Beranda | Artikel
Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Orang yang Berbuat Dosa
20 jam lalu

Dalam kehidupan seorang hamba, berdosa adalah hal yang pasti dilakukan. Hampir tidak mungkin dalam satu hari yang berlalu, seseorang tidak melakukan dosa, baik disengaja maupun tidak. Nabi ﷺ bersabda,

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, sahih.)

Tidak terlepas hal itu pada diri kita sendiri, atau orang di sekitar kita, juga mungkin sesama teman pengajian. Maka, dituntut bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap yang tepat menghadapi orang yang melakukan dosa tersebut.

Perlu kita ketahui bahwa orang yang berdosa itu beragam bentuk dan kondisinya. Ada yang memang benar-benar pendosa karena menentang agama. Ada yang karena ketidaktahuannya. Ada pula yang karena tak mampu melawan hawa nafsunya. Semua kondisi ini memiliki penyikapan tersendiri.

Salah satu metode Nabi ﷺ dalam menyikapi seseorang yang melakukan dosa adalah memberikan solusi kepada pelakunya. Dalam salah satu hadis dari sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata, ‘Wahai, Rasulullah, celaka!’ Beliau menjawab, ‘Ada apa denganmu?’ Dia berkata, ‘Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak!’ Lalu, beliau ﷺ bersabda lagi, ‘Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, beliau ﷺ bertanya lagi, ‘Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu, Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘irq berisi kurma (al-‘irq adalah alat takaran), lalu beliau bersabda, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Dia menjawab, ‘Saya orangnya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!’ Kemudian orang tersebut berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku.’ Maka, Rasulullah ﷺ tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau ﷺ bersabda, ‘Berilah makan keluargamu!’ “ (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)

Dari hadis tersebut, kita bisa mengambil faedah cara menyikapi orang yang melakukan dosa dari Nabi ﷺ.

Tidak berlebihan dalam merespons dosa

Pertama, perlu diketahui bahwa dosa yang dilakukan oleh orang tersebut bukanlah dosa yang ringan. Menyetubuhi istri ketika berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa besar. Hal ini ditunjukkan atas kafarat yang diwajibkan dari dosa tersebut. Karena berpuasa di bulan Ramadan adalah kewajiban kaum muslimin, sehingga membatalkannya secara sengaja dengan jima’ adalah dosa besar yang keluar dari ketaatan.

Kedua, meski dosa tersebut begitu fatal, tetapi ketika Nabi ﷺ mendengar pengakuan tersebut, beliau tetap tenang dan tidak menghukumi pelakunya sebagai pendosa yang tak pantas mendapatkan ampunan atau komentar-komentar yang tak layak. Hal ini yang juga terjadi tatkala sahabat Maiz radhiyallahu ‘anhu melaporkan bahwa dirinya berzina. Nabi ﷺ tidak menghukuminya dengan perkataan yang mencela, justru beliau memalingkan dirinya dan seakan tidak mau mendengarkan pengakuan tersebut.

Faedah akhlak lainnya dari hadis Nabi ﷺ tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa. Beliau tidak marah dan berusaha memahami kondisi orang yang melakukan dosa tersebut. Dalam kasus Maiz misalnya, beliau terlebih dahulu memvalidasi apakah Maiz benar-benar berzina atau tidak. Sedangkan pada kisah sahabat yang jima’ di bulan Ramadan, beliau menanyakan terlebih dahulu apa yang terjadi pada sahabat tersebut yang tiba-tiba datang mengucapkan celaka atas dirinya. Jika beliau ﷺ merespons para sahabat dengan respons panik atau emosi, pasti akan berdampak pada psikologis sahabat yang mungkin lebih tertutup atau kehilangan kepercayaan pada sosok Nabi ﷺ.

Memberi solusi pada pelaku dosa

Ketiga, Nabi ﷺ memberikan solusi atas apa yang telah terjadi. Dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, setelah mendapatkan informasi tersebut, beliau ﷺ memberikan solusi secara tidak langsung berupa langkah-langkah menunaikan kafarat. Pada pertanyaan pertama beliau menanyakan dari segi kepemilikan harta, yakni apakah orang tersebut memiliki budak. Hal ini menunjukkan urutan dari salah satu jenis harta terbesar, yakni budak. Lalu, jika tidak ada, maka ditanyakan kemampuan pribadi dalam melakukan puasa. Kemudian jika masih tidak mampu, ditawarkan untuk memberikan sebagian harta kepada orang fakir miskin untuk memenuhi makan mereka.

Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya, pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua, puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.

Pendapat Ibnu Al-Mulaqqin bahwa dalam hadis ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan), tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yang juga didukung oleh Ibn Daqiqil ‘Ied dan Ibnu Hajar dalam rangka kehati-hatian.

Memberikan solusi sesuai kemampuan orang

Keempat, solusi yang diberikan Nabi ﷺ juga bertingkat sesuai kemampuan orangnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memperhatikan kemampuan dan kadar seseorang dalam memberikan hukuman sebagai jalan keluar dari dosa tersebut. Tindakan ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan Nabi ﷺ yang tertuntun oleh wahyu Allah ﷻ.

Memberi jalan keluar tanpa menyepelekan syariat

Kelima, Nabi ﷺ berusaha memberikan jalan keluar tanpa menggampangkan atau menyepelekan syariat Islam. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menanyakan kemampuan sahabat tersebut dari hal yang paling berat terlebih dahulu, yakni memerdekakan budak, lalu berpuasa, kemudian memberi makan fakir miskin. Dari tawaran kafarat tersebut, dimaklumi bahwasanya pilihan tersebut berurutan dari yang paling berat hingga kepada kafarat yang lebih ringan. Sehingga, tatkala menyikapi seorang pendosa, hendaknya kita memberikan solusi yang terbaik sesuai panduan syariat. Kita juga perlu bijak menyikapi kadar diri sendiri dan jujur mengenai kemampuan kita.

Memberikan solusi dengan aksi

Keenam, Nabi ﷺ mengusahakan solusi atas seseorang tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga berupa harta. Ketika Nabi ﷺ mendapatkan kurma, beliau memberikannya kepada orang tersebut agar ia dapat menunaikan kafaratnya. Padahal, tidak ada tuntutan bagi Nabi ﷺ sebetulnya untuk mencukupkan harta sahabat tersebut. Namun, dengan sifat rahmat dan bijaksananya Nabi ﷺ, beliau memberikan kurma itu sebagai bentuk kecukupan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Jadi, beliau tidak hanya sekadar berpangku tangan jika tidak mampu menjalankan syariat menunaikan kafarat. Namun, beliau berusaha semaksimal mungkin agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Inilah akhlak Islam, yakni bersemangat untuk memberikan kebaikan kepada orang lain. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Abul Khaira rahimahullah berkata,

فقلب مملوء إيمانا، فعلامته الشفقة على جميع المسلمين، والاهتمام بما يهمهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم

“Hati yang dipenuhi iman tandanya adalah sayang terhadap kaum muslimin, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” (Tarikh Dimasyqi, 66:161)

Kutipan dari Abul Khaira ini tercermin secara sempurna dari sikap Nabi ﷺ pada sahabat yang melakukan dosa tersebut. Beliau menyikapi sahabat tersebut dengan kasih sayang, serta perhatian atas kepentingan mereka. Sehingga beliau memikirkan dan ikut mengusahakan agar sahabat tersebut dapat menunaikan kafaratnya. Beliau bersemangat dalam membantu agar kebaikan kembali  kepada sahabat tersebut, yakni kafarat atas dosanya dapat terpenuhi.

Mudah memberi uzur

Ketujuh, ketika semua langkah penunaian kafarat itu tidak mampu dilakukan oleh sahabat tersebut, Nabi ﷺ tetap tidak marah. Malah ketika sahabat tersebut menginginkan kurma yang seharusnya diberikan kepada orang fakir miskin, Nabi ﷺ tertawa mendengarkan itu dan membiarkan sahabat tersebut membawanya.

Mudah percaya dengan ungkapan yang menunjukkan iman

Kedelapan, saat sahabat tersebut bersumpah atas nama Allah ﷻ bahwa diri dan keluarganya yang termiskin di Madinah, Nabi ﷺ langsung mempercayainya. Sehingga Nabi ﷺ tidak pusing-pusing memvalidasi pernyataan tersebut. Dan meskipun sahabat tersebut melakukan dosa yang besar, Nabi ﷺ tidak kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada orang tersebut. Sehingga sumpahnya yang membawa nama yang paling agung langsung dipercayai.

Kemuliaan Nabi dalam menyikapi pendosa

Begitulah keindahan akhlak Nabi ﷺ dalam menyikapi pelaku dosa besar. Ini adalah keteladanan yang wajib kita tempuh dalam kehidupan. Kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya melahirkan sikap kebijaksanaan dalam menyikapi keadaan tidak ideal. Sungguh para pelaku dosa telah berada dalam keterpurukan, maka janganlah menambah kegelapan dalam jurang kehidupan mereka. Tidak jarang kita temukan teman yang diharapkan dapat memberikan nasihat dan solusi atas perbuatan dosa si pelaku, justru kian menenggelamkan mereka dengan celaan. Sehingga pelaku dosa tersebut itu putus asa dari rahmat Allah ﷻ dan akhirnya terus berenang dalam kubangan dosa karena merasa terlanjur hitam dan tidak dapat diterima lagi tobatnya.

Oleh karena itu, benarlah nasihat Syekh Ali bin Bakr As-Saqqaf,

الداعية عليه أن يرفق في دعوته، فيشفق على الناس ولا يشق عليهم، ولا ينفرهم من الدين بأسلوبه الغليظ والعنيف

“Seorang dai harus bersikap lemah lembut dalam dakwahnya, memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, tidak memberatkan mereka, dan tidak menjauhkan mereka dari agama dengan gaya yang kasar dan keras.”

فيدعو بالحكمة والموعظة الحسنة، ويتلطف مع العاصي بكلام ليِّن وبرفق ولا يعين الشيطان عليه

“Maka, (seorang dai) hendaknya berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bersikap lembut kepada pelaku maksiat dengan perkataan yang halus dan penuh kelembutan, serta tidak membantu setan dalam menyesatkannya.” (Majmu’ Al-Akhlaq Al-Islamiyah, 1:258)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

إذا رأيتم أخاكم قارف ذنباً فلا تكونوا أعواناً للشيطان عليه، تقولوا: اللهم أخزه، اللهم العنه،

“Jika kalian melihat saudara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk melawannya dengan mengatakan, ‘Ya Allah, hinakan dia! Ya Allah, laknatilah dia!

ولكن سلوا الله العافية، فإنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كنا نقول في أحد شيئاً حتى نعلم علام يموت؟ فإن ختم له بخير علمنا أن قد أصاب خيراً، وإن ختم بشر خفنا عليه

“Akan tetapi, mintalah kepada Allah, keselamatan baginya. Sesungguhnya kami, para sahabat Muhammad , tidak pernah berkata apa pun tentang seseorang hingga kami mengetahui bagaimana akhir hidupnya. Jika ia meninggal dengan akhir yang baik, maka kami tahu bahwa ia telah mendapatkan kebaikan. Namun, jika ia meninggal dengan akhir yang buruk, maka kami takut ia berada dalam keburukan.” (Riwayat Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 8574 dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1:313)

Semoga kita tidak tergolong hamba yang menjadi pembantu setan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita hamba yang senantiasa semangat dalam meneladani Nabi ﷺ.

***

Penulis: Glenshah Fauzi


Artikel asli: https://muslim.or.id/102525-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-orang-yang-berbuat-dosa.html