Renungan Tentang Agungnya Kedudukan Ilmu
RENUNGAN TENTANG AGUNGNYA KEDUDUKAN ILMU
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthany
Pendahuluan
Tulisan ringkas (?) ini anggap saja sebagai pengetuk hati para ikhwah penuntut ilmu agama, yang mungkin sedang terlena sehingga mereka kurang menyadari agungnya kemuliaan jalan ilmu yang sedang mereka tempuh, bahkan malah menyibukkan diri dan memberikan perhatian besar pada kebanggaan-kebanggaan duniawi yang semu dan rendah, yang hanya sepantasnya dilakukan oleh orang-orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu. Padahal kalau seandainya mereka benar-benar menyadari tingginya kedudukan ilmu ini niscaya mereka tidak akan menoleh sedikitpun pada kebanggaan-kebanggaan semu tersebut. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk berbangga dan merasa cukup dengan kemuliaan ilmu yang mereka miliki, yang itu jauh lebih baik dan mulia dibandingkan semua kemewahan duniawi yang berlomba-lomba dikumpulkan oleh kebanyakan manusia, Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yunus/10:58].
Ketika menerangkan ayat ini Ibnul Qayyim berkata: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang berilmu untuk merasa bangga (gembira) dengan (ilmu) yang Allah Azza wa Jalla anugrahkan kepada mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan bahwa anugrah tersebut sungguh lebih baik daripada (kemewahan dunia) yang dikumpulkan oleh (kebanyakan) manusia, dalam firmannya – kemudian beliau menyebutkan ayat tersebut di atas – dan beliau menambahkan:”Karunia Allah” (dalam ayat ini) ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang Allah sebutkan dalam Ash Shaff/61: 9), dan keduanya adalah ilmu dan amal yang paling agung[1].
Agungnya Ilmu dan Orang-orang yang Memilikinya
Di antara agungnya keutamaan ilmu yang mungkin bisa menjadi renungan bagi kita semua adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sewaktu beliau menerangkan makna hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (no.6502) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: (( Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (permusuhan) kepadanya, …)), bahwa “pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (orang-orang yang berilmu) adalah pimpinan para wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla”[2]. Hal ini sangat jelas sekali, karena dalam Al Qur-an Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menjelaskan dua sifat utama yang dimiliki para wali-Nya, yaitu keimanan dan ketakwaan, dalam firman-Nya:
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ٦٢ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ
“Ketahuilah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” [Yunus/10:62-63].
Dan kedua sifat ini (iman dan takwa) tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan ilmu, karena “Iman” itu hakikatnya adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh – seperti ucapan Ibnul Qayyim di atas –, sebagaimana “Takwa” salah satu rukun utamanya adalah ilmu yang bermanfaat[3].
Oleh karena agungnya kedudukan orang-orang yang berilmu inilah, Allah Azza wa Jalla menjadikan kecintaan dan penghormatan kepada mereka sebagai bagian dari agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ucapan seorang sahabat besar yang mulia Ali bin abi Thalib Radhiyallahu anhu: “Mencintai orang yang berilmu adalah (termasuk) agama (ibadah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”[4], bahkan lebih dari pada itu, Allah menjadikan sikap membenci, mencela atau menghinakan orang yang berilmu – karena ilmu agama yang mereka bawa, bukan karena tingkah laku atau kepribadian mereka semata-mata – sebagai perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan salah satu perbuatan yang bisa membatalkan keislaman seseorang[5], berdasarkan Firman-Nya:
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ ٦٥ لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolok-olok?, Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu telah menjadi kafir sesudah beriman” [At Taubah/9: 65-66].
Demikian juga karena agungnya kedudukan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hati orang-orang yang beriman senantiasa dipenuhi rasa cinta dan penghormatan terhadap orang-orang yang berilmu, karena Allah Azza wa Jalla jika mencintai seorang hamba maka Dia akan menjadikan semua makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi mencintai hamba tersebut. Dalam hadits yang shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 3037, 5693 dan 7047) dan Imam Muslim (no. 2637-157) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia!”, maka Jibrilpun mencintai hamba tersebut, kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit (para malaikat): “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka kalian cintailah dia!”, maka penduduk langitpun mencintainya, kemudian dijadikan bagi hamba tersebut penerimaan (kecintaan dalam hati) pada penduduk bumi”. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya para Malaikat merendahkan sayap-sayap mereka karena keridhaan mereka terhadap orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan di dalam lautan benar-benar akan (memanjatkan doa) memintakan pengampunan (kepada Allah) untuk orang yang berilmu”[6].
Kecintaan dan penghormatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan bagi orang-orang yang berilmu, adalah kecintaan dan penghormatan yang benar-benar murni bersumber dari dalam hati manusia, lain halnya dengan penghormatan manusia kepada orang yang memiliki harta atau kekuasaan misalnya, yang hanya berupa penghormatan dalam bentuk lahiriyah, yang bahkan terkadang diiringi dengan kebencian dalam hati. Sehingga wajar kalau kita dapati para ulama ahlus sunnah demikian dicintai dan dihormati oleh orang-orang yang shaleh, bahkan setelah mereka wafatpun mereka tetap dipuji dan selalu didoakan dengan kebaikan, padahal banyak di antara mereka yang tidak memiliki harta atau kekuasaan duniawi. Hal ini dikarenakan adanya suatu keistimewaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada ilmu agama, yaitu kemampuan dan kekuatan untuk menundukkan dan menguasai hati manusia, sehingga menjadikan hati mereka tunduk kepada orang yang membawa ilmu tersebut, yang semua ini tidak ada pada harta atau kekuasaan duniawi. Oleh karena itulah dalam banyak ayat Al Qur-an[7] Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan dalil-dalil ilmiyah dari Al Qur-an dan Sunnah dengan nama “Sulthan” (sesuatu yang memiliki kekuatan dan kemampuan menundukkan), berkata Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu : “Semua (lafazh) sulthan dalam Al Qur-an (artinya) adalah Hujjah (dalil/argumantasi ilmiyah dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala)[8].
Kisah Para Ulama Salaf dan Bukti Nyata Keagungan Ilmu
Sebagai penutup, untuk memperjelas dan melengkapi keterangan di atas, kami akan bawakan beberapa atsar (riwayat) dari biografi para ulama Ahlus sunnah, yang menunjukkan kepada kita besarnya kecintaan dan penghormatan manusia kepada orang-orang yang berilmu, yang bahkan melebihi penghormatan mereka kepada orang-orang yang memiliki harta dan kekuasaan duniawi:
- Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam “Shahihnya” (1/559) (no.817) dari ‘Amir bin Waatsilah bahwa Naafi’ bin ‘Abdil Haarits – yang dijadikan oleh ‘Umar bin Al khaththab t sebagai gubernur wilayah Mekkah – pernah menemui ‘Umar di daerah ‘Asfan, maka ‘Umar bertanya kepadanya: Siapa yang engkau jadikan penggantimu memimpin penduduk lembah itu (Mekkah)? Naafi’ berkata: Ibnu Abza[9]. ‘Umar bertanya (lagi): Siapa Ibnu Abza itu? Naafi’ berkata: (Dia adalah) salah seorang bekas budak dari kalangan kami. (Maka) ‘Umar berkata: Engkau menjadikan seorang bekas budak yang memimpin mereka? Naafi’ berkata: (Aku memilih dia karena) dia adalah seorang yang (ahli) membaca Al Qur-an dan memiliki ilmu tentang syariat islam. (Maka) ‘Umar berkata: Ketahuilah, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan meninggikan (derajat) suatu kaum dengan kitab (Al Qur-an) ini[10] dan akan merendahkan (derajat) kaum lainnya dengan kitab ini[11] (pula)”.
- Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (2/437) Imam Adz Dzahaby membawakan sebuah Atsar dari Abu Salamah bahwa suatu hari Ibnu ‘Abbas t bangkit menuju ke arah Zaid bin Tsabit t kemudian memegang (menuntun) hewan tunggangan beliau, maka Zaid berkata: Menyingkirlah wahai putra paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Ibnu ‘Abbas pun berkata: Sungguh beginilah (cara) kami memperlakukan orang-orang yang berilmu dan lebih senior di antara kami.
- Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauzy dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (2/212) dalam biografi seorang Imam besar dari kalangan Tabi’in, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Ibrahim bin Ishak Al Harby dia berkata: ‘Atha’ bin Abi Rabah dulunya adalah seorang budak (berkulit) hitam milik seorang wanita penduduk Mekkah, (bentuk) hidungnya seperti kacang tanah. (Suatu hari) Amirul mu’minin (khalifah) Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua putranya datang menemui beliau (untuk bertanya tentang masalah manasik haji), kemudian duduklah mereka bertiga menghadap beliau yang (pada waktu itu) sedang melakukan shalat (sunnah), setelah selesai shalat (barulah) beliau menghadap kearah mereka, maka tidak henti-hentinya mereka bertanya kepada beliau tentang manasik haji, sampai (akhirnya) beliau memunggungi mereka, kemudian Sulaiman bin ‘Abdil Malik berkata kepada kedua putranya: Berdirilah, maka mereka pun berdiri, lalu dia berkata: Wahai kedua putraku, janganlah kalian malas dalam menuntut ilmu, karena sungguh aku tidak bisa melupakan (bagaimana) hinanya kita di hadapan budak (berkulit) hitam ini.
- Atsar yang diriwayatkan diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj Al Mizzy dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (5/169, muassatur risaalah) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Al Ashma’i dia berkata: (Suatu hari) ‘Atha’ bin Abi Rabah masuk (ke istana menemui) ‘Abdul Malik bin Marwan (Khalifah) yang (pada waktu itu) sedang duduk di atas singgasananya dan di sekelilingnya para pembesar dari setiap suku, kejadian ini (berlangsung) di Mekkah ketika ‘Abdul Malik (menunaikan ibadah) haji di masa pemerintahannya. Maka ketika ‘Abdul Malik melihat ‘Atha’, dia (langsung) berdiri (menyambut) dan mengucapkan salam kepadanya, (bahkan) kemudian dia mendudukkan ‘Atha’ bersamanya di atas singgasana, lalu dia duduk dihadapan ‘Atha’ dan berkata kepadanya: Wahai Abu Muhammad (‘Atha’), apa keperluanmu? Maka ‘Atha’ berkata: Wahai Amirul mu’minin, bertakwalah kepada Allah di tanah haram Allah (Mekkah) dan tanah haram Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perhatikanlah kemakmurannya. Bertakwalah kepada Allah terhadap keturunan (para sahabat) Muhajirin dan Anshar, karena sesungguhnya dengan sebab merekalah engkau (bisa) mencapai kedudukan ini. Bertakwalah kepada Allah terhadap para pejuang islam yang berjihad di garis perbatasan, karena sesungguhnya mereka adalah benteng (pelindung) kaum muslimin. Perhatikanlah keadaan kaum, karena engkau sendirilah yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka. Bertakwalah kepada Allah terhadap orang-orang ada di depan pintumu (yang ingin menemuimu), janganlah engkau melalaikan mereka dan menutup pintumu di hadapan mereka (tidak mau menemui mereka). Maka ‘Abdul Malik menjawab: Akan aku lakukan. Kemudian ‘Atha’ bangkit dan (ingin) pergi, tapi ‘Abdul Malik menahannya dan berkata: Wahai Abu Muhammad, yang engkau minta tadi adalah kebutuhan orang lain dan kami telah penuhi kebutuhan itu, kebutuhanmu sendiri apa? Maka ‘Atha’ berkata: Aku tidak punya kebutuhan apapun kepada makhluk. Kemudian dia keluar, lalu ‘Abdul Malik berkata: Ini adalah kemuliaan (yang sesungguhnya), ini adalah kedudukan tinggi (yang sebenarnya).
- Atsar yang juga diriwayatkan oleh Imam Adz Dzhaby dalam “Siyaru a’lamin nubala” (8/384) dalam biogarafi seorang Imam besar dari kalangan Atba’ut tabi’in, ‘Abdullah bin Al Mubarak, dari Asy’ats bin Syu’bah Al Mishshiishy dia berkata: (Suatu hari Khalifah) Harun Ar Rasyid berkunjung ke (daerah) Ar Raqqah, (kemudian datang ‘Abdullah bin Al Mubarak), maka orang-orang pun berlarian di belakang ‘Abdullah bin Al Mubarak sehingga sandal-sandal mereka terlepas dan debu beterbangan. Maka (ketika itu) budak wanita (yang telah mempunyai anak) dari Harun Ar Rasyid menengok dari bangunan tinggi pada sebuah istana (yang terbuat dari) papan dan berkata: Ada apa? Orang-orang pun menjwab: (Ada) seorang yang berilmu (‘Abdullah bin Al Mubarak) dari Khurasan (baru) datang. Maka wanita tersebut berkata: Demi Allah, inilah kerajaan (kekuasaan yang sebenarnya), bukan (seperti) kekuasaan Harun Ar Rasyid yang tidak mampu menghimpun manusia kecuali (dengan bantuan) para prajurit dan pengawal.
- Atsar[12] yang diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj Al Mizzy dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (5/169) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Muhammad bin Muslim Az Zuhry dia berkata: Aku (pernah) datang menemui (khalifah) ‘Abdul Malik bin Marwan, lalu dia bertanya: Dari mana engkau datang wahai Zuhry? Aku menjawab: Dari Mekkah. Dia bertanya (lagi): Siapa yang engkau tinggalkan (di sana) memimpin Mekkah dan penduduknya? Aku menjawab: ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dia berkata: (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa dia memimpin mereka? Aku menjawab: Dengan agama (ketaatan beribadah) dan riwayat (pengetahuan tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Maka) dia berkata: Sesungguhnya orang yang taat beribadah dan memiliki pengetahuan tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memang pantas untuk memimpin (manusia). Siapakah yang memimpin penduduk Yaman? Aku menjawab: Thaawus bin Kaisan. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa dia memimpin mereka? Aku menjawab: Dengan apa yang dimiliki ‘Atha’. (Maka) dia berkata: Sungguh dia pantas untuk itu. Siapakah yang memimpin penduduk Mesir? Aku menjawab: Yazid bin abi Habiib. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Syam? Aku menjawab : Makhul. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak, (dulunya) dia seorang budak dari (suku) Nauby kemudian dibebaskan oleh seorang wanita dari (suku) Hudzail. (Kemudian) dia bertanya: Siapakah yang memimpin penduduk Jazirah? Aku menjawab: Maimun bin Mihran. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Khurasan? Aku menjawab: Adh Dhahhak bin Muzahim. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. (Kemudian) dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Bashrah? Aku menjawab: Al Hasan Al Bashry. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. (Akhirnya) dia berkata: Celaka engkau, lalu siapa yang memimpin penduduk Kufah? Aku menjawab: Ibrahim An Nakha’i. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari (kalangan) orang Arab (asli). (Maka) dia berkata: Celakah engkau Wahai Zuhri, engkau telah membuatku merasa lega (dengan ucapanmu yang terakhir), demi Allah sungguh orang-orang bekas budak akan memimpin orang-orang Arab (Asli) di negeri (Arab) ini sehingga (nantinya) mereka akan berceramah di atas mimbar-mimbar dan dan orang-orang arab (duduk mendengarkan) di bawah mimbar. (Maka) akupun berkata: Wahai Amirul mu’minin, (semua itu sebabnya) tidak lain adalah diin (agama), barangsiapa yang menjaganya maka dia akan menjadi pemimpin (umat), dan barangsiapa yang tidak menghiraukannya maka dia akan direndahkan.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين
Madinah, 7 Shafar 1428 H (24 Feb 2007)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227, cet. Daaru ibnil Qayyim dan Daaru ibni ‘Affaan, Penyunting: Syakh Ali Hasan Al Halaby).
[2] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/262).
[3] Lihat kitab “Manhajul Anbiyaa’ fii tazkiyatin nufuus” (hal.100), tulisan Sykh Salim bin ‘Ied Al Hilaly.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliya’” (1/79-80) dan Al Khatiib Al Bagdaady dalam “Al Faqiih wal mutafaqqih” (1/49-50) dan dishahihkan oleh Al Khatiib sendiri, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir dll.
[5] Lihat keterangan Syakh Muhammad Hamid Al Faqiy dan Sykh Bin Baz ttg masalah ini pada catatan kaki kitab “Fathul Majid” (hal. 417, cet. Dar Ibnu Hazm).
[6] Hadits hasan Riwayat Ahmad (5/196), Abu Dawud (no. 3641 dan 3542), At Tirmidzi (no. 2682) dll, dengan sanad yang saling menguatkan, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (1/160).
[7] Lihat misalnya QS Yunus:68, QS An Najm:23, QS Ash Shaaffaat:156 dll.
[8] Lihat kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/243-244).
[9] Nama lengkapnya Sa’id bin ‘Abdir Rahman bin Abza Al Khuza’i maulaahum Al Kuufy, beliau adalah seorang dari kalangan Tabi’in yang tsiqah (terpercaya) dalam meriwayatkan hadits (Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” hal. 188, cet. daaru Ibni Rajab).
[10] Yaitu dengan mengimani, mengagungkan dan mengamalkan kandungan maknanya secara ikhlas (kitab “Faidhul Qadiir” 2/302).
[11] Yaitu dengan tidak mengimani dan mengamalkan kandungannya (ibid).
[12] Sanad atsar ini sangat lemah, karena ada seorang perawinya yang bernama Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqary, Ibnu Hajar mensifatinya sebagai seorang yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 539).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/50255-renungan-tentang-agungnya-kedudukan-ilmu.html