Syaitan Sebagai Penyeru Waswas
SYAITAN SEBAGAI PENYERU WASWAS
Oleh
Syaikh Ahmad bin Salim Ba Duwailan
Di antara tipu daya syaitan yang sampai kepada orang-orang jahil adalah, sikap waswas yang digunakan untuk menipu mereka dalam masalah thaharah (bersuci) dan shalat, yaitu ketika mengokohkan niat. Syaitan melemparkan orang-orang tersebut ke dalam tali-tali pengikat dan belenggu-belenggu dan mengeluarkannya dari jalur ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menggambarkan pada mereka bahwa apa yang telah ada dalam Sunnah tidaklah cukup, sehingga perlu ditambahkan yang lain padanya. Maka bersatulah pada mereka antara prasangka yang rusak dan kelelahan yang di-rasakan, juga batalnya atau berkurangnya pahala.
Tidak ragu lagi, bahwa syaitan adalah penyeru pada sikap was-was, maka orang yang bersikap demikian berarti telah mentaati syaitan dan tidak suka berittiba’ kepada Sunnah dan cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai seseorang dari mereka memandang, bahwa apabila dirinya berwudhu’ seperti wudhu’nya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mandi dengan cara mandi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka belumlah suci dan belum hilang hadatsnya. Kalau saja tidak ada udzur karena kebodohan (ketidaktahuan) tentulah hal ini merupakan penentangan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwudhu’ dengan satu mudd, yaitu ukuran yang mendekati sepertiga ritel Damaskus dan mandi dengan satu shaa’ air, yaitu sekitar satu sepertiga ritel. Orang yang waswas melihat bahwa air dengan takaran yang seperti itu tidaklah mencukupinya, meskipun hanya untuk mencuci kedua tangannya. Padahal disebutkan dalam riwayat yang shahiih, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ sekali-sekali saja (pada setiap anggota wudhu’) dan tidak lebih dari tiga kali, bahkan beliau memberitahukan bahwasanya orang yang melakukannya lebih dari tiga kali berarti telah berbuat keliru, melampaui batas dan zhalim. Maka orang yang waswas, berdasarkan persaksian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang yang berbuat buruk, melampaui batas dan zhalim, bagaimana mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang ia berlaku buruk pada-Nya dan melampui batas-batas-Nya di dalamnya?
Dalam riwayat yang shahiih dinyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari sebuah wadah semacam mangkok ceper besar dengan bekas adonan di dalamnya, jika orang yang waswas melihat hal itu, pastilah akan sangat mengingkarinya dan mengatakan, “Tidaklah cukup ukuran seperti ini untuk mandi berdua!”
Bagaimana mungkin mandi menggunakan air seperti itu padahal adonannya akan mencair oleh air sehingga mengubah air tersebut? Percikan yang jatuh ke dalam air itu pun menurut sebagian mereka menjadikannya najis, atau menurut sebagian yang lainnya akan merusaknya, sehingga tidak sah untuk bersuci dengannya, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut dengan selain ‘Aisyah, seperti Maimunah dan Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dan ini semua ada dalam riwayat yang shahiih.
Dalam riwayat yang lain yang juga shahiih:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قـَالَ: كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّؤُوْنَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya dia berkata, “Dahulu para lelaki dan wanita di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ dari bejana yang satu.”[1]
Bejana yang dahulu digunakan untuk mandi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, isteri-isteri beliau, para Sahabat dan isteri-isteri mereka, bukanlah bejana yang berukuran besar, tidak dilengkapi benda yang menghubungkannya, semacam selang untuk sebuah kamar mandi. Mereka juga tidak menunggu hingga air meluap dan mengalir di tepi bejana, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahil (bodoh) yang diuji dengan waswas dalam masalah tempat penampungan air di kamar mandi.
Maka orang yang tidak menyukai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti ia tidak menyukai Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau telah membolehkan mandi dari baskom dan bejana, meskipun airnya kurang dan tidak melimpah, dan barangsiapa menunggu baskom hingga meluap, kemudian dia menggunakannya sendirian, tidak membolehkan orang lain untuk menggunakannya bersamanya, maka dia adalah seorang mubtadi’ yang menyelisihi syari’at.
Syaikh kami (Ibnu Taimiyyah rahimahullah) mengatakan, “(Orang itu) berhak mendapatkan ta’zir (hukuman) keras yang membuat dirinya dan orang-orang yang semisalnya jera untuk mengada-adakan dalam agama ini hal yang tidak diizinkan oleh Allah dan dari melakukan ibadah kepada Allah dengan bid’ah bukan dengan ittiba’.”
Sunnah-Sunnah yang shahiih ini menjadi dalil, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tidak banyak menuangkan air, demikian pula para Tabi’in, mereka pun melakukan hal yang sama. Said bin Musayyab berkata, “Aku beristinja’ (cebok) dan berwudhu’ dari kantung air, kemudian aku (masih dapat) menyisakan untuk keluargaku.” Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Termasuk kefakihan seseorang adalah, bila sedikit ketergantungannya terhadap air (cukup dengan air yang sedikit,-ed.).”
Al-Marwazi berkata, “Aku mengambilkan air wudhu’ untuk Abu ‘Abdillah pada kerumunan orang banyak, lantas aku tutupi dia dari pandangan manusia, supaya mereka tidak mengatakan, bahwa beliau tidak baik dalam berwudhu’, karena sedikitnya air yang dituangkan.” Imam Ahmad dahulu tatkala berwudhu’ hampir-hampir tidak membasahi tanah (karena sedikitnya air yang digunakan, -pent).
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ dari sebuah bejana, maka beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian berkumur dan beristinsyaq. Demikian juga tatkala mandi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya ke dalam bejana, dan mengambil air darinya[2]. Tetapi seorang yang waswas tidak akan melakukan hal itu, bahkan barangkali ia akan menghukumi bahwa air itu najis dan menjadi tidak suci karenanya.
Ringkasnya, jiwa orang yang waswas selamanya tidak akan mau untuk ittiba’ dan melakukan seperti yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Bagaimana mungkin jiwanya mau menuruti untuk mandi bersama isterinya dari satu bejana yang menampung kira-kira lima ritel Damaskus, dengan cara membenamkan kedua tangan ke dalamnya kemudian menuangkannya pada mereka berdua? Seorang yang waswas sangat tidak menyukai hal itu, layaknya seorang musyrik yang sangat tidak suka bila disebutkan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Mereka akan mengatakan, “Kami melakukan hal itu sebagai sikap ihtiyaath (sikap kehati-hatian) dalam masalah diin (agama), dan sebagai pengamalan dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
دَعْ مَا يُرِيْبُك،َ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ!
“Tinggalkanlah yang membuatmu ragu, dan lakukanlah yang tidak membuatmu ragu!”[3]
juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
“Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara syubhat, maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
juga sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلإِثْمُ، مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ.
“Dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam hati.”[4]
(Masih hujjah mereka:) Sebagian salaf menyatakan bahwa dosa adalah ganjalan dalam hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah menemui sepotong kurma, lalu beliau bersabda :
لَوْلاَ أَنِّي أَخْشَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ َلأَكَلْتُهَا.
“Seandainya saja aku tidak khawatir, bahwa itu adalah shadaqah (seseorang), tentu aku akan memakannya.”[5]
Tidakkah Anda melihat bahwa beliau tidak memakannya karena berhati-hati?
(Hujjah mereka) Imam Malik rahimahullah telah memberikan fatwa terhadap orang yang menalak isterinya dan ragu, apakah dia menalaknya dengan talak satu atau talak tiga, maka diputuskan bahwa dia dianggap menalak tiga, sebagai sikap hati-hati demi menjaga kehormatan. Juga fatwa lainnya mengenai seorang yang melakukan sumpah untuk menalak, dengan kata-kata, bahwa dalam buah badam ini ada dua biji, sedangkan dia tidak tahu jumlah biji yang ada, kemudian ternyata terbukti bahwa (biji itu) ternyata seperti yang dia sumpahkan: Maka dia termasuk melanggar sumpah, sebab bersumpah dengan yang tidak dia ketahui. Kemudian Imam Ahmad pun berpendapat dalam masalah talak yang dijatuhkan oleh seseorang kepada salah satu isterinya, lantas dia lupa siapakah yang ditalaknya itu: Maka hendaknya dia menalak semua isterinya, sebagai sikap kehati-hatian, untuk menepis keraguannya.
(Hujjah mereka:) Para sahabat Malik berpendapat dalam masalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang, kemudian dia lupa akan apa yang disumpahkannya itu: Maka orang ini terkena segala hal yang menurut kebiasaan menjadi sumpah seseorang, yaitu talak, membebaskan budak, shadaqah dengan sepertiga hartanya, membayar kafarat zhihaar, kafarat sumpah, haji dengan berjalan kaki, jatuh talak pada seluruh isterinya dan juga membebaskan seluruh budak lelaki dan perempuan yang dimilikinya. Ini menurut salah satu pendapat dari dua pendapat yang ada di kalangan mereka.
(Masih hujjah mereka:) Dalam mazhab Malik, bila ada seseorang yang bersumpah, sungguh-sungguh akan melakukan suatu hal: Maka dia dianggap masih melanggar sumpah hingga melakukannya, sehingga dipisahkan antara dia dengan isterinya (sampai ia melakukan sumpahnya). Bahkan jika ada yang mengatakan (kepada isterinya), “Bila tiba tahun baru maka aku menalakmu dengan talak tiga,” maka seketika itu juga sudah jatuh talak. Semua ini adalah merupakan sikap kehati-hatian.
(Hujjah mereka:) Para Ahli Fiqih menyatakan: “Bila pakaian terkena najis dan tidak diketahui posisi najis tersebut, maka wajib membasuh pakaian itu seluruhnya.” Para Ahli Fiqih pun berkata: “Bila seorang memiliki beberapa pakaian yang suci, kemudian salah satu pakaian ada yang terkena najis dan dia ragu (yang manakah yang terkena najis), maka hendaklah dia melakukan shalat dengan pakaiannya satu persatu, sesuai adanya jumlah najis yang mengenainya, kemudian dia melakukan satu shalat lagi untuk meyakinkan lepasnya kewajiban (shalatnya) darinya.” Para Ahli Fiqih juga berpendapat: “Bila terjadi keraguan adanya najis dalam bejana-bejana yang suci, hendaknya dituangkan seluruhnya dan dia bertayamum.” Demikian pula apabila ia ragu mengenai arah kiblat, maka hendaknya shalat empat kali (dengan arah yang berbeda) -menurut sebagian Imam- agar tanggung jawab kewajibannya tertunaikan, ini menurut sebagian Imam. (Masih pendapat para Fuqaha:) Bila suatu hari seorang meninggalkan salah satu shalat dari shalat lima waktu, namun dia lupa shalat yang ditinggalkannya itu, maka hendaknya dia (menggantinya) dengan lima shalat. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang ragu dalam shalatnya agar melaksanakannya pada yang yakin.[6]
(Masih Hujjah mereka:) Dalam masalah perburuan, diharamkan memakan daging buruan bila yang berburu ragu apakah buruannya itu terbunuh dengan panahnya atau karena sebab yang lain, misalnya tenggelam dalam air[7]. Haram juga hukumnya makan binatang hasil buruan bila ada anjing lain yang juga menangkap buruan tersebut bersama anjingnya, dikarenakan sebuah keraguan, yaitu adanya kemungkinan anjing yang lain tidak diucapkan bismillaah kepadanya. Ini adalah bab yang panjang untuk terus dibahas.
(Menurut mereka:) Bila demikian maka sikap keyakinan dan mengambil yang yakin bukanlah hal yang diingkari dalam syari’at, meskipun kalian menamakannya sebagai waswas. Padahal Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma sampai buta karena mencuci bagian dalam kedua matanya tatkala bersuci. Begitu juga Abu Hurairah bila berwudhu’ ia membasuh juga lengan atasnya dan juga kedua betisnya saat membasuh kedua kakinya.
(Masih Hujjah mereka:) Kami, bila bersikap hati-hati untuk pribadi kami dengan keyakinan, meninggalkan yang ragu dan mengambil yang yakin, membuang yang diragukan untuk sesuatu yang yakin dan jelas dan menjauhi segala yang samar, tentunya semua tidak menjadikan kami keluar dari syari‘at dan masuk ke dalam bid‘ah, tidakkah sikap ini lebih baik dibandingkan dengan sikap yang cenderung mempermudah dan menggampangkan? Sehingga menjadikan seseorang tidak peduli terhadap agamanya, tidak berhati-hati di dalamnya, bahkan, cenderung mempermudah berbagai hal dan menjalankannya begitu saja, tidak punya perhatian bagaimana seharusnya dia berwudhu’ dan dengan air apakah ia berwudhu’? Tidak peduli di tempat manakah dia melakukan shalat, apa yang mengenai pakaian atau ujung pakaiannya, tidak mencoba bertanya tentang apa yang sedang terjadi, malah berpura-pura tidak mengerti, tidak mau memperbaiki persangkaannya, dia menjadi orang yang lalai terhadap agamanya, tidak peduli lagi akan keraguan yang ada dan kemudian menyatakan bahwa semua itu adalah suci. Boleh jadi najis yang paling kotor pun masih dia ragukan. Bagaimana posisi orang ini dibandingkan dengan seorang yang menyelidiki dengan mendalam untuk menunaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya, bersungguh-sungguh untuk menghindari sesuatu yang dimungkinkan merusak apa yang diperintahkan kepadanya, kalaupun dia melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya, sebenarnya tambahan itu dia maksudkan adalah sebagai penyempurna dari hal yang diperintahkan dan agar tidak terkurangi sedikit pun.
Mereka (orang-orang yang waswas) ini juga mengatakan, “Kesimpulan masalah dari apa yang mereka ingkari tentang kami adalah, sikap kehati-hatian dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan, padahal ini lebih baik dan lebih bagus akibatnya dari bersikap meremehkan dan menggampangkan dalam dua masalah ini, sebab biasanya sikap menggampangkan itu akan membuahkan kekurangan dalam melaksanakan kewajiban dan terperosok pada sesuatu yang haram. Bila kita bandingkan antara kerusakan sikap ini dengan kerusakan dalam sikap waswas, maka kerusakan yang timbul karena sikap waswas tentulah lebih ringan. Hal ini bila kami menerima tuduhan sikap waswas dari kalian, sebab kami menyebutnya sebagai ikhtiyaath dan istizhhaar (sikap kehati-hatian), jadi kalian tidak lebih beruntung ketimbang kami dalam masalah Sunnah yang kami berada di sekitarnya, dan kami menyempurnakanya.”
Adapun orang-orang yang tidak berlebih-lebihan dan berittiba’, menjawab, dengan mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak berdzikir kepada Allah.” [Al-Ahzab/33: 21]
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [Aal ‘Imraan/3: 31]
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” [Al-An’aam/6: 153]
أَوْ تَقُولُوا لَوْ أَنَّا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَىٰ مِنْهُمْ ۚ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ ۚ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا ۗ سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
“Atau agar kamu (tidak) mengatakan: ‘Sesungguhnya jikalau kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka.’ Sesungguhnya telah datang kepadamu keterangan yang nyata dari Rabb-mu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya. Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” [Al-An’aam/6: 157]
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;… .”. [Al-An’aam/6: 153]
Itulah jalan yang lurus yang Allah wasiatkan kepada kita untuk mengikutinya, yaitu jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya berada di atasnya, yaitu kalan pertengahan, sedangkan jalan lain yang keluar darinya adalah jalan kesesatan, meskipun orang-orang menyatakan sebaliknya. Hanya saja penyimpangannya dari jalan pertengahan tadi bisa jadi besar, bisa juga hanya sedikit, antara keduanya terdapat derajat-derajat (kesesatan) yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Hal ini seperti layaknya sebuah jalan sungguhan, ada yang menyimpang sangat jauh sekali darinya, ada juga yang tidak sampai jauh sekali, maka neraca timbangan yang digunakan untuk mengukur apakah jalan itu lurus ataukah menyimpang darinya, adalah apa yang Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat berada padanya, sedangkan yang menyimpang darinya, bisa jadi dia adalah orang yang melampaui batas dan zhalim, atau seorang mujtahid yang keliru, atau seorang yang taklid atau dia adalah orang yang jahil. Maka di antara mereka ini ada yang berhak mendapatkan hukuman, ada yang diampuni, bahkan ada yang mendapatkan satu pahala, tergantung pada niat dan maksud mereka, dan tergantung ijtihad mereka dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau pun tergantung dari sikap berlebihan mereka.
Berikut ini kami bawakan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, untuk menjelaskan manakah di antara dua kelompok yang lebih berhak untuk diikuti, kemudian kami akan bantah apa yang menjadi hujjah mereka, dengan pertolongan dan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebelumnya kami akan sebutkan keterangan mengenai larangan bersikap ghuluw (berlebihan), melampaui batas-batas (hukum Allah) dan israaf, dan bahwa mengambil sikap pertengahan dan berpegang teguh pada Sunnah adalah dua poros agama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu... .” [An-Nisaa’/4: 171]
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“…Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An-’aam/6: 141]
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا
“…Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya... .” [Al-Baqarah/2: 229]
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-A’raaf/7: 55]
وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“…Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-Baqarah/2: 190]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pagi hari di Aqabah, tatkala beliau (masih) berada di atas untanya beliau bersabda, ‘Ambilkan kerikil untukku!’ Maka aku mengambilkan tujuh biji kerikil untuk melempar, maka Nabi memecahkannya pada telapak tangannya dan bersabda, ‘Dengan ukuran seperti inilah, hendaknya kalian melempar!’ Kemudian beliau bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِيَّاكُـمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ، اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
“Wahai manusia, jauhilah perbuatan ghuluw dalam diin, sesung-guhnya yang membinasakan orang sebelum kalian adalah, ghuluw dalam diin’”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i].
Anas Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian mempersulit diri kalian sendiri, sehingga Allah akan membuat kalian sulit, sesungguhya telah ada suatu kaum yang mempersulit diri mereka sendiri, maka Allah membuat mereka sulit, itulah peninggalan-peninggalan mereka dalam Shawami’ (tempat ibadah Yahudi) dan Diyar (tempat-tempat tinggal mereka); Dan mereka mengadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya.’”[8]
Jelaslah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mempersulit diri dalam diin, yaitu dengan menambahi dari apa yang telah disyari’atkan, beliau mengabarkan bahwa sikap mempersulit yang dilakukan oleh seorang hamba pada dirinya sendiri adalah menjadi sebab terjadinya kesulitan yang diberikan oleh Allah kepadanya, baik dengan qadar (ketentuan) atau pun dengan syari’at.
Pembebanan dengan syari’at misalnya, akibat menyulitkan dirinya sendiri dengan nadzar yang berat, sehingga dia harus menunaikannya. Sedangkan pembebanan dengan ketentuan dari Allah misalnya, perbuatan ahli waswas, mereka mempersulit diri sendiri, maka (Allah) pun membebani mereka berupa ketentuan dari-Nya, sehingga (waswasnya) menjadi menguat pada mereka dan menjadi sebuah sifat yang lazim adanya.
Al-Bukhari rahimahullah mengatakan, “Para ulama tidak menyukai berlebih-lebihan dalam hal itu -maksudnya dalam hal wudhu’- sehingga melampaui (contoh) perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9] Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Menyempurnakan wudhu’ adalah dengan cara membersihkan.” Maka pemahaman yang benar adalah dengan bersikap lurus/pertengahan dalam diin dan berpegang teguh terhadap Sunnah.
Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu berkata, “Ikutilah jalan yang lurus dan Sunnah, sesungguhnya tidaklah seorang hamba berada di atas jalan yang lurus dan Sunnah, lalu berdzikir mengingat Allah, kemudian kulitnya merinding karena takut kepada Allah Ta‘aala melainkan akan gugur kesalahan-kesalahannya seperti bergugurannya dedaunan dari pohon yang kering. Sesungguhnya sikap pertengahan pada jalan yang lurus dan Sunnah lebih baik dari ijtihad yang menyelisihi jalan lurus dan juga Sunnah, maka jagalah apabila amal-amal kalian sudah pertengahan, agar berada di atas manhaj para Nabi dan Sunnah-Sunnah mereka.”
Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi (dalam kitab Dzammul Waswas) berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada kita, dan memuliakan kita dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalahnya, memberikan taufiq kepada kita untuk mengikutinya dan berpegang teguh pada Sunnahnya, memberikan karunia kepada kita untuk berittiba’ kepadanya, yang mana hal itu (ittiba’) Dia jadikan sebagai tanda terhadap kecintaan-Nya dan ampunan-Nya, juga sebagai sebab ditetapkannya rahmat-Nya dan mendapatkan petunjuk-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu… .” [Aal ‘Imraan/3: 31]
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
“…Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa… .” [Al-A’raaf/7: 156]
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi… .” [Al-A’raaf/7: 157]
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“…Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-Kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” [Al-A’raaf/7: 158]
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syaitan sebagai musuh bagi manusia, yang menghalangi manusia dari jalan yang lurus (untuk menyesatkan manusia) dan mendatangi manusia dari segala arah dan jalan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan tentangnya, Dia berfirman:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ﴿١٦﴾ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).’” [Al-A’raaf/7: 16-17]
Allah pun memperingatkan kita untuk tidak mengikutinya, dan memerintahkan kita untuk memusuhi dan menyelisihinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh(mu)… .” [Faathir/35: 6]
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Surga… .” [Al-A’raaf/7: 27]
Dia Subhanahu wa Ta’ala juga mengabarkan mengenai apa yang telah diperbuat syaitan pada kedua orang tua kita, sebagai peringatan agar kita tidak mentaati syaitan, dan sebagai penegas bahwa tidak ada lagi udzur untuk mengikutinya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti jalan yang lurus dan melarang kita mengikuti jalan-jalan yang lain, Allah berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya... .” [Al-An’aam/6: 153]
Jalan Allah yang lurus adalah jalan yang telah dijalani oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dengan dalil firman Allah Azza wa Jalla :
يس﴿١﴾ وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ﴿٢﴾إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ﴿٣﴾عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Yaa siin. Demi al-Qur-an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-Rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus,” [Yaa Siin/: 1-4]
إِنَّكَ لَعَلَىٰ هُدًى مُسْتَقِيمٍ
“…Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” [Al-Hajj/22: 67]
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” [Asy-Syuura/42: 52]
Maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan dan perbuatannya, berarti dia telah berada di atas jalan Allah yang lurus dan dia termasuk dari orang yang dicintai Allah dan diampuni dosanya, dan barangsiapa yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan dan perbuatannya, maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang mengikuti jalan syaitan dan ia tidak termasuk dari orang yang dijanjikan oleh Allah untuk masuk Surga, mendapatkan maghfirah dan kebaikan.”
[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H – Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dalam bab al-Wudhuu’.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Wudhuu’.
[3] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ahmad dan an-Nasa-i.
[4] Diriwayatkan oleh ad-Darimi dan Ahmad.
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab ash-Shalaah, bab at-Tawajjuh Nah-wal Kiblah, dan Muslim dalam al-Masaajid
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Wudhuu’, bab Idzaa Syaribal Kalbu fi Inaa-i Ahadikum, dan HR. Muslim dalam ash-Shaid, bab ash-Shaid bil Kalbil Mu‘allam.
[8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Albani mengatakan, “Hadits ini dha’iif” dalam Dha‘iiful Jaami’.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, bab Maa Jaa-a fil Wudhuu’
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/43812-syaitan-sebagai-penyeru-waswas-2.html