Beranda | Artikel
Membangun Kokohnya Iman dan Amal
3 hari lalu

Sesungguhnya iman dan amal saleh adalah sebab utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Semakin bagus seorang hamba dalam mewujudkan iman dan amal saleh, maka semakin besar pula kebahagiaan yang akan didapatkan olehnya. (Lihat keterangan Syekh As-Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 346.)

Iman dan amal saleh inilah yang akan membuahkan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

Barangsiapa melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah Ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal saleh. Yaitu, amalan yang mengikuti Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia, sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah dilakukannya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4:601.)

Urgensi amal

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِیُضِیعَ إِیمَـٰنَكُمۡۚ

Tidaklah Allah menyia-nyiakan amal kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Para ulama ahli tafsir tidak berselisih bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ‘salat kalian (para sahabat) menghadap Baitul Maqdis’. Allah menamakan salat dengan iman.” (Lihat dalam Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1142.)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145.)

Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan akidah/keyakinan.” (lihat Aqwal At-Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa Al-Iman, hal. 1145.)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة

Batas antara seorang dengan kekafiran dan kesyirikan itu adalah meninggalkan salat.” (HR. Muslim)

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر

Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Serta disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi) (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah, 1:307)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أول ما يحاسب عنه العبد من عمله صلاته فإن قبلت صلاته قبل منه سائر عمله، وإن ردت عليه صلاته رد عليه سائر عمله

Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah salat. Apabila diterima, maka diterima pula seluruh amalnya. Apabila ditolak, maka ditolak seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Ausath, disahihkan Al-Albani)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan salat, maka dia sudah tidak punya agama.” Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat.” (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, karya Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah, hal. 21)

Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan salat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamar. Dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat. (Lihat Ta’zhim Ash-Shalah, hal. 23, lihat juga Kitab Ash-Shalah, karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5)

Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Beliau menjawab, “Salat.” (Lihat dalam Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani, hal. 176)

Cakupan iman dan pondasinya

Para ulama menjelaskan bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan. Yang dimaksud ucapan mencakup ucapan hati dan ucapan lisan, sedangkan yang dimaksud perbuatan adalah meliputi perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Dengan kata lain, iman terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. (Lihat At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 11)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, iman bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dan juga iman bukanlah semata-mata dengan akidah di dalam hati saja. Dan bukan pula ia dengan beramal tanpa disertai akidah dan ucapan. Akan tetapi, ketiga perkara ini harus ada dan saling berkaitan satu sama lain.” (Lihat Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 175)

Dalam akidah Islam, iman itu terdiri dari bagian-bagian dan cabang-cabang. Ada yang berkaitan dengan hati, ada yang berkaitan dengan lisan, dan ada yang berkaitan dengan anggota badan. Sebagaimana iman juga memiliki pokok dan cabang. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ

Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik itu seperti sebuah pohon yang indah yang pokoknya (akarnya) kokoh tertanam dan cabang-cabangnya menjulang di langit.” (QS. Ibrahim: 24)

Di dalam ayat ini, Allah menyerupakan iman dan kalimat tauhid seperti sebatang pohon yang memiliki pokok, cabang, dan buah. Maka, iman pun demikian, ia memiliki pokok, cabang, dan buah. (Lihat Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 297)

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الإيمانُ بضعٌ وسبعون شعبةً ، أعلاها قولُ لا إله إلا اللهُ ، وأدناها إماطةُ الأذى عن الطريقِ والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ

Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu pun termasuk salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat lailahaillallah adalah ucapan, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah amal anggota badan, dan rasa malu adalah bagian dari keyakinan atau amalan hati. (lihat Syarh Manzhumah Ha’iyah, hal. 189)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain, kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (Lihat Syarh Muslim, 2:88)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat lailahaillallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid, 1:17)

Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar) tanpa tauhid, pabila tidak disertai tauhid. Maka, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah, seperti: bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza Wajalla,

وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا

Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan (di dunia) kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.’ (QS. Al-Furqan: 23)” (Lihat Abraz Al-Fawa’id min Al-Arba’ Al-Qawa’id, hal. 11)

Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (Lihat Zadul Masir, hal. 1014)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka, apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik, maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadas merusak thaharah. Maka, dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11)

Syekh Zaid bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah, melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 147)

Pokok amal ibadah

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan, kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak mudarat. Apabila dia melakukan sesuatu, maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya, seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya, seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab, seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta, niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada rohnya sama sekali…” (lihat Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, 2:3, cet. Maktabah Al-‘Ilmu)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara: cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta, maka seorang berjuang menggapai keridaan Sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan, maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya, maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridaan-Nya.” (lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zad l-Mustaqni’, 1:9, cet. Mu’assasah Asam)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar: cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya, maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Perintah dikerjakan, sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab/sunah. Demikian pula, larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu, ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, hal. 10)

Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu‘ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah, selain Allah. Oleh sebab itu, di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid lailahaillallah. (Lihat keterangan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/102836-membangun-kokohnya-iman-dan-amal.html