Beranda | Artikel
Fikih Transaksi Gadai (Bag. 9): Permasalahan-Permasalahan Seputar Transaksi Gadai
13 jam lalu

Setelah selesai membahas beberapa pembahasan seputar gadai, mulai dari syarat, rukun, apa saja yang diperbolehkan untuk digadaikan dan yang tidak boleh untuk digadaikan. Selanjutnya, beranjak kepada permasalahan-permasalahan seputar gadai yang perlu diketahui oleh kaum muslimin secara umum dan secara khusus kepada orang-orang yang ingin melakukan transaksi gadai.

Jenis-jenis transaksi pada barang gadai

Terdapat beberapa transaksi pada barang yang digadaikan, tentunya perkara ini tidak lepas dari hukum halal dan haram, sah atau tidaknya transaksi ini. Setidaknya jenis-jenis transaksi ini terbagi pada dua sisi,

Pertama, dari sisi murtahin (pemberi utang)

Dari sisi murtahin, segala jenis bentuk transaksi pada barang yang digadaikan hukumnya batil dan tidak diperbolehkan. Karena murtahin hanya memilki hak memegang barang jaminan. Tidak boleh baginya untuk menjual barang jaminan tersebut, menyewakannya kepada orang lain, menggunakannya dan sebagainya, selama pengutang belum memastikan bahwa dirinya tidak bisa membayar utang tersebut.

Kedua, dari sisi rahin (pengutang)

Dari sisi rahin, jenis transaksi pada barang yang digadaikan terbagi menjadi tiga hal:

Pertama: Transaksi rahin yang dapat memindahkan kepemilikan barang yang digadaikan. Seperti jual beli, wakaf, dan hibah. Jenis transaksi pada barang yang digadaikan seperti ini hukumnya batil. Karena transaksi sejenis ini menjurus kepada batalnya hak murtahin sebagai pemegang jaminan dari utang yang diberikan kepada rahin.

Kedua: Transaksi rahin dalam mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Seperti jika rahin menggadaikan barang untuk rumahnya, kemudian rumah tersebut disewakan kepada orang lain, kemudian ia mengambil manfaatnya atau rahin meminjamkan rumah tersebut. Maka, transaksi seperti ini diperbolehkan. Rinciannya:

Jika barang yang digadaikan tersebut dipinjamkan, maka harus ada izin dari murtahin sebagai pemegang jaminan atas utang rahin karena terkadang barang yang dipinjamkan bisa rusak atau berkurang manfaatnya. Oleh karena itu, harus ada izin terlebih dahulu dari pemilik hak. Pemilik hak di sini adalah murtahin.

Jika barang yang digadaikan tersebut disewakan, dalam hal ini yang lebih tepat adalah rahin memiliki kendali penuh untuk menyewakan barang yang digadaikan itu. Bahkan, hendaknya murtahin meminta kepada rahin untuk menyewakannya kepada orang lain dan boleh pula bagi rahin memaksa murtahin agar barang yang digadaikan bisa untuk disewakan. Karena pada penyewaan tersebut terdapat manfaat untuk rahin dan murtahin. Manfaatnya agar utang rahin cepat terbayarkan dan tidak sia-sia barangnya, sedangkan manfaat bagi murtahin adalah hasil dari sewa tersebut dapat dijadikan sebagai jaminan juga bersamaan dengan barang yang digadaikan.

Ketiga: Transaksi rahin dengan mewasiatkan barang yang digadaikan. Jika rahin berwasiat, misalkan, “Rumah yang digadaikan ini saya wasiatkan untuk di jalan Allah dan untuk para fakir miskin.” Maka, seperti ini boleh dan sah hukumnya.

Berkembang dan bertambahnya barang yang digadaikan

Adakalanya barang yang digadaikan itu adalah jenis barang yang bisa berkembang dan bertambah. Terutama yang berkaitan dengan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan. Adakalanya hewan bisa bertambah gemuk, beranak pinak, begitu pun dengan tumbuhan yang bisa bertumbuh besar dan berbuah. Maka, jika demikian, segala yang dihasilkan oleh barang gadaian tersebut dimasukkan kepada kategori yang digadaikan. Misal, seseorang manggadaikan kambingnya yang sedang melahirkan. Setelah melahirkan, maka kambing tersebut diikutsertakan kepada induknya sebagai barang yang digadaikan atas utang rahin.

Jika yang digadaikan pohon mangga yang besar, kemudian tak berapa lama pohon tersebut berbuah mangga. Maka, buah mangga tersebut pun diikutsertakan untuk digadaikan. Jika ingin diambil manfaatnya, semisal ingin dijual buahnya, maka hasil dari penjualan tersebut dimasukkan kepada kategori yang sedang digadaikan. Begitu pun hal yang sejenis dengan ini.

Mengingat karena hukum pada barang yang telah digadaikan tersebut telah tetap sebagai barang gadaian. Maka, segala yang dihasilkan, tumbuh, berkembang dari barang tersebut diikutsertakan kepada barang yang digadaikan.

Bagaimana jika jenisnya kendaraan? Maka, jika seseorang menyewakan kendaraan yang dijadikan sebagai barang gadaian, hasil dari penyewaan tersebut digadaikan juga bersama kendaraan tersebut. Begitu pun jika terdapat kompensasi atau ganti rugi atas kecelakaan dari kendaraan tersebut, maka ganti rugi itu masuk pada barang yang digadaikan. Karena ganti rugi itu sejatinya adalah bagian dari barang yang digadaikan. Sehingga dimasukkan pada barang yang digadaikan.

Biaya yang dikeluarkan untuk barang yang digadaikan

Jika pada barang yang digadaikan mengharuskan ada biaya yang dikeluarkan untuk perawatan, perkembangbiakan, atau lain sebagainya, maka biaya ini dibebankan kepada rahin (pengutang) bukan kepada murtahin (pemberi utang). Karena rahin adalah pemilik barang tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Sa’id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صاحبهِ الذي رهنَهُ، لهُ غُنْمُهُ، وعليهِ غُرْمُه

“Jaminan (rahn) tidak terpisah dari pemiliknya yang menggadaikannya, baginya keuntungan, dan atasnya kerugian.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruqutni, ia berkata sanadnya hasan dan bersambung)

Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwasanya, meskipun barang dijadikan jaminan dalam akad utang, kepemilikan barang tersebut tetap berada di tangan orang yang menggadaikannya. Sehingga bagi pemilik barang (rahin) yang tetap menanggung biaya perawatan barang tersebut jika dibutuhkan. Jadi, murtahin tidak perlu untuk menanggung biaya atas barang yang digadaikan tersebut.

Semoga bermanfaat

Wallahul Muwaffiq. 

***

Depok, 14 Rabiulawal  1446H / 16 September 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/97957-fikih-transaksi-gadai-bag-9-permasalahan-permasalahan-seputar-transaksi-gadai.html