Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 3)
Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi
Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum syariat dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang penting adalah:
Syarat pertama
Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke acara walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) karena kemungkinan adanya najis (misalnya, babi).
Jika undangan tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan mereka, seperti perayaan hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena hal itu berarti menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa akidah kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika perayaan hari besar mereka.
Syarat kedua
Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang harus seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada manfaat (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada manfaat dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, karena pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada manfaat yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah.
Syarat ketiga
Pengundang harus menyebutkan (nama) orang yang diundang dan menyebutkan secara khusus bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, atau dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak hadir dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain.
Adapun jika undangan itu bersifat umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang kamu temui”; atau memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini karena pemilik acara (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga apabila orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak akan merasa kecewa, dan ia tidak akan menanyakan tentang ketidakhadirannya.
Terdapat pengecualian apabila yang diundang adalah kerabat atau rekan (sahabat), dan diketahui apabila yang diundang tidak hadir, hal itu akan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi atau pelanggaran terhadap hak pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang akan merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya ia memenuhi undangan tersebut.
Adapun pendapat sebagian ahli fikih yang menyatakan bahwa jika undangan bersifat umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib.
Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha,
ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ
“Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang kamu temui … “ (HR. Bukhari no. 5163)
Syarat keempat
Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti hiburan yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri acara tersebut.
Hal ini berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Dan juga firman-Nya,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140)
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250)
Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang pria yang membuat makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lalu dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249)
Al-Auza’i rahimahullah berkata,
لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف
“Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana atau alat musik.” [4]
Namun, apabila seseorang mampu mengubah kemungkaran tersebut dengan jabatan (kewenangan atau otoritasnya) atau kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh hadir dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49)
Inilah yang wajib bagi seorang muslim, yaitu memiliki semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat melihat kemungkaran, agar Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beriman yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664)
Syarat kelima
Orang yang diundang tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, atau khawatir akan keselamatan diri, keluarga, atau harta benda. Semua kewajiban syariat gugur dengan adanya uzur, berdasarkan kaidah,
لا واجب مع العجز
“Tidak ada kewajiban ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i.
Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka kewajiban memenuhi undangan itu gugur. [5]
Syarat keenam
Undangan itu harus pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk acara yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya.
Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebutkan ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya masih diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7]
[Bersambung]
***
@Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331.
[2] Lihat Al-Mughni, 10: 194.
[3] Sebagian ulama memberikan catatan bahwa apabila kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari ceramah Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini)
[4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya.
[5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246.
[6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71.
[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/100749-hukum-hukum-terkait-walimah-pesta-pernikahan-bag-3.html