Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas.
Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya.
Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas.
Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas.
Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas.
Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya.
Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat.
====
هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ
وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ
فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ
وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ
وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ
وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ
ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ