Beranda | Artikel
Aqidah Makna dan Urgensinya
Jumat, 11 Maret 2022

AQIDAH MAKNA DAN URGENSINYA

Oleh
Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin

Sesungguhnya ilmu tentang aqidah merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ilmu aqidah membahas tentang dzat Allâh Azza wa Jalla, sifat-sifat-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, dan yang berkaitan dengannya. Al-Bazdawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kemuliaan dan keagungan suatu ilmu tergantung pada apa yang diilmui, dan tidak ada yang lebih besar daripada dzat Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya yang dibahas oleh ilmu (aqidah) ini.”[1]

Makna Aqidah
Aqidah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat, ikatan, kokoh, mengokohkan[2].

Sedangkan secara istilah, aqidah artinya: Keimanan yang kuat kepada Allâh, dan hak-Nya yang berupa tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta keimanan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk ushuludin (pokok-pokok agama)[3].

Nama-Nama Lain dari Ilmu Aqidah

Sunnah
Banyak Ulama Salaf menyebut aqîdah shahîhah (akidah yang benar) dengan nama ‘sunnah’. Ini untuk membedakannya dari keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat firqah-firqah (golongan-golongan) sesat. Karena akidah yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sunnah merupakan penjelas al-Qur’ân.

Sebagian Ulama Salaf telah menulis kitab-kitab akidah dan mereka menamakannya dengan ‘as-sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, kitab as-Sunnah karya imam Ibnu Abi ‘Ashim, dan lainnya.

Ushuludin
Sebagaimana sebagian Ulama menamakan akidah dengan ushûludin (pokok-pokok agama), karena agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi  i’tiqâdât (keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyât (amalan-amalan). Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyât adalah ilmu tentang syari’at-syari’at dan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan, seperti hukum-hukum shalat, zakat, jual-beli, dan lainnya.  ‘Amaliyyât juga dinamakan far’iyyah atau furû (cabang). ‘Amaliyyât adalah semacam cabang untuk ilmu akidah. Karena akidah adalah ketaatan yang paling mulia, dan kebenaran aqidah merupakan syarat diterimanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Jika akidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya batal. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.  [Az-Zumar/39: 65]

Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah telah berkata di dalam mukaddimah syarah Thahâwiyah:

(أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ أَشْرَفَ الْعُلُومِ، إِذْ شَرَفُ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ. وَهُوَ الْفِقْهُ الْأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الْفُرُوعِ، وَلِهَذَا سَمَّى الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ – رَحْمَةُ الله تعالى – مَا قَالَهُ وَجَمَعَهُ فِي أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ”الْفِقْهَ الْأَكْبَرَ”وَحَاجَةُ الْعِبَادِ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ حَاجَةٍ، وَضَرُورَتُهُمْ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ ضَرُورَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ لِلْقُلُوبِ، وَلَا نَعِيمَ وَلَا طُمَأْنِينَةَ، إِلَّا بِأَنْ تَعْرِفَ رَبَّهَا وَمَعْبُودَهَا وَفَاطِرَهَا، بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، وَيَكُون مَعَ ذَلِكَ كُلِّهِ أَحَبَّ إِلَيْهَا مِمَّا سِوَاهُ، وَيَكُون سَعْيُهَا فِيمَا يُقَرِّبُهَا إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ خَلْقِهِ.

وَمِنَ الْمُحَالِ أَنْ تَسْتَقِلَّ الْعُقُولُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَإِدْرَاكِهِ عَلَى التَّفْصِيلِ، فَاقْتَضَتْ رَحْمَةُ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ أَنْ بَعَثَ الرُّسُلَ بِهِ مُعَرِّفِينَ، وَإِلَيْهِ دَاعِينَ، وَلِمَنْ أَجَابَهُمْ مُبَشِّرِينَ، وَلِمَنْ خَالَفَهُمْ مُنْذِرِينَ، وَجَعَلَ مِفْتَاحَ دَعْوَتِهِمْ، وَزُبْدَةَ رِسَالَتِهِمْ، مَعْرِفَةَ الْمَعْبُودِ سُبْحَانَهُ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، إِذْ عَلَى هَذِهِ الْمَعْرِفَةِ تُبْنَى مَطَالِبُ الرِّسَالَةِ كُلِّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا.

ثُمَّ يَتْبَعُ ذَلِكَ أَصْلَانِ عَظِيمَانِ:  أَحَدُهُمَا: تَعْرِيفُ الطَّرِيقِ الْمُوَصِّلِ إِلَيْهِ، وَهِيَ شَرِيعَتُهُ الْمُتَضَمِّنَةُ لِأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ.  وَالثَّانِي: تَعْرِيفُ السَّالِكِينَ مَا لَهُمْ بَعْدَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ مِنَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ.

Amma ba’du : Sesungguhnya ilmu ushûludin merupakan ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. Ilmu akidah adalah fiqih akbar (terbesar) dibandingkan dengan fiqih furu’. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushûludin (pokkok-pokok agama) yang telah beliau katakan dan kumpulkan pada lembaran-lembaran kertas dengan nama fiqih akbar. Keperluan hamba terhadap ilmu akidah mengungguli seluruh keperluan dan kebutuhan yang paling pokok. Karena sesungguhnya hati tidak akan bisa hidup, merasakan kenikmatan dan ketentraman, kecuali jika hati itu mengenal Rabbnya, sesembahannya, dan Penciptanya, mengenal dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatanNya. Bersamaan dengan itu semua, Allâh Azza wa Jalla menjadi yang paling dia cintai, dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya.

Akal sendiri mustahil bisa mengetahui dan memahami semua hal-hal di atas secara rinci. Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allâh mengutus rasul untuk mengenalkan-Nya, mengajak manusia menuju Allâh, memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut (dakwah) mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka. Allâh Azza wa Jalla menetapkan bahwa yang menjadi pembuka dakwah dan inti risalah mereka adalah ma’rifah (mengenal) Allâh Azza wa Jalla, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Karena semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir dibangun di atas ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dengan dua prinsip yang besar:

Pertama : Pengenalan tentang jalan yang akan bisa menghantarkan kepada-Nya, yaitu syari’at-Nya yang memuat perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla .
Kedua : Pemberitahuan tentang kenikmatan abadi yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menempuh jalan tersebut[4].

Karena mayoritas masalah-masalah akidah termasuk ushûl (pokok-pokok), dan karena mayoritas masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’ (cabang-cabang), maka akidah disebut ushûludin, sedang hukum-hukum amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian Ulama menamakan karya-karya tulis mereka dalam masalah akidah dengan ushûludin, seperti: Al-Ibânah ‘an Ushûlid Diyânah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; Masâil min Ushûlid Diyânât karya Abu Ya’la; Sullamul Wushûl ila Ilmil Ushûl, karya al-Hakami, dan lainnya.

Walaupun sebagian Ulama mengkritisi pengunaan istilah ushûludin hanya untuk masalah akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

بَلْ الْحَقُّ أَنَّ الْجَلِيلَ مَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الصِّنْفَيْنِ ” مَسَائِلُ أُصُولٍ ” وَالدَّقِيقَ ” مَسَائِلُ فُرُوعٍ “.

Namun, yang benar adalah perkara besar dari keduanya adalah masalah-masalah ushûl, sedangkan perkara yang daqîq (samar/kecil) adalah perkara-perkara furu’[5].

Fiqih Akbar
Sebagian Ulama juga menamakan ilmu akidah dengan fiqih akbar (fikih terbesar), karena akidah adalah pokok agama, sedang furu’nya yaitu fiqih amalan dinamakan fiqih ash-ghar. Imam Abu Hanîfah telah menyusun masalah akidah dan dia menamakannya dengan al-fiqhul akbar.

Ahlus Sunnah wal Jamaah
Mereka adalah para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang berpegang dengan aqîdah shahîhah (akidah yang benar) yang terbebas dari noda bid’ah dan khurafat. Yaitu akidah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh para Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur’ân. Mereka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalîfah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.  [HR. Ahmad, 4/126, 127; Abu Dâwud no: 4607; Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Mâjah, no. 4244; dan lainnya dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah]

Mereka tahu bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah petunjuk terbaik, sehingga mereka lebih mengedepankannya daripada petunjuk manusia yang lain.

Mereka dinamakan al-Jamâ’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabi dan ijma’ Salaf umat ini. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang bebas dari noda-noda.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan dengan al-firqah an-nâjiyah (golongan yang selamat)  yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para Sahabat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan mereka dengan al-Jamâ’ah. Dalam hadits shahih dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً – يَعْنِي: الْأَهْوَاءَ -، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ، لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ “

Sesungguhnya telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 agama –yakni hawa nafsu- semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku kaum-kaum yang hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka sebagaimana penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan satu sendi kecuali penyakit itu memasukinya. [HR. Ahmad, 4/102; Abu Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad yang hasan]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Oleh karena itu golongan yang selamat disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Adapun golongan-golongan yang lainnya adalah orang-orang yang nyeleneh, berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu. Semboyan golongan-golongan itu adalah menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Barangsiapa berkata berdasarkan  al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah”[6].

Penamaan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah penamaan yang tepat, membedakan pemilik aqidah shahihah dan para pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan-golongan sesat yang tidak berjalan di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil akidahnya dari akal manusia dan ilmu kalam (filsafat) yang mereka warisi dari para filosof Yunani, lalu mereka lebih mengutamakannya daripada firman Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan diantara mereka ada yang menolak nash-nash syari’at yang telah pasti, atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata akal mereka yang dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.

Di antara golongan-golongan tersebut adalah: para filosof, Qadariyah, Maturudiyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid kepada Jahmiyah pada sebagian pemikiran mereka.

Di antara golongan-golongan yang sesat ada yang mengambil akidahnya dari pendapat-pendapat guru-guru dan imam-imam mereka, yang berdasarkan hawa nafsu. Seperti: Shûfiyah, Râfidhah, dan lainnya. Mereka mendahulukan perkataan guru-guru dan imam-imam daripada firman Allâh dan sabda Rasûl-Nya.

Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip akidahnya. Seperti Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan, dan seperti Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Walaupun al-Asy’ari sudah meninggalkan akidahnya menuju akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah, namun para pengikutnya terus mengikuti akidahnya yang menyimpang yang telah ditinggalkannya. Juga seperti al-Abadhiyh nisbat kepada Abdullah bin Abadh, dan lainnya.

Di antara golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada sebagian pemikiran-pemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian perbuatan-perbuatannya yang buruk. Seperti Râfidhah nisbat kepada rafadh (penolakan) imâmah (kepemimpinan) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu, dan berlepas diri dari keduanya. Qadariyah nisbat kepada penolakan adanya takdir. Khawârij nisbat kepada khurûj (memberontak) kepada pemerintah, dan selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan Ahlussunnah dari menisbatkan diri dan mengikuti selain sunnah Nabi yang ma’shûm (bersih) dari kesalahan. Mereka tidak memiliki nama yang mereka nisbatkan kepada selain sunnah.

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Mâlik rahimahullah, “Siapakah Ahlus Sunnah wahai Abu Abdullah?” Dia menawab, “Orang-orang yang tidak memiliki gelar yang menjadi identitasnya, bukan Jahmiyah, bukan Râfidhah, dan bukan Qadariyah”[7].

Sebagian Ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan ash-hâbul hadits atau ahlul hadits. Karena mereka memberikan perhatian kepada hadits-hadits Nabi, baik secara riwayah (periwayatan) maupun dirâyah (ilmu untuk mengetahui syarat-syarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan syarat-syarat mereka, jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka mengikuti kandungan hadits, baik berupa akidah maupun hukum. Hadits dan sunnah adalah dua lafzah yang maknanya berdekatan.

Ahlussunnah juga disebut firqah manshûrah (golongan yang ditolong) sampai hari kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka dengan sabdanya:

وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُورَةٌ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai datang perintah Allâh. [HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan syaikh Al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth]

Dan mereka adalah firqah an-nâjiyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah yang telah berlalu.

Demikian uraian singkat tentang akidah, makna dan urgensinya,semoga bermanfaat bagi kita semua.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin Nasyr wa Tauzi’)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Kasyful Asrâr, 1/8
[2] Lihat: Lisânul ‘Arab, bab ‘aqada
[3] Lihat Risâlah al-‘Aqîdah ash-Shahîhah, karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz, hlm. 3-4; dan Risâlah Mujmal Ushûl Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm.5
[4] Syarah ath-Thahâwiyah, penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hlm. 17
[5] Lihat: Majmû’ Fatâwâ, 6/56; juga lihat 3/364, 367 dan 19/134
[6] Majmû’ Fatâwâ, 3/345-346
[7] Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam al-Intiqa, hlm. 35


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/52647-aqidah-makna-dan-urgensinya-2.html