Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 3)
Prinsip kedua: Melarang praktik riba
Pengertian riba secara bahasa dan istilah
Secara bahasa, riba artinya penambahan. Dikatakan,
رَبَا الشَّيْئُ
jika sesuatu tersebut bertambah. [1]
Makna tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. Ar-Rum: 39)
Adapun dalam istilah fikih, riba terdiri dari dua jenis:
Pertama: riba jahiliyah atau riba utang piutang (riba qardh). Yang dimaksud dengan riba utang piutang adalah penambahan nominal utang (=bunga) sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan. Baik penambahan nominal utang tersebut disyaratkan di awal akad atau disyaratkan ketika jatuh tempo. [2]
Dalam praktik jahiliyah, riba baru ditetapkan apabila utang telah jatuh tempo dan debitur tidak mampu melunasi. Sehingga, apabila debitur mampu melunasi pada saat jatuh tempo, tidak ada riba yang ditetapkan oleh kreditur. Oleh karena itu, riba zaman sekarang ini lebih parah daripada riba jahiliyah karena pada zaman sekarang, bunga telah ditetapkan sejak awal akad.
Kedua: riba jual beli (riba bai’). Riba jual beli ada dua jenis:
1) Riba fadhl; yaitu penambahan kuantitas salah satu komoditas riba yang sejenis (satu kelompok) ketika dipertukarkan. [3]
2) Riba nasi’ah; yaitu penundaan penyerahan salah satu dari dua komoditas riba yang dipertukarkan yang masih satu kelompok. [4]
Untuk lebih memahami dua jenis riba jul beli, kita perlu mengenal terlebih dahulu komoditas ribawi yang ditetapkan oleh syariat. Komoditas ribawi ada enam, yaitu emas, perak, kurma, gandum halus (burr), gandum kasar (sya’ir), dan garam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter (ditukar) dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika barang yang ditukarkan berbeda, maka takarannya boleh sesuai keinginan kalian, asalkan harus tunai.” (HR. Muslim no. 1587)
Berdasarkan hadis-hadis dalam masalah ini, para ulama membagi komoditas ribawi menjadi dua macam:
Kelompok pertama, adalah emas dan perak. ‘Illah (latar belakang adanya hukum) untuk kelompok pertama adalah karena statusnya sebagai muthlaq tsamaniyyah (digunakan sebagai mata uang), menurut pendapat yang paling kuat. Sehingga diqiyaskan dengan kelompok pertama ini adalah semua mata uang di zaman sekarang (uang rupiah, dolar, euro, dan sebagainya).
Kelompok kedua, adalah kurma, gandum halus, gandum kasar, dan garam. ‘Illah untuk kelompok kedua adalah statusnya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan, menurut pendapat yang paling kuat.
Aturan yang berlaku dalam tukar-menukar komoditas ribawi adalah sebagai berikut.
Pertama, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang sama, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1) kuantitas harus sama; dan 2) harus tunai.
Jika kuantitas tidak sama, maka terjadi riba fadhl. Misalnya, uang Rp.100.000 yang masih baru ditukar dengan 11 lembar uang Rp. 10.000 uang lama (sehingga totalnya Rp.110.000). Kelebihan Rp.10.000 merupakan riba fadhl.
Jika tidak tunai, maka terjadi riba nasi’ah. Misalnya, uang Rp.100.000 ditukar dengan pecahan uang Rp.50.000 2 lembar, 1 lembar diserahkan pada saat akad, 1 lembar lagi diserahkan seminggu kemudian.
Kedua, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, maka hanya ada satu syarat, yaitu harus tunai, sedangkan kuantitas boleh berbeda. Misalnya, uang 1 dolar Amerika ditukar dengan Rp.15.000. Maka, harus terjadi serah terima pada saat akad. Jika tidak diserahkan tunai (ada yang tertunda), maka terjadilah riba nasi’ah.
Ketiga, jika tukar-menukar dilakukan antara barang yang berbeda kelompok. Untuk bentuk ketiga ini, maka tidak ada aturan khusus, artinya kuantitas boleh tidak sama dan boleh tidak tunai.
Hukum riba dalam transaksi muamalah
Diharamkannya riba merupakan salah satu pokok syariat dalam bab muamalah, dan termasuk dalam perkara al-ma’lum min ad-diin bi adh-dharurah (perkara-perkara yang hukumnya jelas dan terang-benderang, diketahui oleh kaum muslimin awam sekalipun). [5] Haramnya riba ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran, As-Sunah, dan ijmak.
Dalil dari Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Juga firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Dalil dari As-Sunah
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, juru tulisnya, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama (dalam dosa).” (HR. Muslim no. 1598)
Riba termasuk dosa besar. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Rasulullah bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang sedang berkecamuk; dan menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)
Dalil ijmak
Para ulama sepakat haramnya riba dalam akad muamalah, sebagai ijmak yang qath’i (pasti). [6] Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa diharamkannya riba juga disepakati oleh syariat-syariat sebelumnya. [7] Meskipun demikian, para ulama berselisih pendapat tentang rincian kasusnya, juga dalam menentukan syarat-syaratnya.
Riba yang pertama kali diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah riba jahiliyah, ketika orang-orang musyrik mengatakan,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Yaitu, ketika orang yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata kepada orang yang meminjam (berutang, atau debitur), “(Utangmu) dilunasi sekarang, atau berikan tambahan (bunga).”
Allah Ta’ala berkata ketika mengharamkan riba jenis ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda; dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang riba jahiliyah,
وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
”Riba jahiliyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi sendiri, pen.). Maka riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib dihapus seluruhnya” (HR. Muslim no. 1218)
Riba jahiliyah diharamkan karena mengandung kezaliman, memakan harta orang lain secara batil. Hal ini karena penambahan dari pokok utang yang dilakukan oleh kreditur, penambahan tersebut diambil tanpa ada kompensasi. [8]
Demikian pula, termasuk dalam praktik riba adalah semua keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari transaksi utang piutang. [9] Ulama sepakat bahwa semua utang yang menghasilkan manfaat atau keuntungan, maka statusnya adalah riba. Hal ini karena transaksi utang piutang didasari untuk membantu meringankan kesulitan orang lain, sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil keuntungan dari utang piutang.
Dalil-dalil yang mengharamkan riba mencakup semua jenis riba di atas. Oleh karena itu, jelaslah bahwa adanya unsur riba dalam akad muamalah merupakan sebab diharamkannya akad muamalah tersebut. [10] Akan tetapi, untuk menghukumi apakah suatu akad atau transaksi itu mengandung unsur riba ataukah tidak, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam tentang seluk beluk transaksi dan juga membutuhkan kehati-hatian, tidak tergesa-gesa dalam memvonis apakah mengandung riba ataukah tidak.
Ibnu Katsir rahimahullah mengingatkan,
وَبَابُ الرِّبَا مِنْ أَشْكَلِ الْأَبْوَابِ عَلَى كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Bab tentang riba adalah salah satu bab yang paling sulit dipahami oleh banyak ulama.” [11]
Contoh penerapan dalam transaksi muamalah
Untuk lebih memahami prinsip ini, berikut kami sebutkan beberapa contoh akad muamalah yang haram karena mengandung unsur riba [12]:
Contoh pertama: bunga bank. Bank sebagai lembaga pembiayaan memberikan pinjaman kepada perseorangan atau pengusaha untuk digunakan sebagai modal (atau keperluan lainnya). Nominal utang tersebut harus dikembalikan dalam jumlah yang sama ditambah bunga, atau pihak bank menerapkan denda jika debitur terlambat membayar utang sesuai dengan tempo yang telah ditentukan. Begitu pula bunga bank yang diterima oleh orang yang menabung di bank, karena hakikat dari menabung di bank adalah memberikan pinjaman (qardh).
Contoh kedua: jual beli emas dengan cara tidak tunai, misalnya murabahah emas. Bentuknya, seseorang datang ke bank untuk membeli emas batangan dengan berat tertentu seraya membayar uang muka. Lalu, bank membeli emas batangan yang diinginkan nasabah, dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank sampai utang tersebut lunas. Dalam deskripsi ini, uang muka diserahkan di depan, namun emas batangan baru diserahkan beberapa bulan atau tahun setelah lunas.
Contoh ketiga: memanfaatkan barang gadai. Barang gadai diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan kepercayaan dari pihak debitur, sehingga statusnya masih tetap milik debitur. Ketika barang gadai ini dimanfaatkan oleh kreditur, berarti dia mendapatkan manfaat atau keuntungan dari utang yang diberikan. Sedangkan semua utang-piutang yang menghasilkan keuntungan, maka statusnya adalah riba.
[Bersambung]
***
@26 Jumadil akhir 1446/ 28 Desember 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Lisanul ‘Arab, 14: 304; Al-Mishbah Al-Munir, hal. 114-115.
[2] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 152-160; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 22-26.
[3] Lihat Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mu’ashirah, hal. 55; Al-Jami’ fi Ushul Ar-Riba, hal. 74.
[4] Lihat Kasyaf Al-Qina’, 3: 263-264; Mathalib Ulin Nuha, 3: 170.
[5] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8.
[6] Di antara ulama yang menukil ijmak ini adalah Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’, hal. 103; Ibnu Rusyd dalam Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 8; Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 9: 391; dan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa,
[7] Lihat Al-Muqaddimah Al-Mumahhidat, 2: 5; Al-Hawi Al-Kabir, 5: 74.
[8] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419, 20: 341, 350; I’lamul Muwaqi’in, 1: 387; Al-Muwafaqat, 4: 40.
[9] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19: 283-284; I’lamul Muwaqi’in, 2: 136-137; Al-Muwafaqat, 4: 41-42.
[10] Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 125; Majmu’ Al-Fatawa, 29: 419; Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327; Al-Muwafaqat, 4: 42.
[11] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 327.
[12] Contoh-contoh ini merujuk pada buku Ada Apa dengan Riba, karya Ustadz Ammi Nur Baits; dan Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Artikel asli: https://muslim.or.id/102702-prinsip-prinsip-memahami-halal-haram-dalam-transaksi-muamalah-bag-3.html