Tentang Sabar Dan Macam-macam Sabar
Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Artikel ini adalah cuplikan dari buku Syarah Kitab At-tauhid
Versi cetak bisa Anda dapatkan di: https://tokopedia.link/TNe1cDamafb
Makna Sabar([1])
الصَّبْرُ (Ash-Shabr) dalam bahasa Arab maknanya adalah الْحَبْسُ (Al-Habsu) yang artinya adalah menahan. Adapun secara istilah, الصَّبْرُ adalah menahan lisan dari kata-kata yang buruk dan menandakan protes terhadap takdir Allah, menahan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran, dan menahan hati untuk tidak suuzan dan marah kepada Allah ketika ditimpa dengan musibah.
Bentuk-bentuk Kesabaran
Para ulama menyebutkan bahwa sabar terbagi menjadi tiga bentuk: ([2])
- الصَّبْرُ عَلَى طَاعَةِ الله – Sabar dalam menjalankan ketaatan
- الصَّبْرُ عَنْ مَعْصِيَةِ الله – Sabar dalam meninggalkan maksiat
- الصَّبْرُ عَلَى أَقْدَارِ الله – Sabar dalam menghadapi takdir Allah (musibah)
Yang dijadikan bab oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini adalah bentuk sabar yang ke-3, yaitu sabar dalam menghadapi musibah-musibah yang merupakan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.
Di antara tiga bentuk kesabaran ini, manakah yang lebih utama? ([3]) Kalau kita berbicara dari jenisnya, maka para ulama menyebutkan bahwa bersabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat jauh lebih utama daripada jenis sabar dalam menghadapi musibah. Hal ini disebabkan karena sabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat adalah الصَّبْرُ الاِخْتِيَارِيُّ (sabar pilihan), dan sabar dalam menghadapi musibah adalah الصَّبْرُ الاِضْطِرَارِيُّ (sabar terpaksa). Sabar pilihan terhadap ketaatan contohnya seseorang bisa memilih apakah dia mau pergi ke masjid untuk shalat atau tidak, adapun sabar pilihan dari maksiat contohnya seseorang bisa memilih apakah dia mau berzina atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan sabar pilihan, seseorang akan dihadapkan dengan dua pilihan yaitu melakukan atau tidak. Berbeda dengan sabar dalam menghadapi musibah, seseorang yang mengalaminya tidak memiliki pilihan sama sekali sehingga dia harus bersabar dengan terpaksa. Contohnya adalah seseorang yang tertimpa penyakit, dia tidak dapat memilih untuk sakit atau tidak, akan tetapi dia tetap mendapatkan sakit tersebut sehingga tidak ada pilihan lain baginya selain bersabar. Oleh karenanya para ulama menyebutkan bahwa sabarnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala digoda oleh istri dari menteri (yang konon namanya adalah Zulaikha([4])) itu lebih berat daripada ketika dia dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Tatkala Nabi Yusuf ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam sumur, dia tidak punya pilihan lain selain bersabar, akan tetapi ketika dia digoda oleh wanita maka dia memiliki pilihan yaitu berzina atau tidak. Oleh karena itu, jika dilihat dari jenisnya maka sabar pilihan lebih utama daripada sabar terpaksa.
Para ulama kemudian membahas pula tentang yang mana lebih utama antara sabar dalam ketaatan dan sabar dalam meninggalkan maksiat. Khilaf di kalangan para ulama tentang yang mana lebih utama dari kedua jenis sabar ini. Pendapat pertama menyebutkan bahwasanya sabar dalam meninggalkan maksiat lebih agung di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala daripada sabar dalam ketaatan. Hal ini disebabkan oleh pendorong (motivasi) seseorang dalam bermaksiat jauh lebih besar dan berat daripada motivasi seseorang dalam meninggalkan ketaatan. Yang memotivasi seseorang dalam melakukan maksiat adalah syahwatnya, adapun yang mendorong seseorang untuk tidak taat adalah kemalasan. Dan kekuatan dorongan antara hawa nafsu dan kemalasan tentu jauh lebih kuat hawa nafsu. Oleh karena itu, dari sisi ini sebagian ulama berpendapat bahwa sabar meninggalkan maksiat lebih utama daripada sabar dalam menjalankan ketaatan. Pendapat kedua menyebutkan bahwasanya sabar dalam ketaatan lebih utama daripada sabar meninggalkan maksiat karena ditinjau dari jenisnya, ([5]) ketaatan jauh lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala daripada meninggalkan maksiat. Menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat sama-sama merupakan ibadah, akan tetapi jika dibandingkan antara keduanya maka ibadah dalam menjalankan ketaatan lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, dari sisi ini sebagian ulama berpendapat bahwasanya sabar dalam menjalankan ketaatan lebih utama daripada sabar dalam meninggalkan maksiat.
Ini di antara pembahasan para ulama terkait yang mana lebih utama dari bentuk-bentuk kesabaran. Akan tetapi kenyataannya, bisa jadi kita merasakan bahwa sabar dalam menghadapi musibah jauh lebih berat daripada bentuk sabar yang lainnya. Contohnya adalah seseorang yang diuji dengan meninggalkannya anaknya, maka tentu dia akan merasa bahwa sabar dalam menghadapi musibah itu jauh lebih berat daripada ujian untuk pergi shalat subuh berjemaah di masjid. Secara jenis mungkin benar sabar dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat lebih utama daripada sabar dalam menghadapi musibah, akan tetapi bisa jadi dalam sisi yang lain sabar dalam menghadapi musibah jauh lebih lebih utama. Contoh keutamaan dari sisi jenis adalah seperti laki-laki yang lebih utama daripada wanita, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perkataan ‘Imran,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidak sama dengan perempuan.” (QS. Ali-‘Imran : 36)
Akan tetapi meskipun demikian, faktanya ada wanita yang lebih utama daripada laki-laki karena kesalehannya. Oleh karenanya dalam sebagian sisi, sabar dalam menghadapi musibah lebih unggul daripada yang lainnya. Contoh kisah dalam hal ini adalah kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam yang dia diuji dengan ujian yang berat, bahkan sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa Nabi Ayub ‘alaihissalam menderita sakit selama tujuh tahun. Sakit yang Nabi Ayub ‘alaihissalam alami adalah sakit yang membuat orang-orang menjauh darinya karena saking jijiknya melihat tubuhnya yang sakit. Oleh karena itu, menjalani ujian seperti yang dialami oleh Nabi Ayub ‘alaihissalam ini adalah bentuk sabar yang tidak mudah. Karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memuji Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam firman-Nya:
إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS. Shad : 44)
Ada dua hal yang perlu untuk kita perhatikan ketika kita bersabar:
Pertama, sabar itu adalah ibadah maka seseorang harus ikhlas. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d : 22)
Sabar bukanlah perkara yang harus untuk dipamerkan (riya’). Tidaklah seseorang bersabar untuk dikatakan bahwa dia adalah orang yang tegar, akan tetapi seharusnya seseorang bersabar karena Allah yang memerintahkan kita untuk bersabar.
Hal ini penting untuk kita ingatkan karena sebagian orang bersabar bukan karena Allah, akan tetapi dia bersabar dalam ketaatan, meninggalkan kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah karena ingin dipuji. Contohnya adalah orang yang meninggalkan praktik riba. Sebagian orang mungkin meninggalkannya karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi sebagian yang lain karena takut dengan omongan dan cercaan orang lain sehingga akhirnya dia juga meninggalkan praktik riba tersebut. Oleh karena itu, hendaknya kita sadar bahwasanya sabar itu harus karena Allah Subhanahu wa ta’ala (ikhlas), bukan untuk meraih pujian orang-orang.
Kedua, sabar itu tidak akan dapat dilakukan oleh seseorang kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya kita meminta kesabaran tersebut kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl : 127)
Saudaraku, ketahuilah bahwa tidak mungkin kita bisa bersabar melangkahkan kaki kita untuk shalat subuh berjamaah di masjid secara berkesinambungan kecuali karena izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin pula seseorang bisa bersabar untuk mengumpulkan uang untuk bisa umrah dan haji kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala, karena tentu ujian di hadapannya untuk membeli ini dan itu sungguh sangat banyak. Ketika dia bisa bersabar dari itu semua maka tentunya kesabaran tersebut datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jangan sampai di antara kita ujub dengan diri kita sendiri, karena kita bisa bersabar dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat, karena itu adalah taufik dan izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukankah telinga kita selalu ingin mendengarkan hal-hal yang menyenangkan syahwat? Bukankah mata kita selalu ingin melihat hal-hal yang menyenangkan hawa nafsu kita? Dan bukankah lisan kita selalu ingin berucap dengan kata-kata haram yang disenangi oleh syahwat kita? Maka ketika kita bisa menahan dan meninggalkan itu semua dalam diri kita, ketahuilah itu semua atas izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula seseorang bisa bersabar dalam menghadapi musibah karena izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka ketika kita menyadari bahwa sabar itu datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala, hendaknya kita tidak ujub dengan kesabaran yang kita jalani.
Oleh karena itu, jika sekiranya saat ini seseorang belum bisa bersabar dalam ketaatan, atau meninggalkan maksiat, atau sabar dalam menghadapi musibah, maka dia harus berjuang untuk meraih kesabaran itu. Senantiasa berusaha dan berjuang untuk sabar, maka suatu saat dia akan bisa meraih kesabaran tersebut, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwasanya seseorang tidak bisa bersabar kecuali dengan izin Allah. Maka dia hendaknya meminta kesabaran kepada Allah Subhanahu wa ta’ala baik bersabar dalam menjalankan ketaatan, meninggalkan maksiat, dan dalam menghadapi musibah. Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ
“Dan barangsiapa yang berusaha sabar maka Allah akan menjadikannya sabar.”([6])
Kalau seseorang merasa tidak bisa menahan dirinya dari perkara-perkara maksiat, yakinlah bahwa suatu saat dia bisa meraih kesabaran itu, yang penting dia senantiasa meminta kepada Allah, dia berjuang dan berusaha untuk meraih kesabaran itu.
Maka seseorang tentunya mengetahui tentang dirinya masing-masing, kalau sekiranya dia belum mendapati kesabaran itu maka hendaknya dia meminta kepada Allah.
______________
Footnote:
([1]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/155
([2]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/155
([3]) Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/163-165
([4]) Ada beberapa pendapat tentang nama wanita tersebut, apakah namanya adalah زُلَيْخَا atau رَاعِيْلُ atau رَبِيْحَة (Lihat diantaranya : Tafsir al-Baghowi 4/225, Tafsir az-Zamakhsyari 2/483, Tafsir Ibnu Áthiyyah 3/231, dan Tafsir ar-Raazi 18/435) Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukan nama-nama tersebut. Adapun al-Qurán hanya menyebutnya dengan اِمْرَأَةُ الْعَزِيْزِ (istri dari pejabat yang mulia)
([5]) Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh imam Ibnu Al-Qoyyim, Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/165