Fikih Utang Piutang (Bag. 4)
Seluruh jenis harta yang sah diperjualbelikan, maka sah pula untuk dijadikan sebagai objek utang piutang
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan soal rukun dan syarat-syarat utang piutang. Selain hal-hal tersebut, tentunya terdapat hal yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu jenis-jenis harta yang boleh untuk dijadikan sebagai objek utang.
Secara umum, seluruh jenis harta yang sah diperjualbelikan, maka sah pula untuk dijadikan sebagai objek utang piutang. Inilah kaidah utama tentang objek utang. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Rafi’, beliau berkata,
أَنَّ رَسُول اللَّهِ اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِل الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُل بَكْرَهُ ، فَرَجَعَ أَبُو رَافِعٍ فَقَال: لَمْ أَجِدْ فِيهَا إِلاَّ خِيَارًا بَعِيرًا رُبَاعِيًّا، فَقَال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ، إِنَّ خَيْرَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah meminjam seekor unta muda (bakr) dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah kepadanya unta-unta dari unta-unta sedekah. Maka beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta muda laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi’ kembali kepadanya dan berkata, ‘Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali seekor unta pilihan yang telah mencapai usia ruba’i (gigi seri depannya telah tumbuh semua).’ Maka beliau bersabda, ‘Berikanlah kepadanya unta itu, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim no. 1600)
Sisi pendalilan dari hadis tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta muda. Dan unta adalah salah satu hewan yang boleh diperjualbelikan. Oleh karena itu, boleh pula untuk dijadikan sebagai objek dari utang piutang. Sehingga para ulama mengambil kaidah dari hadis di atas bahwa segala hal yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk dijadikan objek utang.
Perselisihan ulama perihal objek utang
Para ulama berselisih pendapat tentang apa saja yang bisa dijadikan sebagai objek utang [1],
Hanafiyah
Qardh (utang) hanyalah sah pada barang yang sifatnya bisa diganti dengan yang serupa. Tidak sah jika dalam bentuk nominal yang sifatnya tidak stabil dan tidak serupa dalam taksiran harganya. Seperti yang berkaitan dengan hewan, properti, dan sejenisnya. Alasannya, hal itu akan menyebabkan perselisihan akibat perbedaan penilaian terhadap harga barang yang dipinjam. Maka disyaratkan barang yang dipinjam adalah barang senilai nominalnya.
Jumhur ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa sah hukumnya meminjam segala hal yang boleh dilakukan akad salam atasnya, baik berupa hewan atau selainnya, selama bisa dimiliki dengan cara jual beli dan dapat ditentukan sifatnya, walaupun termasuk barang-barang yang taksiran harganya berbeda-beda.
Hal ini karena keabsahan akad qardh itu termasuk bentuk tolong-menolong. Sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi ﷺ bahwa beliau meminjam seekor unta muda dan mengembalikannya dengan unta yang lebih baik. Sehingga diqiyaskan dengan hal tersebut.
Adapun sesuatu yang tidak boleh dijadikan objek salam (jual beli pesanan), yaitu sesuatu yang tidak dapat ditentukan dengan sifatnya, seperti permata dan sejenisnya, maka tidak sah untuk dipinjamkan menurut mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah.
Hanabilah
Pendapat mu’tamad (resmi) menurut mazhab Hanbali yaitu membolehkan untuk meminjam segala barang yang bisa dijadikan objek jual beli, berupa utang yang sifatnya barang senilai atau yang sifatnya utang harta (nominal), baik bisa ditentukan sifatnya ataupun tidak.
Objek utang dari komoditi ribawi
Timbul pertanyaan, apakah boleh menjadikan komoditi ribawi sebagai objek dari utang? Dari perselisihan di atas, dapat diketahui bahwasanya tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwasanya akad utang piutang sah dengan menggunakan komoditi ribawi yang enam. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum bulat dijual dengan gandum bulat, sya’ir (salah satu jenis gandum panjang) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim)
Berikut ini komoditi ribawi yang enam dari hadis di atas:
- Emas
- Perak
- Gandum bulat
- Gandum panjang
- Kurma
- Garam
Artinya, keenam komoditi ini boleh untuk dilakukan pinjaman atau utang. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ اسْتِقْرَاضَ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ، وَالْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ، وَمَا كَانَ لَهُ مِثْلٌ مِنْ سَائِرِ الْأَطْعِمَةِ الْمَكِيلِ مِنْهَا وَالْمَوْزُونِ جَائِزٌ
“Seluruh ulama yang kita ketahui telah sepakat bahwa meminjam dinar (emas), dirham (perak), gandum bulat, gandum panjang, anggur kering (kismis), kurma, dan seluruh jenis makanan yang memiliki padanan (yang sejenis), baik yang ditakar maupun ditimbang, hukumnya boleh.” [2]
Kembali kepada definisi qardh (utang) yaitu,
دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَهُ
“Memberikan harta kepada orang lain agar ia memanfaatkan, dengan syarat akan dikembalikan ganti (yang serupa).”
Maka, objek utang dalam fikih adalah sesuatu yang memiliki nilai harta (nominal) dan bisa diganti dengan nominal yang serupa. Lalu bagaimana dengan emas? Apakah harus dikembalikan dengan nominal yang serupa ketika meminjam? Atau menyesuaikan nominal pada hari mengembalikan emas tersebut?
In syaa Allah akan dijelaskan pada pembahasan setelahnya.
Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 1 Safar 1447/ 25 Juli 2025
Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud.
Shahih Fiqh Sunnah (Jilid 5), karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Al-Isyraf ‘Ala Madzaahibil ‘Ulama, karya Ibnul Mundzir.
Catatan kaki:
[1] Shahih Fiqh Sunnah, 5: 72-73.
[2] Al-Isyraf ‘ala Madzaahibil ‘Ulama, 6: 142.
Artikel asli: https://muslim.or.id/108034-fikih-utang-piutang-bag-4.html