini sebagai tungganganmu”, yang semua ini diucapkan dengan niat hibah.

Hukumnya: Semua ini menjadi hibah, karena pemberian kepemilikan benda itu berlangsung pada waktu itu juga, atau terjadi dengan menjadikannya untuk orang lain tanpa meminta gantinya, semua ini adalah makna dari hibah. Hal ini karena dalam kebiasaan orang-orang, lafal-lafal yang disebutkan di atas tadi menunjukkan pemberian kepemilikan kepada orang lain secara langsung pada waktu itu juga.

Kedua, hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu

Ada tiga istilah umum terkait hibah yang dibatasi dengan syarat atau waktu tertentu:

ʿUmrā

ʿUmrā adalah hibah dengan batasan masa hidup seseorang. Hal ini dahulunya banyak dilakukan oleh orang-orang jahiliyah sebagai bentuk melarikan diri dari syariat waris. Misalnya pemberi berkata, “Aku berikan rumah ini kepadamu selama engkau hidup.” atau “…selama aku hidup.”

Artinya, penerima boleh memanfaatkan atau memiliki barang tersebut selama hidupnya atau selama hidup si pemberi.

Menurut mayoritas ulama (jumhur, yaitu Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Hanafi), hibah ʿumrā sah dan berlaku permanen, bukan hanya terbatas pada masa hidup salah satu dari kedua orang tersebut. Artinya, jika penerima sudah menerimanya, harta itu tetap menjadi miliknya bahkan setelah ia wafat dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَمْسِكُوا علَيْكُم أَمْوَالَكُمْ، وَلَا تُفْسِدُوهَا؛ فإنَّه مَن أَعْمَرَ عُمْرَى فَهي لِلَّذِي أُعْمِرَهَا حَيًّا وَمَيِّتًا، وَلِعَقِبِهِ

Peliharalah harta kalian, dan janganlah kalian merusaknya; karena barangsiapa memberikan hibah ‘umra’, maka pemberian itu adalah untuk orang yang menerimanya, baik selama hidupnya maupun setelah matinya, dan akan menjadi hak keturunannya (keturunan orang yang menerimanya).” (HR. Muslim no. 1625)

Adapun mazhab Maliki membatasi makna ʿumrā pada pemberian manfaat, bukan kepemilikan penuh. Jadi setelah penerima meninggal, barang kembali ke pemberi atau ahli warisnya.

Ruqbā

Ruqbā adalah hibah dengan syarat “siapa yang hidup lebih lama akan memilikinya.” Misalnya pemberi berkata, “Jika aku meninggal lebih dulu, maka rumah ini untukmu; jika engkau meninggal dulu, maka rumah kembali kepadaku.”

Jadi sifatnya semacam “menunggu siapa yang hidup lebih lama.”

Ulama Hanafi dan Maliki menilai hibah ruqbā tidak sah, karena termasuk hibah yang digantungkan pada sesuatu yang belum pasti (gharar). Namun jika dianggap sebagai pinjaman (manfaat), maka sah sebatas itu. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hanbali, ruqbā dipandang sebagai hibah sah, selama penerima telah menerimanya (sudah terjadi qabdh). Kata syaratnya dianggap gugur, sehingga barang tetap menjadi milik penerima secara penuh. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعُمْرَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُعْمِرَهَا وَالرُّقْبَى جَائِزَةٌ لِمَنْ أُرْقِبَهَا

‘’Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.” (HR. An-Nasa’i no. 3724 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih-nya)

Kedua jenis hibah ini pada akhirnya tetap dianggap sebagai hibah mutlak, tidak dapat kembali lagi ke pihak pemberi.

Hibah manfaat

Hibah manfaat adalah pemberian hak pakai (manfaat) suatu barang tanpa memindahkan kepemilikan benda pokoknya (raqabah atau ‘ayn). Contoh, “Aku hibahkan kepadamu manfaat rumah ini selama 10 tahun.”

Dalam fikih, bentuk seperti ini biasanya tidak diperlakukan sebagai “hibah ‘ayn”, tetapi masuk ke rumpun akad ‘āriyah (pinjam pakai) atau masuk dalam kategori akad wakaf/umra/ruqba, tergantung redaksi dan syaratnya.

Hukum “hibah manfaat” menurut pendapat jumhur (banyak ulama Syafi‘iyah, Hanabilah, dan juga Hanafiyah) adalah sah. Namun yang menjadi catatan, akad tersebut bukan lagi disebut “hibah”, akan tetapi disebut akad ‘āriyah (pinjam pakai). Adapun ketentuan akad ‘āriyah (pinjam pakai) yaitu: hak pemanfaatan boleh dicabut dan berakhir saat pihaknya wafat atau masa manfaat selesai.

Ibnu Qudāmah mencontohkan ucapan “Rumah ini untukmu selama hidupmu”, bukan akad yang lazim; ini hibah manfaat (‘ariyah). Sehingga hanya mengikat pada manfaat yang sudah terpakai.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa apabila seseorang menghibahkan pemanfaatan benda yang dimilikinya, maka sejatinya ia hanya ingin memberikan aariyah saja (hak pakai). Dan tidak bermaksud untuk memberikan hak kepemilikan harta sepenuhnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/108984-fikih-hibah-bag-3.html