Beranda | Artikel
Antara Tawa dan Tangis (Bag. 1)
18 jam lalu

Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى

Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan,

هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك

Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.[1]

Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini.

Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti

Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata,

دوام الحال من المحال

Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.

Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda,

إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.[2]

Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia.

Mengapa aku harus menangis?

Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya. [3]

Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط

Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.[4]

Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya,

يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء

Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.[5]

Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ

Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda.

Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya.

[Bersambung]

***

Penulis: Reza Mahendra


Artikel asli: https://muslim.or.id/101364-antara-tawa-dan-tangis-bag-1.html