Beranda | Artikel
Fikih Hibah (Bag. 2): Konsep Hibah dalam Kehidupan Sosial Islam dan Urgensi Pembahasannya dalam Fikih Muamalah
13 jam lalu

Konsep hibah dalam kehidupan sosial Islam

Setelah mengetahui secara singkat pengertian hibah; baik dari segi bahasa ataupun syariat pada artikel sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa hibah (الهبة) berarti “memberikan sesuatu secara cuma-cuma dan sukarela, tanpa ada imbalan dan paksaan selama pihak pemberi masih hidup.” Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau mengatakan,

تَمْلِيكٌ في الحَياةِ بغيرِ عِوَضٍ

“Hibah adalah pemberian hak milik selama pihak pemberi masih hidup tanpa imbalan. (Al-Mughni, 8: 239)

Jika melihat lebih jauh, syariat hibah memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan sosial Islam, hibah bukan sekadar pemberian biasa. Ia adalah simbol kasih sayang, solidaritas sosial, dan distribusi kekayaan secara adil di antara masyarakat. Hibah mendorong seorang muslim untuk tidak tamak terhadap harta, peduli dengan orang lain serta menghilangkan kecemburuan sosial karena terjadinya pemerataan harta secara sukarela.

Hibah juga mempererat hubungan sosial dan ukhuwah; terutama dalam keluarga, tetangga, dan komunitas masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda,

تَهَادُوا تَحَابُّوا

“Salinglah kalian memberi hadiah (hibah), maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594. Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menjelaskan bahwa hibah adalah media sosial yang menguatkan ikatan emosional dan menghapus permusuhan. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar memerintahkan infak dan zakat, tetapi juga mendorong pemberian hibah secara pribadi dan sukarela.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala juga menyebutkan konsep dan dampak baik dari hibah. Tatkala Allah mewajibkan pihak laki-laki untuk memberikan maskawin kepada perempuan yang dinikahinya, Allah Ta’ala berfirman menyebutkan bahwa apabila perempuan tersebut berkehendak untuk memberikan kembali maskawin tersebut sebagai bentuk pemberian kepada suaminya, maka sang suami diperbolehkan untuk mengambilnya dan memanfaatkannya,

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Tetapi jika mereka dengan rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah (ambillah) sebagai sesuatu yang nikmat lagi baik.” (QS. An-Nisa: 4)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian (hibah) yang dilakukan dengan kerelaan hati, maka hukumnya halal dan diberkahi, bahkan diperbolehkan untuk dinikmati oleh penerima.

Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa hibah merupakan instrumen sosial yang sangat ditekankan dalam Islam karena mengandung nilai ibadah, solidaritas, dan keikhlasan. Ia mengangkat martabat sosial dan memperkuat tatanan masyarakat Islam yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan.

Urgensi pembahasan hibah dalam fikih muamalah

Dalam Islam, hibah termasuk dalam ranah muamalah, urusan duniawi yang memiliki implikasi hukum. Akad hibah memindahkan kepemilikan harta dan berpotensi menimbulkan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar.

Sudah begitu banyak cerita yang beredar akan bagaimana sebuah proses hibah yang bertujuan baik pada akhirnya justru menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Hal ini karena minimnya ilmu tentang fikih hibah dan terjadinya kesalahan dalam prosesnya. Berikut adalah beberapa alasan kuat seorang muslim wajib mengetahui seluk beluk mengenai hibah dalam kacamata hukum Islam, sehingga dalam prosesnya dapat sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hibah dapat menimbulkan sengketa hukum apabila tidak dicatat atau disalahgunakan

Dalam Islam, proses akad memiliki berbagai aturan yang wajib dilakukan sehingga akad tersebut menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum. Hal ini berlaku juga untuk akad hibah, dalam prosesnya membutuhkan pencatatan dan kepastian. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Meskipun ayat ini berbicara tentang utang piutang, prinsip pencatatan dan kepastian hukum juga relevan bagi hibah, terutama dalam konteks hibah bersyarat atau hibah dalam jumlah besar (seperti hibah tanah dan rumah). Maka, pencatatan dapat mencegah konflik di masa depan.

Islam begitu tegas menyikapi konflik dan perselisihan, melarang terjadinya hal tersebut dan memberikan solusi yang jelas apabila hal tersebut terlanjur terjadi. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” (QS. An-Nisâ’: 59)

Dengan mengetahui hukum-hukum terkait fikih hibah, maka akan meminimalisir terjadinya pertikaian, sengketa, dan perselisihan di antara kaum muslimin.

Berkaitan dengan hukum waris jika dilakukan menjelang wafat

Di antara kasus yang banyak terjadi adalah pembagian harta yang dilakukan oleh orang tua sebelum meninggal dunia. Terkait hal ini, maka perlu pembahasan mendalam, karena berkaitan erat dengan hukum waris yang ketentuan dan porsinya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Berpotensi disalahgunakan dan menimbulkan ketidakadilan dalam pemberian hibah

Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا

“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”

Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ

“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)

Hadis ini berkaitan dengan kasus hibah yang dilakukan kepada salah satu anak secara berat sebelah. Rasulullah ﷺ menegur perbuatan tersebut dan menyuruh untuk membatalkannya jika tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa hibah memiliki konsekuensi hukum, dan pembahasannya harus serius dalam fikih.

Tiga hal ini cukup menjadi alasan bagi kita akan pentingnya pembahasan fikih hibah secara menyeluruh dan mendalam, agar masyarakat tidak sekadar mengikuti adat atau keinginan hawa nafsu pribadi, tetapi memahami batasan syariat dan mengikuti hukum syariat yang telah ditetapkan.

Urgensi membahas hibah dalam fikih muamalah tidak bisa diabaikan karena hibah bukan hanya urusan pribadi, tapi berdampak pada keadilan hukum, keharmonisan keluarga, dan kestabilan sosial. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui batasan hukum hibah agar dapat mengamalkannya secara syar’i dan adil. Wallahu a’lam bissowaab.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/108925-fikih-hibah-bag-2.html