Fikih Transaksi Gadai (Bag. 10): Faedah Transaksi Gadai dan Hukum Memanfaatkan Barang Gadaian
Alhamdulillah, telah berlalu beberapa serial dari tulisan Fikih Transaksi Gadai. Kiranya tulisan atau artikel ini sebagai penutup dari serial Fikih Transaksi Gadai yang mudah-mudahan bisa diambil manfaatnya.
Pada tulisan ini, terdapat beberapa pembahasan yang tidak kalah penting dengan pembahasan-pembahasan di awal. Di antaranya adalah faedah transaksi gadai, hukum memanfaatkan barang gadaian, hukum tambahan pada transaksi gadai, dan gadai adalah amanah.
Faedah transaksi gadai
Di antara faedah dari adanya transaksi gadai pada sebuah transaksi utang piutang adalah jika pengutang tidak mampu untuk membayar, maka barang jaminan tersebut bisa diambil untuk melunasi utangnya. Oleh karena itu, para ulama membuat kesimpulan bahwa jika pengutang tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka ada beberapa solusi atas masalah tersebut:
Pertama, menuntut pengutang agar segera membayar utangnya. Jika ia tidak ingin, maka menuju ke langkah kedua.
Kedua, menuntut agar barang gadaian dijual saja untuk menutupi utangnya atau pengutang mengizinkan agar dijual barang gadaiannya. Jika ia tetap enggan untuk menjualnya atau mengizinkan agar dijual, lanjut ke langkah berikutnya.
Ketiga, perkara tersebut didudukkan di hadapan Qadhi, kemudian Qadhi memiliki wewenang untuk menjual atau mengizinkan barang gadaian tersebut dijual agar utang dapat terlunas.
Jika barang sudah terjual, maka terdapat tiga keadaan:
Keadaan pertama, nilai jual barang tersebut senilai dengan utangnya. Maka, rahin (pengutang) tidak perlu lagi untuk menambah atau menguranginya.
Keadaan kedua, nilai jual lebih tinggi dibanding utangnya. Maka, rahin (pengutang) berhak untuk mengambil sisanya alias dikembalikan sisanya.
Keadaan ketiga, nilai jual lebih rendah dibanding utangnya. Maka, rahin (pengutang) harus menambahkan sisanya untuk melunasi utangnya.
Sebagai contoh terhadap ketiga keadaan di atas adalah sebagai berikut:
Abdullah melakukan transaksi gadai dengan Umar. Kemudian setelah tiba waktunya, Abdullah tidak mampu untuk membayar. Sehingga Umar menuntut Abdullah untuk menjual barang gadaiannya berupa mobilnya seharga Rp100.000.000,-. Rupanya, setelah dijual nominal yang didapat hanya Rp90.000.000,- maka Abdullah wajib melunasi sisanya yaitu Rp10.000.000,-. Demikian contoh keadaan yang ketiga.
Adapun keadaan kedua, setelah dijual ternyata mobil Abdullah seharga Rp120.000.000,-. Maka, sisanya Rp20.000.000,- dikembalikan kepada Abdullah.
Bagaimana jika rahin (pengutang) mensyaratkan agar barang gadaiannya tidak dijual? Tentunya syarat ini adalah syarat yang tidak sah. Karena keluar dari koridor tujuan diadakannya transaksi gadai.
Hukum memanfaatkan barang gadaian
Terkait dengan hal ini terdapat dua keadaan:
Keadaan pertama, memanfaatkan barang gadaian dalam bentuk yang diizinkan oleh pemilik (rahin/pengutang). Keadaan ini pun terbagi lagi menjadi dua:
Pertama: Barang tersebut tidak ada kaitannya dengan utang piutang antara rahin dan murtahin. Maka, memanfaatkan barang ini diperbolehkan.
Kedua: Barang tersebut ada kaitannya dengan utang piutang. Maka, ini tidak diperbolehkan. Sebagaimana kaidah “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat, maka adalah riba.”
Contohnya:
Abdullah meminjam Rp100.000.000,- kepada Umar, dengan menggadaikan mobil miliknya. Maka, Umar tidak boleh menggunakan mobil milik Abdullah selama akad tersebut berjalan. Karena mobil tersebut berada pada akad utang piutang sehingga tidak boleh digunakan.
Keadaan kedua, memanfaatkan barang gadaian dalam bentuk yang tidak diizinkan oleh rahin. Maka, keadaan ini terbagi menjadi beberapa jenis:
Pertama: Jenis barang yang digadaikan berupa hewan yang dapat diperah susunya dan dikendarai. Maka, ini boleh untuk diambil manfaatnya sesuai dengan biaya jasa yang diberikan untuk merawat hewan tersebut tanpa izin dari rahin. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya (bagian 5).
Kedua: Jenis barang yang digadaikan berupa hewan yang tidak dapat dikendarai dan diperah susunya. Maka, jika hewan tersebut dapat bermanfaat, boleh digunakan manfaatnya.
Ketiga: Jenis barang yang digadaikan bukan berupa hewan. Seperti mobil, buku, atau yang lainnya. Maka, hal ini tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan. Karena harta tersebut bukan miliknya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَالَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِ ثْمِ وَاَنْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، وَكَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا، وَكَحُرْمَةِ بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian seluruhnya haram atas kalian. Sebagaimana haramnya hari kalian dan bulan kalian ini, dan haramnya negeri kalian ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana jika murtahin memberikan hartanya untuk memperbaiki barang gadaian? Bolehkah ia memintanya kembali kepada rahin? Misal, terdapat kerusakan pada mobil, lalu murtahin memperbaikinya. Jawabnya, boleh bagi murtahin untuk memintanya kembali. Namun, jika ia berniat untuk bersedekah atau berinfak, maka tidak boleh untuk memintanya kembali.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis Umar radhiyallahu ‘anhu,
العَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَقِيْءُ ثُمَّ يَعُوْدُ فِي قَيِئِهِ
“Orang yang mengambil kembali pemberiannya, tidak ubahnya seperti anjing yang muntah kemudian ditelan kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum tambahan pada transaksi gadai
Tambahan di sini terbagi menjadi dua:
Pertama, tambahan pada barang gadaian. Maksudnya, rahin (pengutang) memberikan tambahan jaminan untuk digadaikan. Maka, hukumnya boleh, karena untuk menambahkan kepercayaan kepada murtahin.
Kedua, tambahan pada utang. Maksudnya, rahin meminta kepada murtahin untuk menambah nominal utangnya. Misal, Abdullah meminjam kepada Umar Rp. 100.000.000,- dengan jaminan mobil, di kemudian hari Abdullah meminta untuk menambah utangnya Rp. 50.000.000,- tetap dengan jaminan mobil tersebut. Hal ini boleh jika murtahin rida dan mengizinkan.
Gadai adalah amanah
Sebagai penutup, tentunya perlu diingat bahwa transaksi gadai adalah sebuah amanah. Amanah bagi rahin (pengutang) untuk benar-benar berusaha melunasi utangnya. Karena jika tidak dilunasi, maka barang jaminannya boleh untuk dijual. Ia harus amanah terhadap akad dan janjinya.
Begitu pun transaksi gadai ini adalah amanah bagi murtahin. Tidak boleh bagi murtahin menggunakan barang gadaian sebagaimana yang telah dijelaskan. Tidak boleh pula murtahin merusak barang tersebut. Jika ia merusaknya atau lalai dalam menjaganya dan menyimpannya, maka ia harus mengganti barang gadaian tersebut. Namun, jika ia sudah menjaga, menyimpan, dan tidak merusak barang itu, akan tetapi barang itu yang rusak dengan sendirinya, maka tidak ada kewajiban memberikan ganti rugi bagi murtahin.
Alhamdulillah, telah selesailah serial tentang fikih transaksi gadai yang sejatinya ini semua disarikan dari kitab-kitab para ulama, bukan dari pena kami sendiri. Masih banyak sekali pembahasan dan rincian-rincian terkait fikih transaksi gadai yang dibahas oleh para ulama. Tentunya tidak semua bisa dinukilkan pada serial ini. Silakan pembaca merujuk kembali kepada kitab-kitab para ulama tentang pembahasan ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.
***
Depok, 21 Rabiulawal 1446H/ 24 September 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/98155-fikih-transaksi-gadai-bag-10-faidah-transaksi-gadai-dan-hukum-memanfaatkan-barang-gadaian.html