Beranda | Artikel
Syahwat: Ujian Tersulit untuk Laki-Laki
21 jam lalu

Di balik wajah-wajah saleh, di balik hafalan ayat-ayat dan hadis, tersimpan satu ujian besar yang terus datang menghampiri: syahwat. Datang tidak mengenal waktu, tidak mengenal usia, tidak pula mengenal tingkat keimanan. Betapa banyak lelaki yang terjebak dalam siklus menyesal dan mengulang dosa yang sama, lalu bertanya dalam hati:

“Mengapa ujian ini begitu sulit aku tinggalkan?”

Tidak sedikit yang sudah mencoba berbagai cara: mandi air dingin, puasa sunah, menghindari media sosial, meninggalkan teman yang buruk, namun syahwat tetap datang menggoda dalam bentuk yang baru. Bahkan, semakin besar upaya melawannya, terkadang semakin besar pula dorongan yang muncul dari dalam diri. Sebuah pertanyaan pun terbit di benak: mengapa Allah menciptakan dorongan ini begitu kuat dalam diri laki-laki?

Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenungi hikmah besar yang tersembunyi di balik penciptaan syahwat. Bukan untuk dihilangkan, bukan pula untuk dipadamkan, melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan. Di sinilah letak ujian yang sejati—sebuah perjuangan batin yang justru dapat menjadi jalan menuju keridhaan Allah.

Syahwat itu fitrah, bukan aib

Salah satu kesalahan besar dalam memahami syahwat adalah menganggapnya sebagai aib. Banyak laki-laki yang merasa berdosa hanya karena memiliki dorongan seksual, padahal syahwat adalah bagian dari fitrah manusia. Bahkan Nabi ﷺ sendiri menyatakan bahwa di antara hal yang dicintainya di dunia adalah perempuan dan wewangian, sedangkan penyejuk matanya adalah salat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة

“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan ketentraman (hatiku) ada pada salatku.” (Sunan An-Nasa’i, 7: 61 no. 3939)

Laki-laki yang memiliki syahwat bukanlah pribadi yang hina. Ia justru sedang membawa bekal penting dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Tanpa syahwat, pernikahan menjadi hampa, dan rumah tangga kehilangan semangat kehangatan. Islam tidak pernah melarang perasaan, tapi justru mengarahkannya ke tempat yang benar.

Sebagaimana Adam dan Hawa diuji di surga dengan larangan mendekati pohon tertentu, demikian pula manusia diuji hari ini untuk tidak mendekati hal-hal yang mendekatkan pada zina. Larangan dalam Islam bukan hanya pada perbuatan zina, tapi juga segala jalan yang bisa mengantarkannya. Karena itulah, menjaga pandangan dan menjauhi khalwat menjadi bagian dari solusi preventif yang diajarkan Islam.

Allah Ta’ala berifrman,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Maka memahami bahwa syahwat adalah fitrah adalah langkah pertama untuk menyikapinya dengan bijaksana. Kita tidak perlu malu memilikinya, tapi juga tidak boleh membiarkannya liar tak terkendali. Syahwat adalah pedang bermata dua—bisa menjadi pahala besar, bisa juga menjadi jalan celaka.

Syahwat itu netral, kitalah yang mengarahkan

Allah menciptakan syahwat dalam kondisi netral, tidak baik dan tidak buruk. Yang menentukan nilainya adalah bagaimana kita menggunakannya. Saat diarahkan kepada yang halal, ia menjadi ibadah. Tapi jika disalurkan kepada yang haram, ia berubah menjadi dosa yang bisa menyeret manusia ke jurang kehinaan.

Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa hubungan suami istri yang dilakukan dengan niat yang benar adalah sedekah. Para sahabat keheranan, bagaimana mungkin memenuhi syahwat bisa berpahala? Rasulullah ﷺ menjawab dengan logika yang sangat jernih,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim no. 2376)

Pernyataan ini menunjukkan betapa Islam tidak memerangi dorongan seksual, tetapi menempatkannya pada tempat yang terhormat. Inilah keindahan syariat: tidak mengekang, tapi memberi arah. Setiap kali seorang suami mendekati istrinya dengan niat yang baik, ia bukan hanya memuaskan dirinya, tetapi juga tengah menabung pahala.

Namun sebaliknya, jika syahwat tidak dikendalikan, pasti akan berujung bencana. Betapa banyak rumah tangga hancur karena perselingkuhan. Betapa banyak anak lahir tanpa ayah karena zina. Betapa banyak hati yang hancur karena hawa nafsu yang tak dikekang. Maka kendalikanlah syahwat, karena syahwat bisa menjadi tangga surga atau jalan menuju neraka.

Baca juga: Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah

Lingkungan menentukan, pilihan tetap di tangan kita

Zaman ini menyuguhkan banyak pemicu syahwat: iklan, media sosial, film, musik, bahkan percakapan sehari-hari. Setiap hari, mata dan telinga kita dipenuhi dengan hal-hal yang menggugah hawa nafsu. Tanpa disadari, fitnah itu masuk perlahan ke dalam hati, membekas dan menghitamkan cahaya iman.

Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,

تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.

“Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam; sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim no. 144; Ahmad, 5: 405; sahih)

Nabi ﷺ mengibaratkan hati yang terkena fitnah seperti bejana. Ada yang tetap putih bersih karena selalu menolak fitnah, dan ada pula yang hitam terbalik, tak lagi bisa menerima kebaikan, hanya menuruti apa yang sesuai hawa nafsu. Inilah akibat dari terus-menerus mengikuti syahwat tanpa usaha untuk melawan.

Namun, seburuk apa pun lingkungan, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk menjaga pandangan, menahan lisan, dan menghindari pergaulan yang mendekatkan pada maksiat. Tidak mudah memang, tapi setiap usaha sekecil apa pun di jalan ini, sangat berarti di sisi Allah Ta’ala.

Sebagaimana seseorang tidak menjadi pecandu sejak hari pertama, begitu pula kemuliaan tidak diraih dalam sekejap. Proses menundukkan syahwat adalah jihad yang panjang. Mungkin kita akan terjatuh berulang kali, tapi selama kita bangkit dan kembali kepada Allah Ta’ala, maka harapan selalu terbuka, insyaa Allah.

Menjadikan syahwat sebagai jalan menuju surga

Laki-laki yang berhasil menundukkan syahwatnya adalah pahlawan sejati. Bukan pahlawan di medan perang, tapi pahlawan di medan jiwa. Dialah yang sabar menunggu yang halal, yang menjaga diri dari haram, yang menjadikan hawa nafsu sebagai pelayan, bukan tuan. Ia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk memberikan derajat yang lebih tinggi.

Ketika Allah menguji dengan sesuatu, itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguatkan. Ujian syahwat adalah cara Allah mendidik para lelaki agar menjadi pemimpin yang tangguh, suami yang bertanggung jawab, dan hamba yang taat. Semakin besar ujian, semakin besar pula potensi pahala dan kedekatan dengan Allah.

Syahwat yang diarahkan ke dalam pernikahan menjadi sumber ketenangan. Bahkan, ketika belum mampu menikah, Nabi ﷺ mengajarkan solusi, yaitu puasa. Puasa juga merupakan sarana melemahkan dorongan hawa nafsu dan menguatkan kedekatan dengan Allah Ta’ala.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Akhirnya, kita sadar bahwa tujuan hidup bukanlah menghilangkan syahwat, tapi mengendalikannya demi meraih rida Allah. Inilah jalan para Nabi, para shalihin, dan inilah jalan kita. Jika kita bersabar dalam menahan yang haram, Allah akan memberi lebih dari yang kita duga di dunia maupun akhirat.

Wallahu a’lam.

Baca juga: Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/107883-syahwat-ujian-tersulit-untuk-laki-laki.html