Beranda | Artikel
Tepatkah Ucapan, Iman Itu Letaknya di Hati?
Rabu, 4 Juni 2025

“Iman itu di hati, yang penting hatinya bersih.”

“Tidak apa-apa dia tidak berjilbab, yang penting hatinya suci.”

“Tidak masalah jarang salat, asalkan sopan dan baik kepada sesama.”

Ungkapan-ungkapan semacam ini kerap muncul ketika ada kekeliruan atau kekurangan dalam aspek lahiriah ibadah, lalu dibenarkan dengan alasan kebersihan hati. Namun, benarkah hal tersebut dalam pandangan Islam?

Penggunaan istilah iman itu di hati” terdapat dua jenis, penggunaan dari aspek akidah dan penggunaan dalam aspek sehari-hari.

Penggunaan dalam aspek akidah

Dalam pembahasan keimanan, para ulama bersepakat bahwa keimanan terealisasi bila terdapat tiga aspek: mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan merealisasikan dengan perbuatan. Artinya, seseorang dikatakan beriman bila terdapat tiga hal tersebut. Namun, saat Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu wafat, mulailah muncul kelompok-kelompok yang menyimpang dalam akidah, salah satunya kelompok Murji’ah. Orang yang mengikuti akidah Murji’ah menganggap bahwa iman itu cukup ucapan lisan dan keyakinan hati saja, sedangkan melakukan amal bukan bagian dari iman. Bagi mereka, ketaatan dan kemaksiatan tidak akan berpengaruh terhadap kadar iman seseorang, sehingga iman pelaku dosa besar sama kuatnya dengan iman orang saleh. [1]

Ini adalah akidah yang bertentangan dengan akidah ahli sunnah wal jama‘ah. Para ulama dahulu dan kontemporer telah panjang lebar menjelaskan kekeliruan akidah tersebut beserta dalil-dalilnya.

Penggunaan dalam aspek sehari-hari

Penggunaan istilah ini tidak berkaitan langsung dengan penyimpangan akidah sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Namun, ia lebih menekankan pentingnya amalan hati yang terangkum dalam tiga poin berikut:

Pertama: Pentingnya memperhatikan aspek batin dan amalan hati.

Kedua: Tidak cukup hanya dengan amalan lahiriah. Seseorang bisa tampak baik secara luar, tetapi hatinya menyimpan keburukan.

Ketiga: Penampilan luar tidak selalu mencerminkan kondisi batin. Orang yang terlihat buruk secara lahiriah bisa jadi memiliki hati yang lebih bersih dari yang kita sangka.

Secara umum, poin-poin ini benar dan tidak menimbulkan permasalahan. Sebab, amalan hati memang merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Mengingatkan sesama agar senantiasa menjaga kebersihan hati, merasa diawasi oleh Allah, serta menjauhkan diri dari riya (pamer amal saleh), merupakan hal-hal penting untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta‘ala.

Demikian pula, menilai seseorang seharusnya tidak semata-mata dari penampilan luar, karena watak asli seseorang bisa jadi berbeda dari apa yang tampak. Oleh karena itu, penekanan pada aspek batin seperti dalam poin-poin di atas adalah hal yang sah dan tepat.

Lantas, kapan ucapan ini menjadi keliru?

Ucapan iman itu di hati” dan semisalnya menjadi keliru ketika diucapkan pada konteks yang tidak tepat. Dampaknya, ucapan tersebut dapat mengendurkan motivasi untuk melakukan amalan lahiriah dan meremehkan dosa.

Sebagai contoh, jika ada orang yang berhijrah secara penampilan, misalnya seorang perempuan mulai mengenakan jilbab atau cadar, lalu terdengar komentar seperti, “Iman itu di hati, bukan di pakaian”; maka dalam konteks ini, justru ucapan itu dapat mengendurkan semangat orang yang hendak menjalankan ibadah lahiriah.

Atau ketika ada seseorang yang mulai merutinkan salat lima waktu dan salat malam, lalu ada berkomentar, “Yang penting ‘kan hatinya baik.” Tentu, bila orang tersebut belum kokoh imannya, akan merasa terkejut dengan ucapan tersebut yang berpotensi malah mengurungkan niatnya untuk merutinkan salat fardu dan tahajud.

Dilontarkannya ucapan tersebut dalam konteks ini juga dapat menjadi indikasi bahwa pengucap beranggapan bahwa jilbab tidak ada efeknya terhadap keimanan. Menurutnya, ketaatan lahiriah tidak berpengaruh terhadap ketaatan batin. Hal ini tentu keliru dan bertentangan dengan firman Allah Ta‘ala yang menjelaskan bahwa hijab itu akan memberi pengaruh terhadap kesucian hati,

وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang hijab. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Pengaruh berhijab terhadap kesucian hati bukan berarti bahwa setiap orang yang berhijab otomatis hatinya suci. Bukan pula setiap orang yang tidak berhijab maka kesucian hati dan ketulusan niatnya ternodai. Akan tetapi, hijab adalah salah satu wasilah yang Allah perintahkan untuk menjaga kesucian lahiriah. Dengan menjaga lahiriah, batin pun lebih mungkin untuk turut terjaga.

Analogi yang sama juga bisa diterapkan dalam hal lain. Misalnya, merokok berpengaruh buruk terhadap kesehatan. Hal ini bukan berarti setiap perokok kesehatannya lebih bagus dari non-perokok. Bukan pula setiap non-perokok bebas dari penyakit yang biasa menimpa perokok. Tetapi yang jelas, secara medis, merokok berkorelasi erat dengan penurunan kesehatan.

Lahir dan batin itu tidak terpisahkan

Kesalahpahaman muncul karena menganggap kondisi lahir dan batin terpisah, padahal keduanya saling mempengaruhi. Batin yang baik akan menghasilkan lahir yang baik; dan lahir yang baik akan menambah batin menjadi lebih baik. Sebagaimana yang diucapkan oleh Hasan Al-Basri rahimahullah,

ليس الإيمان بالتحلي ولا بالتمني، ولكنه ما وقر في القلوب وصدقته الأعمال

“Bukanlah keimanan itu dengan memperindah diri dan angan-angan semata. Akan tetapi, iman adalah apa yang terpatri di hati dan dibenarkan oleh perbuatan.” [2]

Ketaatan tidak hitam-putih, tapi menyeluruh

Ilustrasi perbandingan di atas akan terlihat sebagai perbandingan yang tak masuk akal ketika kita memahami bahwa kadar iman dan takwa seseorang itu tidak dibangun di atas satu jenis ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan tertentu saja. Akan tetapi, kadar ketakwaan dinilai dari akumulasi seluruh ketaatan dan kemaksiatan.

Maka, ketika kita mengajak orang lain untuk berhijab, itu bukan karena anggapan perempuan berhijab baik dari semua aspek, tetapi perempuan yang berhijab lebih baik pada ketaatannya dalam berhijab. Sama halnya dengan salat berjemaah: orang yang ke masjid belum tentu lebih baik dalam segala hal, tapi dia lebih taat dalam urusan salat berjemaah.

Dengan demikian, menilai kebaikan, kesalehan, dan kesucian hati seseorang harus didasari dari keseluruhan aspek kehidupan. Semakin banyak aspek kehidupan seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam secara lahir dan batin, maka semakin baik ketakwaan dan kesalehannya.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad. Wal-hamdu lillah Rabbil-‘alamin. [3]

Baca juga: Hierarki dan Dimensi Keimanan

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] https://dorar.net/frq/1381/المبحث-الثاني-تعريف-الإرجاء-اصطلاحا

[2] Asy-Syari‘ah lil Ajurri, 2: 636; cet. Dar Al-Wathan, Riyadh.

[3] Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 40, berjudul Al-Iman fil-Qalb ditulis oleh Syekh Abdullah al-’Ujairi hafizhahullah.


Artikel asli: https://muslim.or.id/105543-tepatkah-ucapan-iman-itu-letaknya-di-hati.html