Mengenal Akad Sewa-Menyewa
MENGENAL AKAD SEWA-MENYEWA
Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA
Pendahuluan
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam bertukar kepentingan, umat manusia mengenal berbagai metode, diantaranya dengan berjual beli. Dengannya penjual mendapatkan uang sebagai nilai barangnya dan pembeli mendapatkan barang sebagai hasil dari pembayarannya. Sebagaimana mereka juga mengenal akad sewa-menyewa, sebagai solusi lain bagi terpenuhinya kepentingan kedua belah pihak dengan konsekuensi yang lebih ringan bila dibanding akad jual beli. Pemilik barang tidak harus kehilangan barangnya, sebagaimana penyewa cukup mengeluarkan biaya yang jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan biaya pada jual beli.
Akad sewa-menyewa dalam banyak kesempatan menjadi solusi tepat bagi Anda, baik sebagai pemilik barang atau sebagai penyewa. Yang demikian itu dikarenakan risiko akad ini dalam banyak kesempatan ringan dan tidak berkepanjangan. Dengan demikian, kedua belah pihak diuntungkan karena dapat memenuhi kebutuhannya dengan risiko minimal.
Hukum Akad Sewa-Menyewa
Ahli fiqih dalam berbagai madzhab telah menegaskan bahwa akad sewa-menyewa adalah akad yang dibenarkan dalam syari’at. Dan bahkan ia termasuk satu akad yang telah dijalankan oleh para nabi sejak zaman dahulu kala. Sebagai buktinya simaklah firman Allah Ta’ala berikut :
لَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik“.[Al-Qashash/28 : 27]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menjalankan akad ini, diantaranya ketika berhijrah, beliau menyewa seorang lelaki dari Bani Diel, sebagai penunjuk jalan dari kota Makkah menuju ke kota Madinah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan juga ulama lainnya, terlebih yang menuliskan siroh beliau.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Seluruh ulama di berbagai belahan bumi dan juga ulama-ulama generasi pertama umat, Islam sepakat untuk membolehkan akad sewa-menyewa.”[1]
Secara logika, akad sewa adalah solusi tepat bagi terjadinya hubungan yang adil antara pemilik barang dengan penggunanya. Pemilik barang mendapatkan imbalan atas kegunaan barangnya, sebagaimana penyewa berhak mendapatkan kegunaan barang sewaannya dalam batas waktu yang disepakati.
Andai pemilik barang dipaksa meminjamkan barangnya kepada yang membutuhkan tanpa ada imbalan sedikit pun, tentu ini sangat menyusahkannya. Sebagaimana ide ini mendorong masyarakat untuk bersikap malas, karena merasa memiliki peluang untuk menggunakan barang milik orang lain.
Sebaliknya pun demikian, bila setiap orang diwajibkan memiliki barang, dan tidak boleh menyewa, tentu sangat merepotkan. Betapa banyak orang yang tidak mampu memiliki rumah, kendaraan, berbagai peralatan, dan lainnya secara sendiri. Tentu kondisi semacam ini sungguh menyulitkan kebanyakan orang. Dengan demikian, terbuktilah bahwa akad sewa-menyewa adalah solusi tepat terwujudnya hubungan yang adil antara pemilik barang dan penyewa.
Ketentuan Uang Sewa
Telah dikemukakan di muka bahwa sewa-menyewa adalah sarana pertukaran kepentingan antara pemilik barang dengan penyewa. Dengan membayar sejumlah imbalan penyewa berhak memanfaatkan barang, sedang sebagai imbalannya pemilik barang mendapatkan uang.
Sebagai konsekuensinya, untuk dapat menjalankan akad ini dengan benar, Anda harus mengenal apa saja yang boleh Anda jadikan sebagai “uang sewa”. Secara garis besar, ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa yang dapat Anda jadikan sebagai “uang sewa” ialah segala harta yang dapat Anda perjualbelikan. Dengan demikian, berbagai persyaratan yang telah Anda ketahui tentang barang yang boleh diperdagangkan berlaku pada barang yang hendak Anda jadikan sebagai “uang sewa”.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Adapun kententuan barang yang dapat dijadikan sebagai ‘uang sewa’ ialah segala benda yang dapat diperjual belikan, maka boleh dijadikan sebagai ‘uang sewa’.”[2]
Sebagai salah satu aplikasi langsung dari ketentuan ini, maka para ulama mengharuskan adanya kejelasan “uang sewa”. Dengan adanya kejalasan pada “uang sewa” baik nominal ataupun tempo pembayarannya, diharapkan tidak terjadi persengketaan.
عَنْ حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَاْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِ يَاتِ وَأَقْبَالِ الجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَالزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَبَأْسَ بِهِ
“Hanzhalah bin Qais al-Anshari mengisahkan: Aku pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij Radhiyallahu anhu perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak (dinar dan dirham). Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa. Sejatinya dahulu semasa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang ‘sewa uang’ berupa hasil tanaman yang tumbuh di dekat sungai, parit, dan hasil tumbuhan tertentu. Dan ketika musim panen tiba, bisa jadi tanaman bagian ini rusak sedangkan bagian ini utuh sedangkan bagian itu rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang kecuali dengan cara ini, karena itu mereka dilarang menyewakan ladangnya. Adapun menyewakan ladang dengan ‘uang sewa’ yang telah jelas nan pasti maka tidak mengapa.” [Riwayat Muslim hadits no. 4034]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukilkan dari sebagian ulama yang menjelaskan bahwa hadits di atas menjadi dalil kuat bolehnya menyewakan ladang dengan “uang sewa” berupa emas, perak, segala bentuk bahan makanan dan benda lainnya asalkan jelas jumlahnya. Menurut mereka, segala barang yang dapat dijadikan sebagai “pembayaran” dalam akad jual beli, maka boleh dijadikan “uang sewa” dalam penyewaan ladang. Ketentuan ini berlaku selama barang tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian)[3].
Adapun barang yang menjadi objek akad sewa, maka secara garis besar, dalam syari’at ada dua ketentuan yang harus terpenuhi:
Ketentuan pertama: Barangnya halal
Akad sewa-menyewa sejatinya adalah salah satu bentuk akad jual-beli, hanya saja yang diperjualbelikan ialah kegunaan barang dan bukan fisik barangnya. Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Akad sewa-menyewa sejatinya adalah jual beli, dengan demikian setiap orang yang dibenarkan untuk berjual beli maka ia pun boleh untuk sewa-menyewa.”[4]
Berangkat dari fakta ini, tidak diragukan bahwa barang-barang haram dalam syari’at, semisal babi, anjing, dan yang serupa dengannya tidak halal diperjualbelikan, baik fisiknya maupun kegunaanya.
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
”Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Dia mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya.” [Riwayat Ahmad 1/247 dan Abu Dawud hadits no. 3490]
Keumuman hadits ini mencakup hasil penjualan fisik barang haram, dan juga penjualan fungsinya melalui akad sewa-menyewa.
Ketentuan kedua: Disewa untuk tujuan yang halal
Harta benda dan segala yang ada pada diri Anda adalah nikmat dan karunia Allah Azza wa Jalla. Sebagai konsekuensinya, Anda berkewajiban untuk menggunakannya dengan cara-cara yang benar dan dalam batasan yang dibenarkan pula. Dengan demikian, segala nikmat Allah Ta’ala yang Anda miliki dapat menunjang terlaksananya peribadatan Anda kepada Allah Azza wa Jalla.
Anda bisa bayangkan, betapa indahnya hidup Anda bila Anda benar-benar menggunakan segala karunia Allah Azza wa Jalla guna menunjang peribadatan Anda.
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِح
“Sebaik-baik harta halal adalah harta yang dimiliki oleh orang yang shalih.” [Riwayat Ahmad 4/197]
Berangkat dari prinsip ini, ulama ahli fiqih telah menegaskan akan keharaman menyewakan barang atau diri Anda untuk bekerja dalam hal-hal yang melanggar syari’at.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُلَهُ
“Berkaitan dengan khamar, Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa sallam melaknati sepuluh kelompok orang: pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distrbutornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang menyajikan), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya.” [Riwayat at-Tirmidzi hadits no. 1295 dan Ibnu Majah: 3381]
Di antara bentuk sewa-menyewa (jual jasa) yang diharamkan dalam Islam ialah menyewakan biduanita untuk mendengarkan lagu. Kepastian hukum ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَتَبِيْعُوا الْقَيِّنَاتِ وَلاَ تَشْتَرُوْهُنَّ وَلاَ تُعَلِّمُوْهُنَّ وَلاَ خَيْرَفِي تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ
“Janganlah kalian menjual biduanita, jangan pula kalian membeli mereka. Sebagaimana jangan pula kalian mengajarkan mereka untuk benyanyi. Tidak ada baiknya memperdagangkan biduanita dan sudah barang tentu hasil penjualannya haram.” [Riwayat at-Tirmiczi hadits no. 1282]
Diantara bentuk sewa-menyewa yang diharamkan dalam Islam ialah menyewakan jasa perdukunan dan perzinaan. Padahal Anda pasti mengetahui bahwa Islam membolehkan menyewa seorang wanita atau lelaki untuk suatu pekerjaan yang halal. Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَمَهْرِ الْبَغِىَ
“Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, upah perdukunan, dan perzinaan.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2122]
Demikianlah saudaraku! Setiap orang yang memiliki andil langsung atau tidak dalam perbuatan keji atau mungkar akan mempertanggungjawabkan perbuatannya baik di dunia maupun di akhirat. Yang demikian itu karena setiap pelaku kemungkaran, bila tidak mendapatkan dukungan dari seluruh orang yang ada disekitarnya, tentu tidak akan kuasa menjalankan kemungkarannya. Dan sebagai orang yang beriman, tentu Anda benci terhadap segala bentuk andil dalam kemungkaran.
Beberapa Hukum Dalam Sewa Menyewa
Setiap bentuk akad yang dibenarkan dalam syari’at pastilah memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda, tanpa terkecuali akad sewa-menyewa. Karena itu, sudah sepantasnya Anda mengenali hukum-hukum tersebut, agar Anda tidak mencapuradukkan antara satu akad dengan yang lainnya. Berikut beberapa hukum yang berlaku dalam akad sewa-menyewa:
Hukum pertama: Akad sewa akad yang mengikat
Diantara konsekuensi hukum yang harus Anda ingat selalu dalam akad sewa-menyewa ialah yang berkaitan dengan karakternya. Ulama ahli fiqih telah menjelaskan bahwa akad sewa bersifat mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian, kedua pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan akad sewa tanpa restu dari pihak kedua.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskan hal ini dengan berkata, “Akad sewa-menyewa adalah akad yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian tidak dibenarkan bagi keduanya untuk membatalkannya (kecuali atas izin pihak kedua). Demikian ditegaskan dalam madzhab Imam Malik, Syafi’i, dan Hanafi. Hal itu dikarenakan akad sewa-menyewa adalah salah satu bentuk akad tukar-menukar harta, sehingga sepantasnya bersifat mengikat kedua belah pihak, layaknya akad jual beli. Bahkan sejatinya akad sewa-menyewa adalah salah satu model dari akad jual beli.”[5]
Hukum kedua: Kepemilikan uang sewa dan hak guna barang
Sebagai kelanjutan logis dari hukum pertama adalah kepemilikan pemilik barang atas “uang sewa”. Dengan tercapainya kesepakatan akad sewa-menyewa antara kedua belah pihak dan selanjutnya keduanya melangsungkan akad, maka secara otomatis pemilik barang berhak menerima dan memiliki uang sewa.
Hukum ini berlaku dan tidak dapat berubah, walaupun di kemudian waktu penyewa dengan segaja atau tidak menelantarkan barang yang telah ia sewa dan tidak memanfaatkannya.
Sebaliknya, penyewa berhak memiliki hak guna barang yang telah ia sewa, selama waktu yang telah disepakati.
Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah berkata, “Akad sewa adalah akad yang mengikat, sehingga konsekuensinya pemilik barang berhak memiliki uang sewa dan penyewa memiliki kegunaan barang sewa. Dengan demikian, bila penyewa secara sepihak menelantarkan barang sewaannya sebelum masa sewa berakhir, maka akad sewa tetap sah dan tidak gugur. Sebagaimana uang sewa tetap menjadi milik pemilik barang, dan kegunaan barang pun tetap milik pemilik penyewa. Hukum ini sama halnya dengan orang yang membeli suatu barang dan ia telah menerimanya, namun kemudian ia tidak memanfaatkan barang pembeliannya.”[6]
Hukum ketiga: Pemanfaatan barang sewa
Telah dijelaskan di muka bahwa akad sewa-menyewa sejatinya adalah akad jual beli kegunaan suatu barang dalam tempo waktu tertentu. Karena penyewa secara sah telah memiliki manfaat barang, ia berhak memanfaatkan kegunaan barang sewaannya. Dan dalam pemanfaatannya ia berwenang untuk memanfaatkannya secara langsung atau melalui wakilnya atau bahkan kembali menyewakannya kepada orang lain.
Hukum ini berlaku selama cara pemanfaatan yang dilakukan oleh orang yang mewakilinya atau orang lain yang menyewanya kembali serupa dengan cara pemanfaatan penyewa pertama. Ini semua sebagai bagian dari konsekuensi kepemilikan penyewa atas kegunaan barang sewaannya. Demikianlah yang dijelaskan oleh para ahli fiqih dari berbagai madzhab[7].
Hukum keempat: Kerusakan ditanggung pemilik barang
Pepatah yang menyatakan “tiada gading yang tak retak” berlaku dalam segala aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali pada barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa mereka. Karena itu, ketika menjalin akad sewa-menyewa biasanya Anda memeriksa keutuhan barang sewaan Anda. Anda melakukan hal itu karena Anda khawatir bila di kemudian hari terbukti bahwa barang sewaan Anda cacat, sehingga tidak dapat Anda gunakan sebagaimana mestinya.
Walau demikian, tetap saja kerusakan dan cacat terjadi pada barang sewaan Anda. Dan bila benar-benar terjadi, maka kerusakan dan cacat menjadi tanggung jawab pemilik barang. Dengan demikian, Anda tidak dirugikan karena terhalang dari memanfaatkan barang sewaan Anda.
Ketentuan ini berlaku selama kerusakan atau cacat terjadi tanpa ada keteledoran atau kesalahan yang Anda (penyewa) lakukan. Akan tetapi, bila kerusakan terjadi karena kesalahan Anda dalam menggunakan barang, maka Anda wajib menanggung kerugiannya. Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Bila barang sewaan rusak pada masa digunakan oleh penyewa tanpa ada kesalahan darinya, maka penyewa tidak wajib menggantinya. Yang demikian itu karena penyewa menggunakan barang sewaan dalam rangka mendapatkan hak guna yang telah ia miliki. Sebagai konsekuensinya ia tidak wajib mengganti kerusakan tersebut, bagaikan seorang wanita yang meninggal dunia ketika sedang melayani suaminya.”[8]
Hukum kelima: Kesepakatan masa sewa
Diantara poin utama yang membedakan akad sewa dari akad jual beli ialah adanya pembatasan masa. Pada akad jual beli, pembeli mimiliki hak selama-lamanya untuk memanfaatkan barang yang telah ia beli. Namun, pada akad sewa, penyewa hanya memiliki hak guna sebatas waktu yang disepakati. Karena itu, kesepakatan tentang masa sewa sangatlah penting bagi kedua belah pihak. Adanya kesepakatan ini masa sewa ini mencegah terjadinya sengketa antara penyewa dan pemilik barang.
Kisah berikut dapat menjadi contoh nyata dari adanya kesepakatan masa sewa:
لَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ قَالَ ذَٰلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ ۖ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ ۖ وَاللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik. Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara Aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu Aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan“.[Al-Qashshah/28 : 26-28]
Asy-Syairazi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan, “Akad sewa-menyewa hanya boleh dilakukan pada kegunaan barang atau pekerjaan yang jelas kadarnya. Yang demikian itu karena telah dijelaskan bahwa sejatinya sewa-menyewa adalah akad jual-beli jasa (kegunaan barang), sedangkan akad jual-beli tidak sah kecuali bila kadar barangnya jelas. Demikian pula seyogianya akad sewa-menyewa. Dan untuk mengetahui kadar jasa/kegunaan barang maka dapat dilakukan dengan menentukan bentuk pekerjaan atau masa penggunaan barang. Bila suatu jasa dapat ditentukan kadarnya secara langsung, semisal jasa menjahit baju, menjual seorang budak, mengendarai tunggangan hingga suatu temmpat, maka penentuan kadar jasa atau kegunaan barang dapat dicapai dengan menyepakati bentuk pekerjaan”[9]
Penjelasan asy-Syairazi ini selaras dengan keumuman hadits berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar/ketidak jelasan.” [HR. Muslim : 1513]
Penutup
Demikian paparan singkat seputar hukum akad sewa-menyewa, semoga bermanfaat bagi Anda. Dan sekali lagi saya mengingatkan berbagai hukum yang telah Anda kenali pada akad jual beli berlaku pula pada akad sewa-menyewa. Ini semua dikarenakan sewa menyewa sejatinya adalah salah satu model akad jual beli. Pembeda utama antara keduanya hanyalah objek akadnya. Bila pada jual beli yang menjadi objek akad adalah bendanya, sedangkan pada sewa-menyewa kegunaan bendalah yang menjadi objek akadnya.
Wallahu Ta’ala A’lam
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 07, Tahun ke-11/Shafar 1433 (Jan – Feb 2011). Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153)]
______
Footnote
[1] Bidayatul Mujtahid 2/220
[2] Bidayatul Mujtahid 2/220
[3] At-Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr 3/40
[4] At-Tanbih: 122
[5] al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/24
[6] al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/25
[7] Baca al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/58 dan Mughnil Muhtaj 2/334
[8] al-Muhadzadzab oleh asy-Syairazi 1/408
[9] al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi i/395-396
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/41356-mengenal-akad-sewa-menyewa-2.html