Beranda | Artikel
Hadis: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar?
Kamis, 24 Oktober 2024

Teks Hadis

Dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَعْطَى فِي صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدْ اسْتَحَلَّ

“Siapa saja yang memberi mahar kepada seorang wanita berupa gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya, maka dengan (pemberiannya) itu dia telah menghalalkannya (menjadi mahar bagi istrinya).” (HR. Abu Dawud no. 2110, dan dinilai dha’if oleh Al-Albani karena terdapat perawi yang majhul, yaitu Musa bin Muslim bin Ruman)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya,

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجَازَهُ

“Ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar berupa sepasang sandal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sandal ini?” Dia menjawab, “Ya.” (‘Amir bin Rabi’ah) berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.” (HR. Tirmidzi no. 1113; Ibnu Majah no. 1888; Ahmad, 24: 445, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah, dan dia adalah seorang yang lemah dan jelek hapalannya)

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertanya kepada salah seorang sahabatnya yang hendak menikahi seorang wanita,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

“Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.”

Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425, dalam hadis yang panjang.)

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لا يكون المهر أقل من عشرة دراهم

“Tidak boleh mahar yang lebih kecil dari sepuluh dirham.” [HR. Ad-Daruquthni, 3: 245; sanad atsar ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Dawud Al-Audi dan juga sanadnya terputus (munqathi’)]

Kandungan Hadis

Kandungan pertama: Bolehnya mahar selain dengan uang

Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya mahar apabila berupa bahan makanan atau harta benda lainnya. Mahar tersebut tidak harus berupa mata uang seperti emas, perak, atau mata uang lainnya. Apa saja yang bisa digunakan sebagai alat tukar, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Seandainya suami memberikan mahar berupa pakaian, kendaraan, tanah, tanaman (hasil pertanian), rumah, atau sejenis itu, maka mahar tersebut hukumnya sah.

Hadis-hadis di atas, meskipun lemah (dha’if), akan tetapi sejalan dengan dalil atau ushul syariat. Apa saja yang sesuai dengan ushul syariat, maka bisa digunakan sebagai dalil, meskipun lemah (dha’if). Hal ini dikuatkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang kisah Tsabit bin Qais bersama istrinya yang melakukan khulu’,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Bukhari no. 5273)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar Tsabit bin Qais kepada istrinya berupa kebun, dan bukan berupa mata uang.

Kandungan kedua: Kadar maksimal mahar

Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa tidak ada kadar maksimal dalam mahar. Adanya ijmak ini dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rusyd rahimahumallah. [1] Hal ini karena tidak terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan batas maksimal mahar. Para ulama juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak … “ (QS. An-Nisa: 20)

Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menetapkan batas maksimal mahar, akan tetapi maksudnya adalah sebagai kiasan atas harta yang banyak jumlahnya. Apabila hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan kadar maksimal mahar, maka tentu akan ada larangan untuk memberikan mahar melebihi kadar maksimal tersebut.

Berdasarkan penjelasan ini, maka ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang membenarkan bolehnya memberikan mahar secara berlebih-lebihan. Karena ayat tersebut hanya merupakan perumpamaan atas harta yang banyak. Seolah-olah dikatakan, “Dan kamu telah memberikan jumlah yang sangat besar yang tidak pernah diberikan oleh siapa pun.” Seandainya ayat ini menunjukkan hal tersebut, maka yang bisa dipahami hanyalah diperbolehkannya orang yang mampu memberikan mahar dalam jumlah besar sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, bukan memaksa orang yang tidak mampu untuk memberikan lebih dari kemampuannya. [2]

Kandungan ketiga: Kadar minimal mahar

Adapun kadar minimal mahar, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama:

Pendapat pertama: Kadar minimal mahar itu tidak ditentukan dengan kadar (jumlah) tertentu. Mahar itu sah ketika diberikan berupa harta (apapun) atau yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta. Apabila mahar dalam suatu akad nikah berupa sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta atau tidak bisa disebut (dinilai) sebagai harta, seperti biji kurma atau batu, maka mahar tersebut tidak sah dan suami wajib memberikan mahar mitsil (mahar standar).

Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Al-Qur’an, yaitu firman Allah Ta’ala,

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa: 24)

Sisi pendalilan dari ayat ini, di ayat Allah Ta’ala menyebutkan “amwaal” (harta) secara mutlak (tanpa ada tambahan keterangan apapun). Maka hal ini mencakup semua jenis harta, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak.

Adapun dalil dari As-Sunnah, adalah hadis-hadis yang disebutkan di atas, atau hadis-hadis yang semakna. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

التمس ولو خاتما من حديد

“Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin dari besi.”

Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu sah dengan setiap benda (barang) yang bisa disebut (dinilai) sebagai harta.

Pendapat kedua: Terdapat kadar minimal mahar, sehingga tidak boleh menyerahkan mahar lebih kecil (lebih sedikit) dari kadar minimal tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, meskipun mereka kemudian berbeda pendapat tentang berapa kadar minimal yang ditentukan oleh syariat.

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata bahwa kadar minimal mahar adalah sepuluh dirham atau yang senilai dengan sepuluh dirham. Mereka berdalil dengan atsar dari Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, dan juga diqiyaskan dengan nishab pencurian untuk menunjukkan pentingnya hal tersebut; maka jumlahnya diukur berdasarkan sesuatu yang bernilai. Adapun Imam Malik rahimahullah berkata bahwa kadar minimalnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham, diqiyaskan dengan nishab pencurian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. [3]

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa tidak ada kadar minimal mahar yang ditentukan oleh syariat. Pendapat pertama inilah yang mengumpulkan semua dalil yang ada. Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang lemah, karena tidak ada dalil tegas yang dikemukakan selain dalil qiyas dengan nishab pencurian. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

***

@15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Al-Istidzkar, 16: 65 dan Bidayatul Mujtahid, 3: 38.

[2] Tafsir Al-Qurthubi, 5: 100; Al-Fataawa, 32: 195.

[3] Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 41; Bada’i Ash-Shanai’, 2: 275; Al-Muhadzab, 2: 55; Al-Mughni, 10: 99.

[4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 391-396). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Artikel asli: https://muslim.or.id/99316-hadis-berapakah-kadar-minimal-dan-maksimal-mahar.html