Kesempurnaan Islam dan Konsekuensinya
KESEMPURNAAN ISLAM DAN KONSEKUENSINYA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Di zaman ini, kita melihat berbagai perkara baru telah ditambahkan ke dalam agama Islam. Hal ini benar-benar merusak kesucian Islam. Baik tambahan itu berupa keyakinan, amalan, prinsip dan kaedah, atau yang lainnya dalam urusan agama.
Padahal Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam ini bagi hamba-hamba-Nya, dan ini termasuk nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar. Maka selayaknya orang-orang Islam meridhai agama Islam ini, sebagaimana Allah Azza wa Jalla telah meridhainya. Demikian juga, seharusnya mereka merasa cukup dengan ajaran agama Islam ini, karena memang Allah Azza wa Jalla telah mencukupkan nikmat-Nya.
Di sini, kami sekedar mengingatkan kesempurnaan agama Islam “yang telah kita diketahui bersama” dan mengingatkan konsekuensinya “yang mungkin banyak dilalaikan oleh sebagian orang”.
Inilah sedikit penjelasannya :
- Termasuk prinsip-prinsip agama yang wajib diyakini, iman seseorang tidak sah tanpa keyakinan ini, adalah bahwa agama Islam telah disempurnakan oleh Allah Azza wa Jalla. Maka, tugas manusia adalah mempelajari, mendengar dan mentaati. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. [al-Mâidah/5:3]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar kepada umat ini, yaitu Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan (Allah Azza wa Jalla ) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”.[1]
- Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan agama Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Maka, tidaklah beliau wafat kecuali agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan tambahan. Allah Azza wa Jalla telah menjadi saksi (surat al-Mâidah/5 ayat 3) tentang hal ini, demikian juga orang-orang yang beriman. Dan cukuplah Allah Azza wa Jalla sebagai saksi. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan keburukan yang dia ketahui kepada mereka. [HR. Muslim no. 1844]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah Azza wa Jalla perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah Azza wa Jalla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya. [2]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Tidaklah tersisa sesuatupun yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kamu. [3]
Al-Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu berkata:
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ اْلأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menyentuh hati, menjadikan mata bercucuran air mata dan hati bergetar karenanya. Kemudian kami bertanya:“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini benar-benar nasehat orang yang berpamitan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian di atas (agama) yang putih (terang, jelas); malamnya seperti siangnya, tidak ada seorang pun menyimpang darinya, melainkan orang yang binasa. Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sesuatu yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah para khulafâur râshidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham-geraham kalian. Hendaklah kalian taat walaupun kepada budak Habsyi (yang menjadi pemimpinmu), karena seorang Mukmin itu seperti onta yang penurut, ke mana ia di bawa, ia tunduk. [4]
Konsekuensi Kesempurnaan Islam
Setelah mengetahui dengan pasti kesempurnaan agama Islam ini, maka di antara konsekuensinya adalah bahwa kita tidak boleh menambahkan sesuatupun yang baru dalam agama ini, sebagaimana kita juga tidak boleh menguranginya. Inilah yang difahami oleh para Ulama semenjak dahulu. Sebagian dari perkataan mereka di antaranya:
- Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia memandangnya sebagai suatu kebaikan. Maka, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama) ini, karena Allah telah berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu. (al-Mâidah/5:3). Oleh karena itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada hari inipun juga bukan dari agama”. [5]
- Imam asy-Syâthibi rahimahullahberkata: “Sesungguhnya orang yang menganggap baik suatu bid’ah, secara umum memuat konsekuensi bahwa menurutnya syari’at itu belum sempurna, sehingga firman Allah Azza wa Jalla ,“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”, tidak memiliki nilai makna menurut mereka”.[6]
Maka orang yang demikian adalah orang yang sesat dari jalan yang lurus.
- Iman Asy-Syaukâni rahimahullah berkata: “Jika Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya, maka apakah perlunya pemikiran/pendapat baru, padahal Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama-Nya. Jika menurut keyakinan mereka pemikiran baru itu termasuk agama, maka agama ini menurut mereka belum sempurna; kecuali dengan pemikiran mereka. Yang berarti bahwa keyakinan mereka ini membantah al-Qur’ân. Jika itu bukan dari agama, maka apa gunanya menyibukkan diri dengan perkara yang tidak termasuk agama. Ini adalah argumen yang sangat kuat dan bukti yang agung. Orang yang membuat pemikiran baru tidak mungkin membantahnya dengan bantahan apapun selamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini (al-Mâidah/5 ayat 3) pertama kali untuk menampar wajah ahli ra’yi (pengagung akal), menghinakan mereka, dan menghancurkan hujjah mereka”. [7]
- Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shûmi rahimahullah berkata: “Jalan-jalan agama dan ibadah-ibadah yang benar hanyalah yang telah dijelaskan oleh Sang Pencipta makhluk lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka, barangsiapa menambah atau menguranginya berarti dia telah menyelisihi Allah Azza wa Jalla yang Maha Bijaksana, Maha Mencipta dan Maha Mengetahui, sebab dia meramu obat-obat bagi dirinya sendiri. Padahal, kemungkinan obat itu malah akan menjadi penyakit, dan ibadahnya menjadi maksiat tanpa dia sadari. Karena agama ini telah sempurna, maka barangsiapa menambah ajaran baru dalam agama, berarti dia menyangka bahwa agama ini kurang (sempurna), lalu dia menyempurnakannya dengan anggapan baik menurut akalnya yang rusak dan khayalnya yang tidak laku”. [8]
Sikap Salaf Terhadap Perkara Baru Dalam Agama
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bahwa ibadah itu harus mengikuti dalil dari al-Qur’ân atau Sunnah dengan pemahaman yang benar dari para Salaf. Oleh karena itu para Salafus shalih mengingkari cara-cara ibadah yang tidak dituntunkan; atau perkara-perkara yang ditambahkan di dalam ibadah yang telah dituntunkan; walaupun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena memang ibadah itu akan diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Tentang syarat ikhlas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya. [9]
Tentang syarat ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak. [HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718]
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya tuntunan kami, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim no. 1718]
Sebagian orang ketika melakukan ibadah bid’ah (ibadah baru yang tidak dituntunkan), lalu diingkari, dia segera menjawab: “Apa sih jeleknya berdzikir”, “Apa sih jeleknya berdoa”, “Apa sih jeleknya membaca al-Qur’ân”, dan semacamnya. Padahal yang diingkari itu bukan masalah berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân. Tetapi yang diingkari adalah tata-cara ibadah mereka di dalam berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân yang menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuat tambahan di dalam agama yang sudah sempurna. Sehingga, ibadah mereka tidak memenuhi syarat ittibâ’, walaupun seandainya mereka ikhlas.
Karenanya, di sini disampaikan beberapa sikap Salafus shalih tentang pengingkaran mereka terhadap berbagai tambahan dalam agama, walaupun mungkin di zaman sekarang orang menganggapnya sebagai suatu kebaikan. Namun, sebaik-baik generasi adalah para Sahabat, sehingga pemahaman para Sahabat itulah yang harus dijadikan rujukan di dalam beragama. Di antara riwayat tersebut adalah:
1. Abu Abdurrahmân Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu
Kisah terkenal tentang perbuatan Abdullâh bin Mas`ûd Radhiyallahu anhu yang mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbirlah 100 kali”, merekapun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengannya.” Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikitpun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kalian! Ini, masih banyak para Sahabat Nabi kamu. Ini, pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan, tetapi tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:
أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân tidak melewati tenggorokan mereka”.
“Demi Allah, aku tidak tahu, kemungkinan mayoritas mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian Ibnu Mas`ud Radhiyallahu anhu meninggalkan mereka. [10]
2. Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu
Nafi’ maula Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita:
أَنَّ رَجُلاً عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Bahwa seorang laki-laki bersin di samping Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu , lalu dia berkata: “Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh”! Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata: “Aku katakan, Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh, bukan begini yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau telah mengajari kita untuk mengucapkan: “Alhamdulillâh ‘ala kulli hâl”. [11]
3. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah
Abu Rabah, seorang lelaki tua dari keluarga ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
رَأَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ رَجُلاً يُصَلِّيْ بَعْدَ الْعَصْرِ الرَّكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فَقَالَ لَهُ فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلاَةِ قَالَ لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ اللَّهُ بِخِلاَفِ السُّنَّةِ
Sa’îd bin Al-Musayyib melihat seorang laki-laki melakukan shalat dua raka’at setelah ashar; dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah (tuntunan Nabi)”. [12]
Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata: “Ini termasuk jawaban-jawaban Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullah yang mengagumkan. Ini merupakan senjata yang kuat melawan para pelaku bid’ah, orang-orang yang menganggap baik banyak dari perkara-perkara bid’ah dengan sebutan bahwa itu adalah dzikir dan shalat!! Kemudian mereka mengingkari ahlus sunnah yang telah mengingkari bid’ah mereka itu. Mereka menuduh Ahlus sunnah mengingkari dzikir dan shalat!! Sedangkan sebenarnya, Ahlus sunnah itu hanyalah mengingkari ahli bid’ah yang menyelisihi sunnah di dalam dzikir, shalat dan semacamnya”. [13]
4. Imam Malik bin Anas rahimahullah
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Imam Malik rahimahullah didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdillâh, dari mana aku berihram?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berihram”. Lelaki tadi berkata: “Aku ingin berihram dari masjid di dekat kubur”. Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Jangan engkau lakukan, aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa tentang ini?” Imam Mâlik t berkata: “Musibah mana yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat meraihnya? Sesungguhnya aku mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63] [14]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa agama Islam ini telah dinyatakan sempurna oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Demikian juga diakui oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama setelah mereka. Maka, segala macam tambahan dan perkara baru di dalam agama ini adalah tertolak. Karena setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya adalah kebatilan. Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menganugerahkan kepada kita keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir Al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr surat al-Mâidah ayat: 3
[2] Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. Riwayat Syâfi’i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdâdi, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni di dalam Silsilah ash-Shahîhah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad Syâkir dalam Ta’lîqur-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25
[3] Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya di dalam Ar-Risâlah karya Imam Syâfi’i, hal 93 Ta’lîq Syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm 19.
[4] Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49.
[5] Kitab Al-I’tishâm, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syâtibi
[6] Kitab Al-I’tishâm, juz: 1, hal: 111, karya Imam Asy-Syâtibi
[7] Al-Qaulul Mufîd, hal. 38
[8] Miftâhul Jannah, Lâ ilâha illallâh, hal. 58
[9] HR. Nasâi, no 3140; Lihat: Silsilah Ash-Shahîhah, no. 52; Ahkâmul Janâiz, hal. 63
[10] Hadits Shahîh Riwayat Ad-Dârimi di dalam Sunannya, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasith, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 92
[11] Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi, no. 2738; dll. Lihat Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 71
[12] Riwayat Shahîh. Diriwayatkan oleh Darimi, juz 1, hlm. 116, no. 437, dll. Lihat Ilmu Ushul Bida’, hlm. 71
[13] Irwâul Ghalîl, juz. 2, hlm. 236
[14] Riwayat Al-Khathib di dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, juz. 1, hlm. 148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’, hlm. 72
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/49853-kesempurnaan-islam-dan-konsekuensinya.html