Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 2)
Kandungan hadis (lanjutan)
Kandungan keempat
Hadis ini menjadi dalil bahwa apabila seorang suami menemukan cacat pada istrinya setelah menikah dan telah menemui (berduaan dengan) istrinya, maka istri tetap berhak mendapatkan mahar yang telah diberikan secara penuh, baik telah terjadi hubungan suami istri maupun hanya khalwah (berduaan) saja—menurut salah satu pendapat ulama dalam hal ini.
Hal ini didasarkan pada riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan dalam kasus seorang lelaki yang menikahi seorang wanita,
إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ
“Apabila tirai telah diturunkan (yakni telah berada berdua dalam satu tempat tertutup, pent.), maka mahar menjadi wajib.” Riwayat ini bersifat mauquf, namun derajatnya sahih sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [1], dan hal serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. [2]
Sementara itu, Ibnu Abbas, Ibnu Hazm, dan sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa wanita tersebut hanya berhak mendapatkan setengah mahar (apabila berduaan saja, namun belum terjadi hubungan badan). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ ٱمْرَأَتُهُ، ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَزَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَمَسَّهَا، قَالَ: عَلَيْهِ نِصْفُ ٱلصَّدَاقِ
“Apabila seorang lelaki telah didatangi istrinya, lalu menceraikannya, namun mengaku tidak menyentuhnya, maka tetap wajib baginya membayar setengah mahar.” [3]
Pendapat ini didukung oleh firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (bayarlah) setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat ini adalah jima’ (hubungan suami istri).
Adapun jika pembatalan pernikahan (fasakh) terjadi sebelum suami berduaan (khalwah) dengan istri, maka wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar, baik pembatalan itu berasal dari pihak wanita maupun pria. Jika dari pihak wanita, berarti perpisahan terjadi atas kehendaknya sendiri. Jika dari pihak pria, maka pembatalan terjadi karena ada cacat (aib) pada wanita yang sebelumnya disembunyikannya.
Kandungan kelima
Hak untuk bercerai (tidak meneruskan pernikahan) antara suami dan istri tetap berlaku apabila ditemukan cacat (aib), menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Hak tersebut tidak hilang (gugur) hanya karena sikap diam saja (baca: belum menentukan sikap) dari salah satu pihak; karena “diam” bisa jadi berasal dari sikap menunggu atau berharap adanya kesembuhan. Hak itu hanya hilang atau gugur jika ada tanda yang jelas menunjukkan persetujuan (artinya, rida dengan adanya cacat tersebut, pent.), baik disampaikan secara tegas atau tersirat, misalnya dengan mengatakan, “Saya rida,” atau “Saya gugurkan hak saya,” atau dengan menyetujui adanya pernikahan itu sendiri.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, hak untuk bercerai langsung berlaku apabila ditemukan cacat (aib). Jika pemilik hak tersebut diam sampai lewat batas waktu yang cukup untuk mengajukan perkara ke hakim, namun dia tidak mengajukannya, maka dia dianggap rida (menerima adanya cacat tersebut).
Pendapat pertama (mazhab Hanafi dan Hanbali) dianggap lebih tepat, karena sisi pendalilannya yang lebih kuat [4]. Namun dikatakan bahwa perkara ini juga bergantung pada ijtihad hakim, dan tidaklah mustahil bagi hakim untuk memilih salah satu pendapat sesuai dengan kemaslahatan suami istri tersebut.
Kandungan keenam
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah suami yang tertipu karena adanya cacat (aib) pada istrinya dan terjadi pembatalan (fasakh) setelah melakukan hubungan suami istri, apakah ia boleh meminta kembali maharnya, dan kepada siapa mahar itu harus dikembalikan. Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Suami berhak menuntut kembali mahar dari pihak yang menipu, yaitu wali atau wakil, karena hal ini merupakan kerugian (ghurm) yang menimpa suami akibat adanya penipuan dari pihak tersebut. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, sebagian ulama Syafi’i, dan merupakan pendapat yang paling sahih dari dua riwayat Ahmad. [5] Mereka berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,
وَهُوَ لَهُ عَلَىٰ مَن غَرَّهُ مِنْهَا
“Mahar itu menjadi haknya suami kepada orang yang menipunya.”
Namun syaratnya, wali atau wakil tersebut harus mengetahui cacat itu sebelumnya. Jika ia tidak mengetahui, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar, karena ucapan “kepada orang yang menipunya” menunjukkan bahwa penipuan harus dilakukan dengan pengetahuan.
Pendapat kedua: Suami tidak dapat menuntut kembali mahar dari siapa pun, karena mahar telah menjadi miliknya setelah istrinya diserahkan kepadanya, sama seperti barang cacat yang sudah dipakai dan kemudian diketahui cacatnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Syafi’i dalam pandangan barunya (qaul jadid), dan ada riwayat dari Ahmad, meskipun Ahmad kemudian meninggalkan pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah [6] dan setelahnya oleh az-Zarkasyi [7]. Karena itu, kebanyakan ulama Hanbali berpegang pada pendapat pertama. [8]
Dan asy-Syaukani memilih pendapat ini berdasarkan bahwa perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak dapat dijadikan dalil karena itu adalah ucapan seorang sahabat, dan menjatuhkan kewajiban kepada pihak lain tanpa dalil tidak diperbolehkan. [9] Namun, pendapat yang membolehkan suami untuk menuntut kembali mahar juga memiliki kekuatan, dengan mengambil dasar dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, serta karena pendapat ini dapat mencegah terjadinya penipuan. Karena jika pihak wali atau yang lainnya mengetahui bahwa suami dapat menuntut mahar kembali, maka dia mungkin akan berpikir ulang sebelum melakukan penipuan tersebut.
Kandungan ketujuh
Hadis ini menjadi dalil bahwa ‘unnah (impotensi yang parah) adalah cacat yang membatalkan pernikahan setelah terbukti kebenarannya. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, pembatalan itu ditunda selama satu tahun sejak diajukan ke hakim, kecuali jika ada halangan seperti sakit atau ihram, agar melewati empat musim (satu tahun). Jika suami bisa melakukan hubungan suami istri selama masa tersebut, maka jelas bahwa dia tidak impoten. Jika tidak, maka istri diberi pilihan antara tetap tinggal bersama suami atau berpisah, sesuai dengan keputusan Umar dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka juga berlandaskan pada firman Allah Ta’ala,
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“(Yakni) menahan (tidak cerai) dengan cara yang baik atau membiarkan (cerai) dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Termasuk dalam “menahan dengan cara yang baik” adalah melakukan hubungan suami istri.
Dalam hal ini, ilmu kedokteran modern juga dapat digunakan untuk memahami persoalan impotensi. Jika menurut ilmu kedokteran (pemeriksaan medis terpercaya) bahwa impotensi tersebut tidak dapat diobati, maka tidak ada faidahnya menunda selama satu tahun. Dalam kasus ini, pernikahan boleh langsung dibatalkan jika salah satu pihak menginginkannya. Terdapat riwayat dari Utsman, Mu’awiyah, dan Samurah radhiyallahu ‘anhum tentang membatalkan pernikahan karena impotensi secara langsung tanpa perlu menunda satu tahun. [10]
Kandungan kedelapan
Di antara cacat dalam pernikahan adalah kemandulan, yaitu tidak dapat menghasilkan keturunan, baik masalahnya di pihak suami atau di pihak istri. Pendapat yang lebih kuat di kalangan para ulama adalah bahwa hal itu termasuk cacat yang memberikan hak memilih (antara memilih untuk bertahan atau meminta cerai) bagi istri apabila ternyata suaminya diketahui mandul. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul Qayyim, dan juga Syekh Muhammad bin Ibrahim. Hal ini karena mendapatkan keturunan termasuk salah satu tujuan terpenting dari pernikahan. [11]
Adapun jika istri yang mandul, maka sebagian ulama mengatakan bahwa itu bukan termasuk cacat, karena suami bisa menikah lagi dengan wanita lain dan tetap mempertahankan istrinya yang mandul karena rasa cinta kepadanya. Bahkan, Al-Qurthubi rahimahullah menukil adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa istri yang mandul dan tidak bisa melahirkan tidak bisa dijadikan alasan untuk pembatalan pernikahan. [12] Ini juga merupakan pendapat yang secara lahiriyah dipilih oleh Syekh Ibnu Ibrahim. Adapun Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tidak membahas tentang kemandulan istri. Mungkin beliau berpendapat bahwa laki-laki yang menginginkan keturunan masih bisa menikah lagi, berbeda dengan perempuan yang tidak memiliki opsi tersebut, sehingga diberikan kepadanya hak untuk membatalkan pernikahan apabila suaminya mandul.
Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallāhu ‘anhu bahwa beliau pernah mengutus seorang laki-laki untuk mengurusi urusan zakat. Laki-laki itu kemudian menikahi seorang wanita, namun ternyata laki-laki itu mandul. Ketika ia kembali kepada Umar, ia menceritakan hal tersebut. Maka Umar berkata,
هَلْ أَعْلَمْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ؟
“Apakah engkau telah memberitahunya bahwa engkau mandul?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Maka Umar berkata,
فَانْطَلِقْ فَأَعْلِمْهَا، ثُمَّ خَيِّرْهَا
“Pergilah dan beritahukan kepadanya, kemudian berikan kepadanya pilihan (untuk tetap bersamamu atau berpisah).” [13]
Saat ini, pemeriksaan medis sebelum pernikahan telah menjadi bagian dari prosedur yang termasuk dalam akad nikah di bawah naungan Kementerian Kehakiman di Kerajaan Arab Saudi. Hal ini dilakukan karena mengandung banyak kemaslahatan, sebab pemeriksaan sebelum pernikahan dapat mengungkap kemampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi penyakit keturunan dan penyakit menular yang berbahaya, yang bisa berdampak pada kelumpuhan dan pengobatannya mungkin sulit atau tidak memungkinkan. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan juga tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pernikahan. [14] Wallahu Ta’ala a’lam. [15]
[Selesai]
***
@Unayzah, KSA; 20 Muharam 1447/ 15 Juli 2025
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Muwatha’, 2: 528; diriwayatkan pula oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201.
[2] Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, 1: 201; Al-Baihaqi, 7: 255; dengan sanad yang sahih.
[3] Diriwayatkan oleh Sa’id (1: 204), dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaym, yang sanadnya lemah dan bercampur, namun hadis ini memiliki pendukung (syahid) pada riwayat al-Baihaqi (7: 254) dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas dengan makna serupa. Riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tersebut memiliki sedikit perbedaan, namun tetap dapat digunakan untuk memperkuat jalur Laits bin Abi Sulaym. Lihat Ahkam an-Nikah, hal. 141.
[4] Al-Furqatu baina Az-Zaujain, hal. 124.
[5] Al-Mughni, 10: 64.
[6] Al-Mughni, 10: 64.
[7] Al-Mughni, 5: 250.
[8] Al-Kafi, 2: 687; Al-Mubdi’, 7: 111.
[9] Nailul Authar, 6: 178.
[10] Lihat Zadul Ma’ad, 5: 181; Asy-Syarhul Mumti’, 12: 207.
[11] Al-Ikhtiyarat, hal. 222; Zadul Ma’ad, 5: 181-182; Fatawa Ibnu Ibrahim, 10: 165; Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19: 11-12, 396.
[12] Tafsir Al-Qurthubi, 3: 94.
[13] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq, 6: 162; Sa’id, 2: 55; perawinya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya).
[14] Lihat Diraasaat Fiqhiyyah fii Qadhaaya Thibbiyyah Mu‘aashirah, 1: 333; Mustajaddāt fii Qadhaaya az-Zawaaj wa ath-Thalaaq, hal. 83; A‘maal wa Buḥuuts ad-Dawrah as-Saabi‘ah ‘Asharah lil-Majma‘ al-Fiqhi fi Makkah, 4: 301; Masaa’il Fiqhiyyah Mu‘aashirah, 1: 7; Manhaj al-Islaam fii Salaamat ad-Dzurriyyah min al-Amraadh al-Wiraatsiyyah, hal. 39.
[15] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 308-320). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107666-membatalkan-pernikahan-karena-adanya-aib-bag-2.html