Kisah Jihad Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)
Ulama rabbani adalah hamba Allah Ta’ala dalam setiap waktu dan keadaan. Jika ia berada di masjid, maka ia adalah pengajar, pemberi nasihat, dan pembimbing. Jika ia berada di mimbar, maka ia adalah khatib yang fasih dan berpengaruh. Jika ia berada di jalan, maka ia selalu berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, atau memberikan nasihat. Dan jika panggilan jihad berkumandang, ia adalah yang pertama memenuhi seruan itu. Jika dua pasukan bertempur, ia adalah pejuang yang gagah berani, pembela yang berani dan tangguh. Jika ada tempat kosong di garis pertahanan, ia adalah yang pertama mengisinya karena ia mengetahui keutamaannya dan betapa pentingnya hal itu.
Ulama juga masuk ke tengah barisan, menyemangati para prajurit, mengangkat semangat mereka, membacakan ayat-ayat tentang jihad, syahid, dan penjagaan perbatasan, serta menjanjikan kemenangan yang telah Allah janjikan kepada mereka. Inilah yang menjadi keadaan Ibnu Taimiyah.
Keberaniannya di medan perang telah menjadi kisah yang dikenang banyak orang, baik dari mereka yang sezaman dengannya maupun yang menuliskan biografinya. Ia menghadapi kematian dengan gagah berani saat bertemu musuh, dan para pejuang tidak melihatnya kecuali setelah pertempuran usai. Namun, saat perang berlangsung, siapa pun yang melihatnya akan melihatnya seperti singa perkasa yang menyerang dengan gagah, bergerak lincah, bertempur melawan musuh dengan penuh keberanian, mengharapkan syahid.
Jika ia melihat pasukan lemah, ragu, atau takut, ia menyemangati mereka, menguatkan hati mereka dengan membacakan ayat-ayat jihad. Mereka yang melihatnya berperang dan menunjukkan keberaniannya pun ikut bersemangat. Menelusuri semua pertempuran yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah serta mencatat seluruh keberaniannya bukanlah tugas yang mudah. Bahkan jika bisa dihitung, mencatat dan merangkumnya akan membutuhkan tulisan yang panjang. Namun, kita dapat merujuk pada beberapa peristiwa yang menunjukkan keberanian dan ketegasannya terhadap berbagai musuh, yaitu sebagai berikut:
1) Jihad dan pertempurannya melawan bangsa Tartar;
2) Jihad dan pertempurannya melawan kaum Nasrani;
3) Jihadnya melawan kaum Rafidhah dan para penyerang lainnya. [1]
Perang melawan bangsa Tartar
Salah satu peristiwa penting adalah sikapnya terhadap Raja Tartar, Ghazan. Pada tahun 699 H, ia bersama delegasi dari tokoh-tokoh terkemuka Damaskus pergi menemui raja tersebut. Dalam pertemuan itu, Ibnu Taimiyah berbicara dengan tegas dan keras kepada Ghazan. Keberanian dan ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran menjadi salah satu faktor yang membuat raja tersebut tidak menyerang Damaskus.
Setelah pasukan Tartar pergi, masyarakat tetap merasa takut akan kemungkinan mereka kembali menyerang. Oleh karena itu, penduduk berkumpul di sekitar tembok kota untuk menjaga dan mempertahankan negeri mereka. Setiap malam, Ibnu Taimiyah berkeliling di antara mereka, menguatkan hati mereka, dan menanamkan keteguhan dalam diri mereka.
Kemudian, pada tahun 700 H, tersebar kabar bahwa pasukan Tartar akan kembali menyerang Syam. Ketakutan pun melanda masyarakat. Banyak pejabat, bangsawan, serta ulama yang melarikan diri. Namun, Ibnu Taimiyah tetap teguh dan duduk di masjid besar (masjid Jami’), mengobarkan semangat jihad di tengah masyarakat, melarang mereka untuk lari, dan mendorong mereka agar berinfak di jalan Allah.
Ketika tersebar kabar bahwa Sultan mundur dari peperangan, Ibnu Taimiyah segera melakukan perjalanan menemuinya. Ia pergi ke Mesir untuk mendorong Sultan agar tetap berjuang dan menguatkan hatinya, serta menjanjikannya kemenangan dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Dengan nada tegas, ia berkata kepada Sultan, “Jika kalian berpaling dari Syam dan tidak melindunginya, maka kami akan mengangkat seorang pemimpin yang akan menjaganya dan mengelolanya di masa damai.” [2]
Keberanian Ibnu Taimiyah semakin bersinar dalam jihadnya pada perang Syakhab tahun 702 H. Ia mengobarkan semangat jihad, menguatkan hati Sultan, para panglima, serta para tentara, dan menjanjikan mereka kemenangan. Ia mendatangi Khalifah dan Sultan secara bergantian, menyemangati mereka, dan menguatkan mental mereka.
Hingga akhirnya, Allah menganugerahkan kemenangan kepada kaum Muslimin. Setelah kemenangan itu, kedudukan Ibnu Taimiyah semakin tinggi di mata rakyat dan para pemimpin. Semua orang menyadari keutamaan dan perannya yang besar dalam meraih kemenangan tersebut.
Perang melawan kaum Nasrani
Adapun jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani, hal ini diceritakan oleh murid sekaligus sahabatnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, berdasarkan kesaksian orang-orang yang melihatnya langsung. Ia berkata,
“Mereka menceritakan bahwa mereka melihat keberanian luar biasa yang sulit digambarkan dengan kata-kata di dalam diri Ibnu Taimiyah dalam penaklukan ‘Akka. Mereka berkata, ‘Bahkan, beliaulah yang menjadi penyebab utama keberhasilan kaum Muslimin dalam menaklukkan kota itu, berkat tindakan dan nasihatnya.’” [3]
Kemudian, di antara perjuangan Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani adalah peristiwa ketika Sultan Ghazan menguasai kota Damaskus. Saat itu, Raja Karaj datang kepadanya dan menawarkan harta yang sangat banyak sebagai imbalan agar ia diberi kesempatan untuk membantai kaum Muslimin di Damaskus.
Ketika berita ini sampai kepada Ibnu Taimiyah, ia segera bangkit tanpa ragu, menyemangati kaum Muslimin, mendorong mereka untuk meraih syahid, serta menjanjikan kemenangan, keamanan, dan hilangnya ketakutan. Maka, sejumlah tokoh dan pemuka dari Damaskus berangkat bersamanya menuju Sultan Ghazan.
Ketika mereka tiba di hadapan Sultan, ia bertanya, “Siapa mereka ini?”
Dijawab, “Mereka adalah para pemimpin Damaskus.”
Maka Sultan pun mengizinkan mereka masuk.
Ibnu Taimiyah maju terlebih dahulu, dan saat Sultan Ghazan melihatnya, Allah menanamkan rasa segan yang besar dalam hatinya. Sultan segera mendekatkannya dan mempersilakannya duduk. Kemudian, Ibnu Taimiyah mulai berbicara, menolak keputusan Sultan yang hendak memberikan kekuasaan kepada Raja Karaj untuk membantai kaum Muslimin. Ia juga menjamin akan mengumpulkan harta sebagai pengganti tawaran Raja Karaj, serta mengingatkan Sultan tentang keharaman menumpahkan darah kaum Muslimin.
Dengan penuh hikmah, ia menasihati dan memberi peringatan kepada Sultan Ghazan. Akhirnya, Sultan menerima nasihatnya dengan sukarela dan membatalkan rencana tersebut. Dengan demikian, berkat perjuangan Ibnu Taimiyah, darah kaum Muslimin terselamatkan, anak-anak mereka terlindungi, dan kehormatan mereka tetap terjaga. [4]
Dari kisah ini, jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Nasrani tidak hanya berupa pertempuran langsung dengan pedang, tetapi juga perjuangan melalui diplomasi, yaitu dengan menggagalkan rencana mereka untuk membantai kaum Muslimin melalui persekutuan dengan pasukan Tartar.
Jihad melawan Rafidhah dan para penyerang
Adapun jihad Ibnu Taimiyah melawan kaum Rafidhah dan para penyerang, salah satu peristiwanya terjadi pada tahun 704 H. Saat itu, beliau terus berjuang dengan penuh keteguhan melawan penduduk pegunungan Kisrawan. Beliau mengirim surat ke berbagai wilayah Syam, mendorong umat Islam untuk memerangi mereka, serta menegaskan bahwa perang ini adalah bagian dari jihad di jalan Allah.
Kemudian, beliau sendiri memimpin pasukan untuk menyerang wilayah tersebut, bersama dengan pemimpin wilayah (wakil Sultan) dan pasukan yang menyertainya. Mereka terus mengepung penduduk Kisrawan hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka. [5]
Setelah Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, penduduk Kisrawan diusir, fitnah mereka dipadamkan, dan mereka dipaksa untuk mengikuti syariat Islam dalam ucapan, perbuatan, dan keyakinan.
[Bersambung]
Baca juga: Perlengkapan Jihad Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ibnu Taimiyyah, karya Syaikh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 36; dengan sedikit pengubahan oleh penulis.
[2] Al-Bidayah wa An Nihayah, karya Ibnu Katsir, 14: 15.
[3] Al-A’lam Al-‘Aliyyah, karya Al-Hafizh Al-Bazzar, hal. 30; dengan sedikit perubahan.
[4] Ibid, hal. 63-64; dengan sedikit perubahan.
[5] Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, karya Ibnu Abdi Al-Hadi, hal. 148-149; dengan sedikit perubahan.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107717-kisah-jihad-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-1.html