Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati
AGAR BUAH HATI MENJADI PENYEJUK HATI
Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni MA
Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلً
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [al-Kahfi/18:46].
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…[at-Taghâbun/64:14]
Makna “Menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.[1]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan sampai kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah Azza wa Jalla memotivasi hamba-hamba-Nya untuk selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya”.[2]
Kewajiban Mendidik Anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. [at-Tahrîm/66:6]
Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”.[3]
Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di berkata: “Memelihara diri dari api neraka adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam, serta memaksa mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka seorang hamba tidak akan selamat dari siksaan neraka kecuali jika dia sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawah kekuasaan dan tanggung jawabnya”.[4]
Dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhu masih kecil, Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hekh…hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?“.[5] Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, yaitu melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama); meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat; agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]
Metode Pendidikan Anak yang Benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanîf (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)“.[7]
Dalam hadits shahîh lainnya, Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِيَاحُ الْمَوْلُودِ حِينَ يَقَعُ نَزْغَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ
“Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan“.[8]
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras memalingkan manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla sejak mereka dilahirkan ke dunia, Padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya; maka bagaimana keadaannya jikalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?[9]
Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan Sunnah Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam Sunnah Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]
Sebagai contoh misalnya, Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi seorang suami yang akan menggauli istrinya untuk membaca doa:
بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki [11] yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Jika seorang suami yang ingin menggauli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah Azza wa Jalla menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”.[12]
Dengan demikian, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn berkata: “Yang menentukan keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Azza wa Jalla . Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta (berusaha) menempuh metode yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” [ath-Thalâq/65:4].[13]
Pembinaan Rohani dan Jasmani
Cinta sejati kepada anak tidaklah dapat diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi saja. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber pada petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Allah Azza wa Jalla memuji Nabi-Nya Ya’qûb z yang sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya. Sampai saat-saat terakhir hidup beliau, nasehat berikut inilah yang beliau tekankan kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya’kûb kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrâhîm, Ismâ‘îl, dan Ishâq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya.[al-Baqarah/2:133]
Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Azza wa Jalla [14], yang landasannya adalah ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-semata (tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Di mana kebanyakan orang masa kini justru memberikan perhatian utama kepada kebutuhan duniawi semata-mata. Apa yang kamu makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup? dan seterusnya.
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar” [Luqmân/31:13]
Lihatlah bagaimana hamba Allah Azza wa Jalla yang shaleh ini memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan disayanginya. Oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali disampaikan untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah (mentauhidkan Allah Azza wa Jalla) semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik.[15]
Manfaat dan Pentingnya Pendidikan Anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: “Salah seorang Ulama berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya [al-‘Ankabût/29:8]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” [at-Tahrîm/66:6]
Maka, barangsiapa yang tidak mendidik anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar kepada anaknya. Mayoritas kerusakan moral pada anak-anak justru timbul karena kesalahan orang tuanya sendiri, yaitu karena mereka tidak memberikan pengarahan dan pengajaran kepada anak-anak mereka tentang kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran dalam agama. Sehingga, akibat mereka tidak memperhatikan pendidikan anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak itu tidak bisa melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya anak-anak itu pun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tuanya ketika telah lanjut usia. Hal itu sebagaimana yang terjadi, ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka kepadanya; maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua. Karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil, maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua”.[16]
Cukuplah sabda Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ: أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: “Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?” Maka dikatakan padanya: “(Ini semua) disebabkan istigfâr (permohonan ampun kepada Allah Azza wa Jalla yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”“.[17]
Sebagian para Ulama menerangkan makna hadits ini yaitu bahwa jika seorang anak menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada kedudukan ayahnya di surga (nanti), maka dia akan memohon (berdoa) kepada Allah Azza wa Jalla agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya); sehingga Allah Azza wa Jalla pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.[18]
Dalam hadits shahîh lainnya Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara yaitu sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”.[19]
Hadits ini menunjukkan bahwa pahala semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh akan sampai kepada orang tuanya secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan; karena anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya.[20] Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya [21], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya.[22]
Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni – semoga Allah Azza wa Jalla merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan bagi kedua orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala anak tersebut, karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya.”
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَ
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [an-Najm/53:39]
Rasulullah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ
“Sungguh sebaik-baik (rezki) yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”.[23]
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya…”.[24]
Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan agama mereka; karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 4/482
[2] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 637
[3] Diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam Al-Mustadrak 2/535, dishahîhkan oleh al-Hâkim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 640
[5] HSR al-Bukhâri (no. 1420) dan Muslim no. 1069
[6] Fathul Bâri 3/355
[7] HSR Muslim no. 2865
[8] HSR Muslim no. 2367
[9] Lihat kitab Ahkâmul Maulûd Fis Sunnatil Muthahharah hlm. 23
[10] Ibid hlm. 24
[11] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab Faidhul Qadîr 5/306
[12] HSR al-Bukhâri no. 6025 dan Muslim no. 1434
[13] Kutubu wa Rasâ-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn 4/14
[14] Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri 6/414
[15] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 3/586
[16] Tuhfatul Maudûd hlm. 229
[17] HR Ibnu Majah no. 3660, Ahmad 2/509 dan lain-lain, dishahîhkan oleh al-Bûshiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah no. 1598. Ketika mengomentari hadits ini al-Munâwi dalam Faidhul Qadîr 2/339 berkata: “Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya).”
[18] Lihat kitab Faidhul Qadîr 2/339
[19] HSR Muslim no. 1631
[20] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21] Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan: “Doa anak yang shaleh”, tapi yang beliau n mengatakan: “… anak shaleh yang selalu mendoakannya“, artinya: semua amal kebaikan anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[22] Lihat kitab Ahakâmul Janâiz hlm. 223
[23] HR Abu Dâwud no. 3528, an-Nasâ’i no. 4451, at-Tirmidzi 2/287 dan Ibnu Mâjah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[24] Kitab Ahakâmul Janâiz hlm. 216-217
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/49308-agar-buah-hati-menjadi-penyejuk-hati-2.html