Beranda | Artikel
Cara Masuk Islam
Kamis, 28 November 2024

Salah satu keistimewaan agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam bersifat langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, ia dapat berhubungan dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, atau kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Mengucapkan dua kalimat syahadat

Masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung,

أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله

ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH”

(Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

Pengucapan ini adalah bentuk pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu:

Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, tanpa sekutu, tandingan, atau yang menyerupai-Nya, serta berserah diri dan patuh pada perintah dan larangan-Nya.

Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua kabar yang disampaikan oleh beliau.

Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, ia menjadi seorang muslim yang benar. Ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1]

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan,

ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا

Telah menjadi hal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan ia menjadi seorang muslim.[2]

Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab

Jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika ia mampu berbahasa Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa,

يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ

Mayoritas ulama berpendapat, jika seorang nonmuslim ingin masuk Islam dan ia tidak bisa berbahasa Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.[3]

Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan benar sehingga ia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) atau lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas hal ini atau bertanya kepada seorang alim untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Apakah harus menghadirkan saksi?

Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan campur tangan atau persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,

أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله

ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH”
(Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4]

Jadi, tidak disyaratkan kehadiran imam atau saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,

ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق.

Keabsahan Islam tidak bergantung pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ ia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.[5]

Apakah harus mandi?

Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ

“Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lalu perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6]

Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, atau seorang wanita masuk Islam dalam keadaan haid atau nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan karena masuk Islam, tetapi karena mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7]

Bagaimana status hukum pernikahan?

Islam mengajak seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan keluarga yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri atau diputuskan begitu saja. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum terkait pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batasan serta implikasinya.

Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam bersama atau salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status hukum pernikahan dalam situasi-situasi ini?

Jika keduanya masuk Islam bersama

Para ulama sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara bersamaan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini berlaku baik mereka masuk Islam sebelum atau setelah berhubungan badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan detail atau syarat-syaratnya.

Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu

Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berhubungan badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut:

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah ahli kitab

Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana firman Allah,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

“Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan ahli kitab

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan ahli kitab, maka pernikahan harus diputuskan (diakhiri), kecuali istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali haid bagi wanita yang masih mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, atau sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal.

Dalil dari hukum ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka.

Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim

Jika istri masuk Islam sementara suaminya masih nonmuslim (baik ahli kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan masih dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir.

Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ

“Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka ia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983)

Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan akad baru.

Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, ia wajib memberitahukan hal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan cara yang baik. Ia juga harus menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka ia harus berpisah dengannya. [9]

Apa yang harus dilakukan setelah masuk Islam?

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari ajaran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah.

Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, ia berkata,

كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.»

Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lalu memerintahkannya untuk membaca doa berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697)

Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ

“Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani).

Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berarti setiap muslim baru harus mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda khusus orang kafir- harus dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di berbagai tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam.

Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah kewajiban bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10]

Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa.

***

Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab


Artikel asli: https://muslim.or.id/100927-cara-masuk-islam.html