Beranda | Artikel
Fikih Salat Hajat
Selasa, 3 September 2024

Di tengah kehidupan yang penuh dengan cobaan dan tantangan, setiap hamba tentu memiliki berbagai kebutuhan mendesak yang dihadapi dan ingin disampaikan kepada Allah Ta’ala. Telah dikenal dalam kitab-kitab fikih, salah satu cara untuk memohon kepada Allah agar kebutuhan mendesak tersebut dikabulkan, yaitu melalui pelaksanaan salat hajat.

Artikel ini akan membahas tentang salat hajat, mulai dari pengertiannya, dalil yang mendasarinya, hingga tata cara pelaksanaannya. Di akhir pembahasan, akan disinggung tentang silang pendapat di antara para ulama tentang permasalahan ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.

Pengertian salat hajat

Salat dalam bahasa Arab berarti doa, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Dan salatlah atas mereka.” (QS. At-Taubah: 103), yaitu berdoalah untuk mereka.

Dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَل، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaklah ia datang. Jika sedang berpuasa, maka salatlah (yaitu doakanlah kebaikan kepada pemilik makanan). Jika tidak, maka makanlah.” (HR. Muslim no. 1431)

Secara istilah, mayoritas ulama mendefinisikan salat sebagai

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ

Serangkaian perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat serta memenuhi syarat-syarat tertentu.” [1]

Salat hajat merupakan salat yang dilakukan untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar mengabulkan kebutuhan mendesak seseorang. Dalam bahasa Arab, kata “hajat” memiliki arti kebutuhan yang sangat diperlukan.

Disebutkan dalam At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah tentang definisi salat hajat,

صلاة ‌الحاجة: هي ما تصلَّى لقضاء ‌الحاجة

Salat hajat adalah salat yang dilakukan untuk memenuhi suatu hajat (kebutuhan yang mendesak).[2]

Sedangkan tentang ‘hajat’, yang berasal dari (حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan,

(حَوَجَ) الْحَاءُ وَالْوَاوُ وَالْجِيمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الِاضْطِرَارُ إِلَى الشَّيْءِ

(حَوَجَ) ha’, wawu, dan jim adalah satu akar kata, yang bermakna keterpaksaan (kebutuhan) terhadap sesuatu.” [3]

Dalil disyariatkannya salat hajat

Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengkhususkan satu bab tentang Salat Hajat. Di antara hadis yang beliau bawakan adalah hadis dari Fa’id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ، أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ لِيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ لِيُثْنِ عَلَى اللَّهِ، وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ لِيَقُلْ:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ،

الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ،

لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Barangsiapa yang memiliki hajat kepada Allah atau kepada salah satu dari anak Adam, maka hendaklah ia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian melaksanakan salat dua rakaat, lalu memuji Allah, berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengucapkan,

LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN

AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN.

LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN

Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Mahamulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.” (HR. Tirmidzi no. 479. Beliau mengatakan, “Hadis ini merupakan hadis yang gharib”, dan dinilai sangat lemah oleh Al-Albani) [4]

Demikian juga, Imam Ibnu Majah menyebutkan dalam Sunan-nya, “Bab tentang Salat Hajat” (judul bab yang sama dengan Sunan Tirmidzi), kemudian beliau menyebutkan redaksi hadis yang sama dengan hadis di atas, namun dengan tambahan,

ثُمَّ لِيَسْأَلَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مَا شَاءَ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ

Kemudian hendaklah ia memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki dari urusan dunia dan akhirat, karena hal itu akan ditetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah no. 1384, dinilai sangat lemah oleh Al-Albani)

Selain itu, para fuqaha juga menyebutkan bab yang sama dalam kitab-kitab mereka [5]. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah,

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ

Para ulama fikih sepakat bahwa salat hajat adalah ibadah yang dianjurkan.[6]

Waktu pelaksanaan salat hajat

Salat hajat tidak memiliki waktu tertentu yang ditetapkan. Seorang muslim dapat melaksanakan salat ini kapan saja ia mau, baik di siang hari maupun malam hari. Yang penting, dia harus menghindari waktu-waktu yang dilarang untuk salat, yaitu setelah salat Subuh dan saat matahari terbit; saat matahari tepat berada di atas, sampai tergelincir; setelah salat Asar dan saat matahari terbenam. Selain dari waktu-waktu tersebut, seorang muslim memiliki kebebasan untuk melaksanakan salat hajat kapan pun ia memerlukannya. [7]

Cara melaksanakan salat hajat

Berdasarkan hadis Abdullah bin Abi Aufa yang telah disebutkan sebelumnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa salat hajat dilakukan dengan:

Pertama: dua rakaat.

Kedua: tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dalam salat ini. Orang yang melaksanakan salat ini, boleh membaca apa saja yang ia inginkan dalam bacaan salatnya.

Ketiga: setelah itu, ia berdoa dengan doa apa saja yang ia kehendaki, baik yang berkaitan dengan kebaikan dunia maupun akhirat. Salah satu doa yang disebutkan dalam hadis adalah,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الحَلِيمُ الكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ العَرْشِ العَظِيمِ،

الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَالغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، وَالسَّلَامَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ،

لَا تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ، وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ، وَلَا حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

LAILAHA ILLALLAHUL HALIMUL KARIM. SUBHANALLAHI RABBIL ‘ARSYIL ‘ADZHIM. ALHAMDULILLAHI RABBIL ‘ALAMIN

AS’ALUKA MUJIBATI RAHMATIK, WA ‘AZA’IMA MAGHFIRATIK, WAL GHANIMATA MIN KULLI BIRRIN, WASALAMATA MIN KULLI ITSMIN.

LATADA’ LIY DZANBAN ILLA GHAFARTAH, WALAHAMMAN ILLA FARRAJTAH, WALAHAJATAN HIYA LAKA RIDHAN ILLA QADHAITAHA YA ARHAMAR RAHIMIN

Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Mulia, Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu hal-hal yang mewajibkan rahmat-Mu, dan keteguhan untuk mendapatkan ampunan-Mu, serta keberhasilan dalam setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku satu dosa pun, melainkan Engkau mengampuninya. Tidak ada kesulitan, kecuali Engkau berikan jalan keluarnya. Dan tidak ada hajat yang Engkau ridai, kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.

Kemudian, ia dapat memohon kepada Allah apa saja yang ia kehendaki, baik dari urusan dunia maupun akhirat. Wallaahu a’lam. [8]

Baca juga: Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita

Perbedaan para ulama dalam kesahihan hadis tentang salat hajat dan hukum mengamalkannya

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hadis-hadis tentang salat hajat dapat diamalkan atau tidak karena perbedaan mereka dalam menetapkan keabsahan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengamalkannya karena mereka menganggap hadis-hadis tersebut semuanya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Fa’id bin Abdurrahman Al-Kufi, yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dan dia dianggap ditinggalkan (matruk) oleh banyak ulama ahli hadis.

Namun, banyak ulama lain membolehkan mengamalkan hadis ini dengan dua alasan:

Pertama: Hadis ini memiliki beberapa jalur dan penguat (syawahid) yang memperkuatnya. Fa’id bin Abdurrahman menurut mereka masih ditulis hadisnya.

Kedua: Hadis ini berkaitan dengan fadha’ilul a’mal (keutamaan amal). Dalam perkara fadha’ilul a’mal, hadis dha’if (lemah, belum sampai pada level maudhu’ atau hadis palsu) masih dapat diamalkan jika hadis tersebut berada di bawah prinsip yang kuat dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih. [9]

Yang lebih selamat adalah berdoa kepada Allah Ta’ala pada waktu-waktu mustajab

Sebagaimana telah kita ketahui dari pembahasan sebelum ini, bahwa dalam hadis-hadis tentang halat hajat dan hukum mengamalkannya, merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulama. Maka, yang lebih utama dan yang lebih selamat bagi seseorang yang memiliki hajat, adalah berdoa kepada Allah Ta’ala di tengah malam, antara azan dan ikamah, setelah salat sebelum salam, pada hari Jumat karena di dalamnya terdapat waktu mustajab, serta saat berbuka puasa.

Allah Ta’ala telah berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِب لكم

Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.” (QS. Ghofir: 60)

Dia juga berfirman,

وَإِذا سَأَلَك عبَادي عني فَإِنِّي قريب أُجِيب دَعْوَة الداع إِذا دعان

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Dan Dia juga berfirman,

وَللَّه الْأَسْمَاء الْحسنى فَادعوهُ بهَا

Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf: 180) [10]

Kesimpulan

Jika seseorang memiliki hajat (keperluan yang mendesak), hendaknya dia meningkatkan doa kepada Allah Ta’ala, khususnya di waktu-waktu mustajab, dan dengan ber-tawassul yang diizinkan syariat. Menurut jumhur ulama, disunahkan baginya untuk melaksanakan salat hajat. Wallaahu a’lam

Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai salat hajat. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.

Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak

***

Rumdin PPIA Sragen, 16 Safar 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab


Artikel asli: https://muslim.or.id/97418-fikih-salat-hajah.html