Dalil Akal, Fitrah Dan Ijma’ Tentang Sifat ‘Uluw Bagi Allah
Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, selawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.
Para pembaca yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini kita akan lanjutkan pembahasan seputar dalil-dalil tentang sifat ‘Uluw bagi Allah (Maha Tinggi dengan Zat-Nya di atas seluruh makhluk).
Bahasan ini akan terbagi pada Tiga bagian:
Bagaian Pertama: Dalil Akal (Nalar/Rasio) tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian Kedua: Dalil Fitrah (Naluri) tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian Ketiga: Dalil Ijma’ tentang sifat ‘Uluw bagi Allah.
Dalil Akal (Logika/Nalar/Rasio) Tentang sifat ‘Uluw Bagi Allah
Penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah, yakni bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk juga ditunjukkan kebenarannya oleh akal sehat, atau dikenal dengan istilah logika, nalar atau rasio.
Secara nalar (logika/ akal) yang sehat, yaitu nalar yang belum tercemar oleh polusi ilmu kalam dan filsafat, niscaya dengan sangat mudah ia mempercayai bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk. Karena setiap orang yang berakal mengakui bahwa tempat yang tinggi adalah lebih mulia dari tempat yang rendah (di bawah). Hal ini tidak ada seorang pun dari makhluk yang menolaknya. Maka yang layak untuk dinisbahkan kepada Allah adalah hal yang mulia bukan yang hina, karena Allah Maha Mulia lagi Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya. Oleh sebab itu kesimpulan logika menyatakan bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, tidak ada satupun makhluk yang sama tinggi apalagi lebih tinggi dari Allah.
Berikut ini kita kutip beberapa penjelasan ulama tentang dalil logika, nalar atau rasio dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Diantara dalil logika akal yang sering disebutkan ulama tentang sifat ‘Uluw adalah sebagaimana berikut:
Pertama: Sifat ‘Uluw (keMahaTinggian Zat Allah) adalah sifat yang menunjukkan akan keMahaSempurnaan Allah. Sedangkan lawan dari sifat ‘Uluw adalah sifat suful (bawah) adalah sifat yang menunjukkan akan kekurangan. Maka yang layak bagi Allah adalah sifat yang menunjukkan akan kesempurnaan, karena Allah Mahasuci dari segala sifat yang kurang. Maka sifat ‘Uluw adalah sifat yang menunjukkan kesesmpurnaan Allah.
Kedua: Dua zat yang diakui wujudnya tidak terlepas dari dua kemungkinan. Adakalnya keduanya saling menyatu dengan yang lain, atau keduanya saling terpisah. Sedang wujud Allah tidak akan mungkin bersatu dengan wujud makhluk, maka zat Allah terpisah dari zat makhluk. Jika demikian halnya, tentu Allah memiliki posisi tempat yang jauh lebih mulia dari makhluk karena zat Allah tidak bercampur dengan zat makhluk. Posisi yang amat mulia adalah posisi yang amat tinggi (‘Uluw). Maka kesimpulannya adalah zat Allah berada di atas seluruh zat makhluk. Karena kalau zat Allah berada di mana-mana berarti zat Allah bercampur baur dengan seluruh zat makhluk. Keyakinan ini melazimkan zat Allah berada tempat-tempat yang hina dan kotor sekalipun. Sedangkan Allah MahaSuci dari segala hal yang hina dan kotor.
Ketiga: saat Allah menciptakan alam ini ada beberapa kemungkinan:
- Kemungkinana pertama: Allah menciptakan alam beserta segala isinya dalam zat-Nya.
- Kemungkinan kedua: Allah menciptakan alam beserta segala isinya di luar zat-Nya kemudian setelah alam tercipta Allah masuk ke dalamnya (menjadikan alam sebagai tempat-Nya).
- Kemungkinan ketiga: Allah menciptakan alam di luar zat-Nya kemudian setelah alam tersebut tercipta Allah tidak masuk ke dalamnya (tidak menjadikan alam sebagai tempat-Nya).
Kemungkinan yang pertama adalah batil menurut akal sehat, karena jika Allah menciptakan makhluk dalam zat-Nya melazimkan zat Allah sebagai tempat bagi makhluk yang penuh dengan berbagai aib dan kekurangan, sebab diantara makhluk ada yang keji dan hina. Apakah mungkin hal-hal yang kotor dan keji berada dalam zat Allah. Sedangkan Allah Mahasuci dari segala hal yang kotor dan hina.
Kemungkinan yang kedua juga batil menurut akal sehat, sebab jika Allah masuk ke dalam makhluk (alam) setelah Allah menciptakannya dan Allah berada dimana-mana, hal ini melazimkan bahwa Allah lebih kecil dari makhluk, dan Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan keji. Sedangkan Allah adalah Mahabesar lagi Mahasuci dari segala hal yang kotor dan keji.
Kemungkinan yang ketiga adalah kemungkinan yang sangat masuk akal dan sesuai dengan dengan keMahaAgungan dan keMahaMulian serta keMahaBesaran Allah itu sendiri. Bahwa Allah menciptakan alam beserta segala isinya di luar zat-Nya. Dan Allah tidak masuk kedalamnya setelah alam tersebut tercipta.
Lalu timbul pertanyaan berikut: dimanakah posisi alam (makhluk) ketika Allah menciptakannya? Maka jawabannya ada tiga kemungkinan pula:
- Jawaban pertama: Allah menciptakan alam (makhluk) dengan posisi lebih tinggi dari Allah, dengan kata lain bahwa makhluk (alam) lebih tinggi dari Allah dan Allah berada di bawah makhluk.
- Jawaban kedua: Allah menciptakan makhluk dengan posisi sama tinggi dengan Allah, maka Allah dan mahkluk (alam) berada pada posisi yang sama tinggi.
- Jawaban ketiga: Allah menciptakan makhluk (alam) dengan posisi lebih rendah dari Allah, seluruh makhluk berada di bawah Allah dan Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Jawaban yang pertama adalah batil, sebab jika Allah menciptakan alam (makhluk) dengan posisi lebih tinggi dari Allah, dengan kata lain bahwa makhluk (alam) lebih tinggi dari Allah dan Allah berada di bawah makhluk, berarti Allah bersifat tidak sempurna (kurang).
Demikian pula jawaban kedua juga batil, karena jika Allah menciptakan makhluk dengan posisi sama tinggi dengan Allah, maka Allah dan mahkluk (alam) berada pada posisi yang sama tinggi, berarti Allah tidak memiliki kesepurnaan yang melebihi seluruh makhluk-Nya.
Maka jawaban yang sesuai dengan keMahaagungan dan keMahamulian serta keMahatinggian Allah adalah jawaban yang ketiga. Karena sifat keMahatinggian adalah sifat yang mutlak bagi Allah, baik zat-Nya maupun sifat-Nya, hal tersebut adalah kelaziman dari keagungan dan kemulian zat Allah.
Maka melalui paparan di atas dapat kita simpulkan, bahwa zat Allah adalah terpisah dari seluruh zat makhluk dan zat Allah adalah Mahatinggi di atas seluruh zat makhluk. Tidak ada satupun dari makhluk yang menyamai ketingian zat Allah, apalagi melebihi ketinggian zat Allah.
Dalil Fitrah (Naluri) Tentang Sifat ‘Uluw Bagi Allah
Secara naluri atau fitrah semua makhluk meyakini bahwa Allah berada di atas mereka. Maka oleh sebab itu ketika mereka berdo’a merasakan dalam sanubari hati mereka meminta kearah atas, lalu diiringi oleh gerakan mengangkat tangan kearah atas. Karena hal tersebut sudah tertancap tajam secara naluri atau fitrah dalam sanubari hati mereka, tanpa perlu melaui proses penelitian dan pendidikan. Masing-masing kita merasakan akan hal tersebut saat kita berdo’a kepada Allah, dimana mata hati kita tidak menoleh ke kiri dan ke kanan atau ke depan dan belakang, akan tetapi kita memohon kepada Zat Yang Maha Mulia di atas kita.
Hujjah yang serupa pernah dikemukan oleh imam Abu Ja’far Al hamadaany ketika berdiskusi dengan ustadz Abul Ma’aly Al Juwainy dalam sebuah majlis. Saat itu Abul Ma’aly Al Juwainy menyampaikan dalam ceramahnya bahwa Allah tidak memiliki tempat tertentu, seketika itu Abu Ja’far seakan-akan bertanya kepadanya: wahai guruku! Bagaimana cara kita melawan perasaan yang timbul dalam hati saat kita berdo’a!? Hati kita selalu menatap dan meminta dari Zat yang berada di atas kita!? Pertanyaan tersebut membuat Abul Ma’aly bingung untuk menjawabnya karena ia juga merasakan hal yang serupa saat berdo’a dan ia tidak mampu untuk menepis dan menolak perasaan tersebut. Lalu ia turun dari kursinya sambil berkata: Al Hamadany telah membuatku bingung, Al Hamadany telah membuatku bingung, ia mengulang perkataan tersebut beberapa kali[1].
Dalil ini juga diungkapkan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ary ketika beliau menyebutkan hujjah-hujjah tentang istiwaa’ Allah dalam kitab beliau “Ibanah”: “Kita melihat kaum muslimin seluruhnya mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika berdo’a kearah lengit. Karena Allah beristiwaa’ di atas ‘arasy yang di atas seluruh langit. Jika seandainya Allah tidak di atas ‘Arasy, niscaya mereka tidak mengangkat kedua tangan mereka ke arah ‘Arasy, sebagimana mereka tidak mengarahkan kedua tangan mereka ke arah bumi[2].
Bagaimana jawaban terhadap orang yang mengatakan: bahwa mengangkat tangan ke langit ketika berdo’a adalah karena langit kiblat do’a, bukan karena Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Perkataan tersebut adalah batil, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada berikut ini:
Pertama: Tidak ada dalil, baik dari ayat Al Qur’an maupun hadits Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam demikian pula perkatan dari ulama salaf yang menyatakan bahwa kiblat do’a adalah langit.
Kedua: Menurut penjelasan para ulama yang menerangkan tentang adab-adab berdo’a, bahwa kita disunnah menghadap kiblat ketika berdo’a, yaitu dengan menghadapkan wajah kita kearah kiblat sambil mengangkat tangan ke langit. Jadi tidak ada perbedaan antara kiblat waktu berdo’a dengan kiblat waktu sholat yaitu menghadap ka’bah yang mulia. Sebagaimana Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam berdo’a dalam bebrbagai kesempatan beliau selalu menghadap kiblat. Barang siapa yang membedakan anatara kiblat do’a dengan kiblat sholat, maka ia telah menyalahi kesepakatan umat Islam tentang kiblat do’a .
Ketiga: Yang disebut kiblat adalah mengarahkan wajah ke arah ka’bah yang mulia, sebagaiamana diwajibkan ketika sholat dan dianjurkan ketika berzikir, membaca Al Qur’an ataupun ketika berdo’a. Adapun posisi arah telapak tangan yang di arahkan ke atas langit saat berdo’a tidak pernah disebut kiblat dalam bahasa umat manapun.
Keempat: Kalau seandainya langit adalah kiblat do’a, tentu kita dianjurkan untuk mengarahkan wajah kita kelangit saat berdo’a. Namun hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama.
Kelima: Kiblat adalah perkara yang bisa berubah (berpindah) arahnya, sebagaimana berpindanya arah kiblat pertama dari Baitul maqdis di Palestina ke Ka’bah yang mulia di Makkah Al Mukarromah. Sedang mengarahkan dan membuka telapak tangan ke arah atas (langiat) saat berdo’a adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam fitrah sanubari setiap manusia yang tidak mungkin untuk dirobah sama sekali.
Keenam: Seseorang yang sedang mengahadap ke qiblat mengetahui bahwa Allah tidak berada di dalam atau dekat Ka’bah tersebut. Berbeda dengan perasaan seseorang yang sedang berdo’a sesungguhnya ia merasakan dalam hatinya bahwa ia sedang menghadap Allah dan ia berharapkan agar diturunkan rahmat dari sisi Allah yang berada di atas seluruh makhluk, oleh sebab itu ia membuka kedua telapak tangannya kepada Allah.
Ketujuh: Demikian pula saat seseorang bersujud dalam sholat, ia merasakan dalam hatinya bahwa Allah berada pada arah yang Maha Tinggi. Tidak pernah terbetik dalam hati orang yang bersujud bahwa Allah berada di bumi tempat ia meletakkan muka dan keningnya[3].
Dalil Ijma’ tentang sifat ‘Uluw bagi Allah
Diantara para ulama yang mengemukakan tentang ijma’ (kesepakan) para ulama tentang keMahaTinggian Zat Allah yang Maha Kuasa adalah:
- Imam Al Auza’i, beliau adalah seorang ulama Ahlussunnah yang Masyhur dari negeri Syam yang hidup pada abad kedua hijriyan, wafat th 157 H. Beliau berjumpa dan berguru dengan para ulama-ulama tabi’iin. Beliau menyatakan bahwa ulama pada zaman beliau di hadapan para tabi’iin mengatakan: “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arasy-Nya, dan kami beriman dengan apa yang terdapat dalam sunnah tentang sifat-sifat Allah”[4].
Dapat kita pahami dari ungkapan imam Al Auza’i tersebut bahwa para ulama tabi’iin dan tabi’ taabi’in mempercayai Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, namun tidak ada seorang pun diantara mereka menolak atau mengingkari hal tersebut ini menunjukkan ijma’ (kesepakatan) tentang mengimani perkara tersebut.
- Imam Abu Hatim Ar Rozy (195-277H) dan Imam Abu Zur’ah Ar Rozy (200-264H) keduanya adalah dua tokoh ulama Ahlussunnah yang sangat masyhur. Beliau berdua menyatakan dalam sebuah buku yang beliau tulis berdua tentang aqidah beliau berdua “Ashlus Sunnah“: “Telah ijma’ (sepakat) seluruh para ulama Islam di seluruh penjuru negeri; baik di Hijaz, Iraq, Mesir dll, dalam mengimani segala sifat-sifat Allah, bahwasanya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya sedangkan ilmu-Nya meliputi semua tempat”[5].
- Ibnu Baththoh Al ‘Ukbury (304-387H), menyatakan tentang ijma’ para ulama dalam karya beliau yang monumental tentang aqidah Ahlussnnah “Al Ibaanah“: “Kaum muslimin dari kalangan para sahabat dan tabi’iin serta seluruh ulama dari kaum mukminin telah ijma’ (sepakat) bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari makhluk-Nya dan ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk”[6].
- Abu Umar Ath Tholamangky (340-429H), beliau adalah salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka dari pengikut mazhab Al Maliky, menyatakan: “Sungguh kaum muslimin dari kalangan Ahlussunnah telah ijma’ (sepakat) bahwa sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy, terpisah dari seluruh makhluk-Nya, Allah MahaTinggi dari prasangka orang-orang yang sesat”[7].
- Abul Qosim Al Ashfahany Asy Syafi’i (457–535H), beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan pengikut mazhab imam Syafi’i menyebutkan dalam karya beliau yang monumental tentang aqidah Ahlussunnah “Al Hujjah fi bayan Al Mahajjah: “Telah ijma’ (sepakat) seluruh kaum muslimin bahwa Allah Maha Tinggi dengan setinggi-tingginya, sebagaimana hal itu telah disebutkan Al Qur’an (سبح اسم ربك الأعلى) “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi” mereka (orang-orang Jahmiyah) mengira makna ayat tersebut hanya sebatas Maha Tinggi dalam keputusan-Nya saja, tidak mencakup Maha Tinggi Zat-Nya. Sedangkan menurut kaum muslimin Allah itu Maha Tinggi dalam segala segi, karena sifat ‘Uluw adalah sifat yang terpuji, maka oleh sebab itu Allah MahaTinggi zat-Nya, MahaTinggi dalam segala sifat-Nya dan MahaTinggi dalam segala keputusan-Nya”[8].
- Ibnu Qudamah Al Maqdisy (541-620H), beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari pengikut mazhab hambaly, menyatakan dalam karya beliau “Itsbat Shifatil ‘Uluw” yang khusus membahas tentang hujjah-hujjah aqidah Ahlussunnah tentang sifat ‘Uluw bagi Allah: “Sesungguhnya Allah menetapkan bagi diri-Nya memiliki sifat ‘Uluw (MahaTinggi) di atas langit, hal itu juga ditegaskan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam penutup segala nabi-nabi. Demikian pula seluruh ulama dari semenjak masa sahabat sampai para ulama dari kalangan para fuqohaa’ telah berijma’ (sepakat) atas hal tersebut[9].
- Syeikh Islam Ibnu Taimiyah (661-728H), beliua sudah tidak asing lagi oleh segenap Ahlussunnah di seluruh pelosok dunia. Keluasan ilmu beliau diakui oleh kawan dan lawan, menyatakan: “Tentang sifat ‘Uluw (keMahaTinggian Zat Allah di atas seluruh makhluk) telah disepakati oleh umat manusia seluruhnya, baik yang muslim maupun yang kafir. Takala nabi Musa ‘Alaihis Salam mengajak Fir’aun untuk beriman, firmaun berkata kepada Haman (perdana menteri Fir’aun):
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا [غافر/36، 37]
“Fir’aun berkata: wahai Haman! Tolong bangunkan untukku sebuah bangunan yang itnggi supaya aku sampai kepintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya sebagai seorang pendusta”.
Fir’aun tidak mencari Allah ke kanan ataupun ke kiri, Tidak kebelakang dan tidak pula kedepan. Akan tetapi ia mencari ke arah atas, hal ini menunjukkan bahwa pengakuan tentang Allah berada di atas seluruh makhluk telah tertanam dalam sanubari setiap makhluk, sekalipun binatang melatah”.
Dalam ayat di atas ada dua kesimpulan:
Pertama: Fir’aun mengetahui tentang prihal bahwa Allah di atas seluruh makhluk tersebut melalui nabi Musa ‘Alaihis Salam secara langsung, lalu fir’aun menuduh nabi Musa ‘Alaihis Salam berdusta dalam hal tersebut. Maka orang yang mengingkari Allah berada di atas seluruh makhluk adalah mengikuti mazhab fir’aun ketika mendustakan nabi Musa ‘Alaihis Salam yang mengajaknya untuk beriman kepada Allah yang Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.
Kedua: Fir’aun mengetahui tentang prihal bahwa Allah di atas seluruh makhluk tersebut dengan naluri yang ada dalam hatinya. Lalu rasa sombong membuatnya mendustakan apa yang terdapat dalam nalurinya tersebut. Agar dengan demikian ia dapat menolak seruan nabi Musa ‘Alaihis Salam yang mengajaknya untuk beriman kepada Allah.
Demikianlah hujjah-hujjah yang menjelaskan tentang penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang kupas dalam beberpa edisi dalam majalah kita ini. Mulai dari ayat-ayat Al Qur’an, Hadits-hadits nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, perkataan para sahabat dan para ulama sepanjang masa, dalil logika, dalil fitrah (hati nurani) manusia dan Ijma’ para ulama sepanjang zaman.
Insya Allah pada bahasan berikutnya akan kita kupas tentang bantahan terhadap argumentasi para penetang Ahlussunnah dalam masalah ini.
([1]) Kisah tersebut banyak dinukil oleh para ulama, lihat: “Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah”: 4/44, 61, “Tafsir al Alusy”: 7/115, “Kasyfu Zhunun”: 1/78, dll.
([2])Lihat ‘Al Ibanah”: 97-98.
([3])Lihat penjelasan ini dalam kitab “Syarah Aqidah Thohawiyah” oleh Syeikh Abdul ‘Aziz Ar Rajhy: 1/205.
([4]) diriwayatkan oleh imam Lalaakaa’i dalam “Syarah ushul I’tiqad Ahlussunnah”: 4/401, dan imam Baihaqy dalam “As Asmaa’ wash Shifaat”: 2/304.
([5]) Lihat ‘Ashlus Sunnah”: 37-43, dan diriwayatkan oleh imam Lalaakaa’i dalam “Syarah ushul I’tiqad Ahlussunnah”: 1/176-182.
([6]) Lihat “Al Ibaanah”: 3/136.
([7])Dinukil oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ Fatawa”: 5/501.
([8]) Lihat ‘Al Hujjah fi bayan Al Mahajjah”: 2/117.
([9]) Lihat ‘Itsbat Shifati ‘Uluw”: 63.