Hukum Jasa Titip (Jastip) dalam Perspektif Islam
Jastip (sebagai singkatan dari jasa titip) menjadi hal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, hal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai peluang usaha yang cukup menghasilkan.
“Mumpung kamu sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya khas daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, atau saya bayar kalau anda sudah sampai di sini. Sekaligus upah untuk anda.” Demikian gambaran ringkas tentang jastip.
Pengertian jastip
Dari sisi bahasa Indonesia
Sebelum beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu hukum berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya.
Jastip: jasa pembelian suatu barang yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko fisik maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya. [1]
Dari sisi syar’i
Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini akan datang perinciannya.
Model-model jastip
Al-Wakalah bil Ujrah
Jastip dalam hal ini menjadikan seorang yang membelikan barang atau penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut,
B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000.
Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini:
Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang.
Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua hal ini yang betul-betul harus diperhatikan dalam akad jastip ini.
Di antara dalil yang membolehkan akad seperti ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا
“Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19)
Ketentuan-ketentuan dalam akad ini:
Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak harus jelas di awal akad. Kesepakatan berupa uang yang diberikan, harga barang, dan upah yang akan diberikan.
Kedua: Yang harus diingat bahwa posisi yang membelikan barang atau penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga ia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan barang tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya.
Ketiga: Barang yang ingin dijastipkan harus jelas, tidak boleh samar-samar. Dalam hal ini, penyedia jastip harus jujur sejujur-jujurnya. Jika ada kerusakan atau cacat barang, maka harus dijelaskan.
Keempat: Jika ada diskon dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena hal tersebut adalah hak pembeli, bukan hak wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip harus mengabarkan pihak yang menitipkan.
Kelima: Jika penyedia jastip membelikan barang yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka barang tersebut berhak untuk dikembalikan ke penyedia jastip.
Keenam Jika penyedia jastip membelikan barang lebih banyak daripada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun ternyata ia mendapatkan 2 ekor dengan uang yang diberikan. Hal ini menurut ulama Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berhak diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ulama Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja.
Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya harus diperhatikan oleh kedua belah pihak.
Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu
Model kedua ini, penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut,
B sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.”
Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli. Dalam hal ini, penyedia jastip boleh untuk mengambil keuntungan dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena hal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga akad wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna layanan jastip ini tidak harus membeli. Sehingga ada beberapa hal yang harus digaris bawahi:
Pertama: Akad ini jatuhnya adalah akad jual beli.
Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan.
Ketiga: Pengguna layanan jastip tidak harus membeli.
Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beralih kepada ketentuan-ketentuan berikut.
Ketentuan-ketentuan pada akad ini:
Pertama: Akad ini adalah akad jual beli, karena penyedia jastip membeli barangnya terlebih dahulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah-olah ia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil.
Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, ia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan layanan jastipnya.
Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan sesuai dengan keinginannya. Jika ada diskon dari toko, ia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misalnya, harga barang Rp.100.000; kemudian karena membeli banyak, turunlah harga tersebut menjadi Rp.80.000, maka keuntungan ini berhak diperoleh oleh penyedia jastip dalam model akad seperti ini.
Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni akad jual beli.
Kelima: Pengguna layanan jastip boleh membeli barang tersebut atau tidak membelinya. Kalau dirasa barang yang ditawarkan terlalu mahal, ia berhak untuk menolak pembeliannya.
Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada akad ini masuknya ke dalam kategori jual beli.
Penyedia jastip membelikan barang dengan uangnya [2]
Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna layanan untuk membeli suatu barang dengan menggunakan uang penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Dalam artian akad dalam hal ini adalah akad sosial atau pure untuk membantu.
Gambaran sederhananya:
A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, nanti saya ganti kalau engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada uang tambahan sebagai “jasa”.
Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan alasan tidak ada manfaat yang diperoleh oleh B.
Namun, jika penyedia jastip mengambil keuntungan pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua akad yang berjalan pada satu transaksi.
Pertama: Akad utang piutang.
Kedua: Akad jual beli jasa.
Gambaran sederhananya:
Seperti di atas, namun A meminta biaya jasanya atau B memberikan biaya jasa. Maka, hal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai manfaat tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidahnya,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا
“Setiap utang piutang yang memberikan manfaat, maka itu adalah riba.”
Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, uang talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat”. Dan manfaat itu tidak akan ada, kecuali setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Daud)
Hal ini dilarang karena sebagai bentuk hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga hal ini menjadi wasilah untuk mengambil manfaat dari utang piutang.
Beberapa hal yang harus diketahui tentang akad ini:
Pertama: Akad seperti ini adalah akad yang tidak diperbolehkan, karena menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.
Kedua: Solusi dari akad yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua akad sebelumnya. Keduanya InsyaAllah akad yang diperbolehkan.
Ketiga: Sebagian ulama ada yang membolehkan akad seperti ini dengan syarat ‘urf atau kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, atau tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan uang anaknya, kemudian ibu ingin melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, hal ini dikecualikan oleh sebagian ulama.
Wallahu A’lam
***
Depok, 19 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/100929-hukum-jasa-titip-jastip-dalam-perspektif-islam.html