Beranda | Artikel
Allâh al-Hakîm, Maha Bijaksana
Rabu, 11 Mei 2022

ALLAH AL-HAKIM, MAHA BIJAKSANA

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Sesungguhnya di antara sebab terbesar untuk menambah iman hamba adalah memahami sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dan beribadah kepadaNya dengan kandungan sifat-sifat itu. Dan di antara sifat-sifat kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla adalah sifat hikmah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat menetapkan sifat hikmah bagi Allâh Azza wa Jalla , namun sebagian orang yang menyimpang menolaknya dengan akal atau perasaannya yang menyimpang.

Dalil Al-Qur’an
Allâh Azza wa Jalla memiliki asmaul husna (nama-nama yang paling indah), di antara asmaul husna Allâh adalah Al-Hakîm. Allâh Azza wa Jalla memberitakan nama-Nya Al-Hakîm di dalam al-Qur’an sebanyak 91 kali. Semuanya dirangkaikan dengan nama-Nya yang lain.

Allâh Azza wa Jalla memberitakan doa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il, ketika keduanya membangun Ka’bah, dengan firman-Nya:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa) lagi Al-Hakîm (Maha Bijaksana).  [Al-Baqarah/2:129]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla merangkaikan nama al-Hakîm (Maha Bijaksana) dengan al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa). Allâh Azza wa Jalla merangkaikan kedua nama ini dalam 50 tempat di dalam al-Qur’an.

Di dalam ayat-ayat lain Allâh Azza wa Jalla merangkaikan nama al-Hakîm (Maha Bijaksana) dengan al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui). Allâh Azza wa Jalla merangkaikan kedua nama ini di dalam 26 tempat di dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَقَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ 

Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam  nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui) lagi al-Hakîm (Maha Bijaksana).” [Al-Baqarah/2:31-32]

Dalil As-Sunnah
Adapun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan nama Allâh al-Hakîm antara lain sebagai berikut:

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ، قَالَ: ” قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ”

Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya (Sa’ad bin Abi Waqqash), dia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Ajarilah aku perkataan (dzikir) yang aku akan mengucapkannya!”.  Beliau bersabda, “Katakanlah: Laa ilaaha illallâh…(Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allâh Maha Besar sebesar-besarnya, segala puji yang banyak hanya milik Allâh, Maha Suci Allâh Rabb (Penguasa) seluruh makhluk. Tidak ada daya (untuk melakukan ketaatan) dan tidak ada kekuatan (untuk meninggalkan kemaksiatan) kecuali dengan (bantuan) Allâh al-‘Azîz (Yang Maha Kuasa) lagi al-Hakîm (Maha Bijaksana)”. [HR. Muslim, no. 33/2696]

Di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu disebutkan:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو عِنْدَ الكَرْبِ: “لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الحَكِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَرَبُّ العَرْشِ الكَرِيمُ”

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa di saat kesusahan, “Laa ilaaha illallâh…(Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh, al-Halîm (Yang Maha Sabar) al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh, Rabb (Penguasa) semua langit dan bumi, dan Rabb singgasana yang agung”. [HR. Tirmidzi, no. 3435. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani]

Kedua hadits di atas menyebut Al-Hakîm yang merupakan salah satu dari asmaul husna Allâh.

Dalil Akal
Demikian pula akal dan realita menetapkan bahwa Allâh Azza wa Jalla bersifat hikmah. Syaikhul Islam rahimahullah (wafat th 728 H) berkata:

وَالْغَايَاتُ الْمَحْمُودَةُ فِي مَفْعُولَاتِهِ وَمَأْمُورَاتِهِ – وَهِيَ مَا تَنْتَهِي إلَيْهِ مَفْعُولَاتُهُ وَمَأْمُورَاتُهُ مِنْ الْعَوَاقِبِ الْحَمِيدَةِ – تَدُلُّ عَلَى حِكْمَتِهِ الْبَالِغَةِ؛

Tujuan-tujuan yang terpuji pada semua perbuatan dan perintah Allah, yaitu akibat-akibat terpuji yang berakhir dari semua perbuatan dan perintah Allah, menunjukkan hikmahNya yang sempurna”. [Majmu’ al-Fatawa, 3/19]

Makna Nama Allâh al-Hakîm
Banyak sekali penjelasan para Ulama tentang makna al-Hakîm yang merupakan nama Allâh Azza wa Jalla.

Imam Ibnu Jarir ath-Thabariy rahimahullah (wafat th 310 H) berkata, “Al-Hakîm adalah Yang pengaturan-Nya tidak ada cacat dan kesalahan”.[1]

Imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata, “Al-Hakîm di dalam semua perbuatan-Nya dan perkataan-Nya, meletakkan segala sesuatu di tempatnya, karena  ilmu-Nya, hikmah-Nya, dan keadilan-Nya”.[2]

Imam Ibnul Atsir rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata, “Di antara nama-nama Allâh adalah al-Hakam dan al-Hakîm, keduanya berarti hakim, yaitu qadhi. Atau al-Hakîm bermakna Muhkim, yaitu yang melakukan atau membuat sesuatu dengan sempurna. Ada yang mengatakan: al-Hakîm bermakna Dzul hikmah (yang memiliki hikmah). Sedangkan hikmah adalah ungkapan tentang mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama. Dan orang yang mengetahui perincian-perincian barang buatan dan mampu membuatnya dengan sempurna disebut: hakîm”.[3]

Dengan memperhatikan asal kata dan penjelasan para ulama ahli bahasa Arab, bahwa nama Allâh Al-Hakîm memiliki tiga makna pokok:

  1. Hakîm dengan makna hâkim, artinya Yang memutuskan hukum.
  2. Hakîm dengan makna muhkim, artinya Yang membuat sesuatu dengan sempurna.
  3. Hakîm dengan makna dzul hikmah, artinya Yang memiliki sifat hikmah.

Penjelasan Mengenai Hikmah Allâh Azza wa Jalla
Hikmah Allâh terdapat di dalam ciptaan-Nya dan syari’at-Nya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan masalah ini di dalam sya’irnya, Nûniyyah:

والحكمة العليا على نوعين أيـ … ـضا حصلا بقواطع البرهان
إحداهما في خلقه سبحانه … نوعان أيضا ليس يفترقان
أحكام هذا الخلق إذ إيجاده … في غاية الإحكام والإتقان
وصدوره من أجل غايات له … وله عليها حمد كل لسان
والحكمة الأخرى فحكمة شرعه … أيضا وفيها ذانك الوصفان
غاياتها اللائي حمدن وكونها … في غاية الإتقان والإحسان

Hikmah Allâh yang paling tinggi terdapat di dalam dua jenis juga
Keduanya diketahui dengan bukti-bukti pasti yang nyata
Pertama: terdapat di dalam ciptaan-Nya
Ada dua jenis sifat yang keduanya tidak terpisahkan (pada ciptaan-Nya)
Kesempurnaan ciptaan-Nya, karena Dia menciptakannya di dalam puncak kesempurnaan
Dan terjadi ciptaan itu dari sebab tujuan-tujuannya…
Dan Allâh berhak dipuji oleh seluruh lidah pada tujuan-tujuan penciptaan
(Kedua) Hikmah yang lain, yaitu hikmah pada syari’at-Nya, padanya terdapat dua sifat itu juga Tujuan-tujuan syari’at yang dipuji, dan keadaannya yang berada di puncak kesempurnaan
(Al-Kâfiyah Asy-Syâfiyah, hlm. 206)

Di dalam sya’ir agung ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hikmah Allâh terdapat di dalam ciptaan-Nya dan syari’at-Nya.

Di dalam ciptaan-Nya, yaitu makhluk-Nya dan takdir-Nya, ada dua sifat yang menunjukkan hikmah-Nya:

  1. Keadaan ciptaan Allâh yang berada di puncak kesempurnaan. Kalau kita memperhatikan keadaan langit, bumi, daratan, lautan, hewan, tumbuhan, dan lainnya, kita akan mengetahui kesempurnaan ciptaan Allâh Azza wa Jalla.
  2. Tujuan-tujuan keberadaan makhluk Allâh. Kalau kita memperhatikan manfaat-manfaat dari makhluk Allâh, baik manfaat tanah, air, udara, hewan, tumbuhan, kita akan mengetahui sebagian hikmah dari ciptaan Allâh Azza wa Jalla . Bahkan berbagai kejadian, baik menyenangkan atau menyusahkan di sana terdapat hikmah dan tujuan, baik kita memahami atau tidak memahami.

Di dalam syari’at-Nya, yaitu agama-Nya dan peraturan-Nya, ada dua sifat yang menunjukkan hikmah-Nya:

  1. Keadaan syari’at Allâh yang berada di puncak kesempurnaan. Kalau kita memahami ajaran-ajaran Islam di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah, dan lainnya, kita akan mengetahui kesempurnaan syari’at Allâh Azza wa Jalla.
  2. Tujuan-tujuan syari’at Allâh, baik di dalam perintah, larangan, atau keyakinan. Kalau kita memperhatikan syari’at Allâh, maka kita yakin semuanya memiliki manfaat-manfaat yang agung, karena syari’at ini datang dari Allâh al-Hakîm, yang Maha Bijaksana. Baik kita memahami secara rinci dari hikmah syari’at atau tidak memahami.

Dampak Iman Kepada Sifat Hikmah Allâh Azza wa Jalla
Seorang hamba yang meyakini sifat hikmah Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam takdir-Nya, atau syari’at-Nya, maka dia akan selalu husnuzhan (berbaik sangka) kepada Penciptanya. Ketika dia melihat sebagian manusia ada yang diberi rezeki melimpah, ada yang disempitkan rezekinya; ada yang ditinggikan kedudukannya, ada yang direndahkan; ada yang diberi kekuasaan, ada yang dijatuhkan dari kekuasaannya, maka dia meyakini bahwa itu pasti karena hikmah dan tujuan yang terpuji yang Allâh kehendaki. Dengan demikian seorang hamba yang meyakini hikmah Allâh Azza wa Jalla tidak akan marah kepada takdir Allâh Azza wa Jalla , bahkan dia akan menerima dan memuji Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji dari segala sisi.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan tentang keadaan orang Mukmin yang menakjubkan, yaitu karena semua urusannya baik baginya.

عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengherankan urusan seorang Mukmin. Sesungguhnya semua urusan orang Mukmin itu baik, dan itu tidaklah ada kecuali bagi orang mukmin. Jika kesenangan mengenainya, dia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan  jika kesusahan mengenainya, dia bersabar, maka sabar itu baik baginya.[HR. Muslim, no: 2999]

Banyak orang ketika menderita sakit, dia berkeluh kesah, bahkan terkadang berputus asa dan berprasangka buruk kepada Allâh al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Padahal sakit bagi seorang Mukmin memiliki banyak manfaat dan hikmah bagi orang yang mengetahuinya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا ابْتَلَى اللهُ الْعَبْدَ الْمُسْلِمَ بِبَلَاءٍ فِي جَسَدِهِ، قَالَ اللهُ: اكْتُبْ لَهُ صَالِحَ عَمَلِهِ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، فَإِنْ شَفَاهُ غَسَلَهُ وَطَهَّرَهُ، وَإِنْ قَبَضَهُ غَفَرَ لَهُ وَرَحِمَهُ”

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika Allâh menguji hamba-Nya yang Muslim dengan penyakit di badannya, Allâh berfirman (kepada malikat pencatat amal): “Tulis pahala baginya amal shalih yang biasa dia lakukan (ketika sehat)”. Jika Allâh menyembuhkannya, Allâh membersihkannya dan menyucikannya (dari dosa-dosa), namun jika Allâh mewafatkannya, Allâh mengampuninya dan mengasihinya”. [HR. Ahmad, no. 12503; dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad; dan Syaikh Albani di dalam Irwaul Ghalil, penjelasan hadits no. 560; penjelasan dishahihkan]

Sebagian orang suka menyalahkan musibah dan bencana, padahal keduanya terjadi dengan takdir dan hikmah Allâh Azza wa Jalla. Maka  musibah dan bencana itu pasti memiliki manfaat dan tujuan yang agung, baik kita mengetahui hikmah itu atau tidak mengetahuinya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ اَخَذْنٰهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوْا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُوْنَ

Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka (orang-orang kafir)], maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. [Al-Mukminûn/23:76]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sebagian dari hikmah bencana di dunia kepada orang-orang kafir, yaitu agar mereka merendahkan diri dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kita lihat di berbagai tempat, kaum  Muslimin ditindas dan dihinakan oleh orang-orang kafir, bahkan sebagian mereka dibunuh dengan mengenaskan. Tentu semua mengandung hikmah dari Allâh Azza wa Jalla .

Ketika banyak kaum sahabat Nabi terluka dan meninggal dunia di dalam perang Uhud, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗوَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ 

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allâh membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allâh tidak menyukai orang-orang yang zalim.  [Ali Imran/3:140]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sebagian dari hikmah kematian kaum Muslimin dalam perang Uhud adalah agar mereka menjadi orang-orang yang meraih syahadah (mati syahid). Kita tahu betapa kematian tertinggi adalah meraih syahadah!

Oleh karena itu terkadang musibah bisa menghantarkan seorang hamba menuju derajat tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla , ketika hamba tersebut terbatas amalannya. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الرَّجُلَ تَكُونُ لَهُ الْمَنْزِلَةُ عِنْدَ اللَّهِ فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ فَلَا يَزَالُ يَبْتَلِيهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبْلِغَهُ ذَلِكَ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ “

Abu Hurairah, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allâh, tetapi dia  tidak bisa memperolehnya dengan amalannya. Maka Allâh senantiasa terus mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya, hingga dia mencapai kedudukan itu.” [HR. Al-Hakim, no. 1274; dan dia menshahihkannya]

Dengan memahami hikmah Allâh Azza wa Jalla , maka seorang hamba akan mengikuti syari’at dengan sebaik-baiknya, karena dia yakin syari’at Allâh merupakan hikmah yang agung, datang dari Allâh al-Hakîm. Dan hamba tersebut juga akan bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika mendapatkan musibah, sehingga dia akan meraih kebahagiaan di dunia sebelum di akhiratnya. Maka segala puji bagi Allâh Rabb semesta alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]Tafsir ath-Thabariy, 3/88
[2]Tafsir Ibnu Katsir, 1/318; penerbit: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah. Catatan: Di dalam Tafsir Ibnu Katsir cetakan lainnya ada sedikit perbedaan kalimat
[3] an-Nihâyah fii Gharibil Hadits wal Atsar, 1/419


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/55646-allah-al-hakim-maha-bijaksana.html