Beranda | Artikel
Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?
1 hari lalu

Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi.

Muslim punya jati diri

Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya.

Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.)

Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim.

Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka:

Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ

Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ

Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.)

Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ

Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)

Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai

Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia.

Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas.

Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ

“Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208)

Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama.

Percaya diri menjadi muslim

Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ

Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS. Al-Maidah: 3)

Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya?

Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara.

Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun

Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya.

Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.


Artikel asli: https://muslim.or.id/101589-renungan-akhir-tahun-bagaimana-menjadi-muslim-seutuhnya.html