Apa dan Bagaimanakah al-Wadi`ah?
APA DAN ABAGAIMANAKAH AL-WADI’AH?
Al-Wadi`ah (atau penitipan), kata ini diambilkan dari barang yang ditinggalkan pada orang yang diminta untuk menjaganya, dengan tanpa ganti/biaya beban.[1] Wadi`ah, pada dasarnya merupakan akad yang bersifat sosial, dan bukan bersifat komersil. Akad al-Wadi`ah ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong menolong, sehingga tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut.
Hukum Wadi’ah[2]
Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan, yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak bisa menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak, sehingga ia menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. [al-Maa`idah/5 : 2].
وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2 : 195].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ نفََّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُربةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقَيَامَةِ، … وَاللهُ فِي عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
Barang siapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia yang ada pada seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari kesusahan-kesusahan dirinya pada hari Kiamat … dan Allah ada dalam pertolongan seorang hamba, selama hamba tersebut dalam pertolongan saudaranya.
Adapun bagi seorang yang merasa tidak mampu dalam penjagaan, maka dilarang untuk menerimanya, terlebih bila ia akan merusak atau menghilangkannya. Dan bisa menjadi wajib untuk menerima titipan dari saudaranya, bila memang tidak ada orang yang akan menjaganya, sedangkan ia merasa mampu untuk menjaganya. Hal ini berdasarkan konteks dan pemahaman dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang melarang seseorang untuk menyia-nyiakan harta yang ia miliki.
Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya karena gila atau sakit.[3]
Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini, wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya dalam penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut, karena ia telah merusak harta dan barang orang lain. Oleh karena itu, wajib bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya sendiri.
Beberapa contoh berkaitan dengan keadaan si penyimpan yang harus bertanggung jawab dengan barang yang dihilangkan atau dirusakkannya. Antara lain sebagai berikut:[4]
- Disebabkan oleh kelalaian dalam menjaga barang dengan tidak menyimpannya di tempat yang sewajarnya.
- Menggunakan barang titipan untuk kepentingan pribadinya.
- Membawanya ketika safar, padahal tidak diizinkan atau tidak dalam keadaan terpaksa.
- Merusak penutup dari kantung (tempat) barang yang ada.
- Menolak untuk menyerahkan simpanan ketika diminta oleh pemiliknya.
Syarat Penitip dan yang Dititipi
Pihak yang melakukan transaksi ini adalah orang yang baligh, berakal dan rasyid (berpikiran matang).[5] Artinya, bila ada anak atau orang gila menitipkan sesuatu, maka tidak boleh untuk diterima, terkecuali dalam keadaan terpaksa yang apabila barang atau harta itu tidak diterima, ia akan rusak atau hilang. Disamping itu, keharusan adanya penunjukan untuk menentukan siapa yang dititipi, dan bukan ditujukan kepada umum.
Konsekwensi Dari Akad Wadi’ah
Bila akad transaksi wadi`ah ini dianggap sah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan, maka ada tiga keharusan darinya, yaitu: ia merupakan amanah yang harus dijaga, kewajiban untuk menjaganya, dan kewajiban untuk mengembalikan saat barang itu diminta oleh pemilihnya.
Hukum dan Permasalahan sekitar Wadi’ah[6]
- Bila muncul ketakutan atau orang yang dititipi itu akan safar, maka wajib baginya untuk mengembalikan barang titipan yang ia bawa, baik kepada pemiliknya atau yang menjadi wakil pemiliknya. Bila memang tidak didapatkan, maka boleh ia membawa bersamanya dalam safar, karena itulah yang terbaik. Bila tidak, maka ia dapat menitipkannya kepada hakim, karena hakim dapat menjadi wakil pemiliknya selama ia tinggal. Bila tidak mendapatkan hakim, maka dibolehkan ia dititipkan kepada orang yang ia anggap dipercaya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi n ketika akan melakukan hijrah kepada Ummu Aiman, dan ia perintahkan Ali untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
- Orang yang dititipi, karena ia dianggap sebagai orang yang dipercaya, maka apa yang ia katakan hendaklah diterima, terkecuali bila nampak kedustaan dari ucapannya.
- Bila pemilik barang tersebut minta untuk dikembalikan barangnya, kemudian ia menundanya sampai akhirnya barang itu rusak atau hilang, maka ia harus menanggungnya.
- Dibolehkan bagi orang yang dititipi untuk memasrahkan titipan tersebut kepada orang yang biasa ia titipi, semisal istri, pembantu dan yang lainnya. Sehingga, bila barang itu rusak di tangan orang yang dititipi itu, maka ia tidak wajib menggantinya selama tidak lalai dan aniaya dalam menjaga titipannya.
Kapan Batas Waktu Penitipan?
Bila penitip tidak kunjung datang untuk mengambil barangnya dan ia tidak diketahui keberadaan dan keadaannya, atau tidak diketahui ahli warisnya, maka pihak yang dititipi dibolehkan untuk menginfakkan barang tersebut walau tanpa seizin hakim. Atau mungkin, bisa ia berikan kepada hakim dan tidak diperkenankan untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi. [7]
Syarat Ganti Rugi?
Ketika pemilik barang yang menitipkan mensyaratkan kepada orang yang dititipi untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan, kemudian ia ridha dan menerimanya, atau si penyimpan (yang dititipi) itu mengatakan bahwa ia akan menanggung kerusakan atau kehilangan tersebut, maka bila ternyata dicuri atau rusak tanpa kelalaian dalam menjaganya, maka ia tidak wajib menggantinya, karena persyaratan untuk bertanggung jawab dari orang yang dipercaya/amanah adalah batil. Demikian ini pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab yang ada.[8]
Bagaimana Dengan Biaya Dari Jasa Penitipan?
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang, sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan.
Dalam masalah ini, para ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
- Ulama Hanafi dan ulama Syafi’i berbendapat bolehnya orang yang dititipi untuk mensyaratkan adanya imbalan dalam amal ini; bila ada, maka syarat itu harus dilaksanakan.
- Para ulama Maliki membedakan antara syarat untuk memberikan imbalan, lantaran bea dari tempat yang digunakan untuk menyimpan titipan tersebut bukan karena pekerjaan dalam penjagaan.
- Sedangkan para ulama Hanabilah berpendapat dengan larangan untuk mensyaratkan bea penyimpanan. Mereka berpendapat, bila ada imbalannya, maka tidak dikatakan sebagai akad wadi`ah; namun masuk dalam akad sewa-menyewa, yakni menyewa dalam menjaga barang tersebut.[9]
Intinya, dari pendapat-pendapat diatas, bahwa uang yang dihasilkan dari biaya yang telah dilakukan dari menjaga barang tersebut adalah halal. Hanya saja, ketika ia mengambil biaya tersebut, maka perbedaan ulama di atas berpengaruh, baik antara yang mengatakan ia adalah sewa, atau masih menganggap ia adalah wadi`ah yang hukum-hukum yang terjadi diatur dalam masalah wadi`ah.
Bagaimana Berdagang Dengan Harta Titipan?
Bila seseorang yang dititipi menggunakan uang titipan itu untuk mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut halal dan menjadi milik orang yang dititipi.[10] Namun begitu, bila terjadi kerusakan atau kehilangan dari barang tersebut, maka ia wajib menggantinya karena ia telah menggunakannya untuk kepentingan pribadi, disamping itu, ia telah menyalahkan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Bagaimana Dengan Simpanan Bank?[11]
Simpanan yang dimaksudkan, adalah seseorang yang menyimpan yang ia inginkan pada pihak bank, baik berupa uang, barang maupun surat-surat berharga lainnya. Walaupun dasar tujuan dari penyimpanan ini untuk menjaga apa yang ia miliki, namun kenyataannya, didapatkan keinginan lain di luar itu, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun sekedar menjaga kerahasian yang ia miliki dengan menyimpannya di brankas yang ia sewa dari pihak bank.
Simpanan yang dilakukan di bank adalah transaksi yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak bank dengan menyerahkan sejumlah uang. Kemudian, uang ini disimpan oleh pihak bank. Namun begitu, pihak bank berhak untuk menggunakan dan mengelola uang tersebut untuk keperluan lain. Dan pihak nasabah dapat mengamil kapanpun dan sebesar apapun yang ia suka dari uang yang ia simpan di bank tersebut.
Simpanan ini mempunyai keunggulan. Disamping menyimpan, ternyata si nasabah juga bisa mendapatkan keuntungan dari bunga yang ia peroleh setiap waktunya. Kentungan seperti ini, tentunya masuk dari riba yang telah diharamkan oleh syariat. Simpanan yang dititipkan di bank, bila dilihat dari proses dan penggunaan simpanannya, maka ia dapat dikatakan masuk ke dalam transaksi utang-piutang dan tidak termasuk dalam hukum wadi`ah (penitipan).
Antara penitipan ini dengan piutang, ada kesamaan dari hasil kepemilikan barang dan keterkaitannya dengan penggunaannya. Dalam hal ini, pihak yang dititipi berhak menggunakan barang tersebut. Sedangkan dalam wadi`ah, secara hukum asal, pihak yang dititipi tidak diperkenankan untuk menggunakannya, karena transaksi yang dimaksudkan dalam wadi`ah ialah untuk menjaga dan bukan untuk menggunakannya, serta adanya kesamaan dalam kewajiban untuk mengembalikan bila diminta oleh pemiliknya; seperti halnya dalam hutang-piutang.[12]
Disebutkan dalam kitab Raudhul-Murbi`: “Pengertian qard (piutang), ialah memberikan harta kepada (orang yang berhutang) untuk dimanfaatkan (faidahnya). Yang nantinya ia mengembalikan ganti (semisal) dari apa yang telah ia pergunakan”.
Karenanya dapat dikatakan, tambahan kembalian yang disyaratkan dari salah satu pihak adalah bunga riba yang diharamkan sebagaimana dalam hukum piutang. Bahkan ia mencakup dua riba sekaligus yang dilarang dalam Islam, baik riba fadl maupun riba nasi`ah, dimana si nasabah atau pihak bank, ketika mengambil titipan/hutangnya itu dengan tambahan yang disertai dengan tempo waktu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْناً بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ والْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَزْناً بِوَزْنٍ فَمَنْ زَادَ أو استزاد فَهُوَ رِباً
Dan emas dengan emas satu timbangan dan serupa, perak dengan perak semisal dan sama timbangannya, siapa yang menambah atau minta tambahan, maka ia (tambahan itu) adalah riba. (Lihat Shahih Muslim, 3/1211).
Bagaimanakah Simpanan Dalam Bentuk Surat-Surat Penting Berharga?[13]
Transaksi dengan model ini, adalah termasuk model simpanan yang sebenarnya bagian dari hukum wadi`ah dilihat dari peraturannya yang tidak jauh berbeda dengan hukum penyimpanan yang berlaku dalam hukum fiqih, dimana harta berharga yang ia miliki dititipkan kepada pihak bank, untuk dijaga di tempat yang aman, yang nantinya akan dikembalikan. Disamping tidak adanya pertanggungjawaban bila ternyata rusak karena sebab yang tidak bisa terelakkan, selama tidak ada faktor kelalaian atau kesengajaan. Namun begitu, disana terdapat perbedaan antara keduanya; dimana pihak bank meminta biaya penitipan berbeda dengan pengertian titipan, karena asal dari titipan adalah transaksi yang bersifat membantu tanpa ada beaya di dalamnya.
Bagaimana Penitipan Dengan Sewa Brankas?[14]
Model penitipan ini merupakan transaksi, yang pihak bank berkewajiban menaruh barang titipan di tempat yang aman dalam kotak besi. Namun begitu, pihak penitip mempunyai kebebasan secara pribadi dalam pengelolaan dengan membayar beban biaya tertentu.
Penitipan seperti ini dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dapat dikategorikan kepada hukum sewa, bila ditinjau dari tempat yang disewa oleh nasabah dengan membayar sejumlah uang tertentu.
Ada dua akad sewa dalam penitipan seperti ini.
- Yang pertama, menyewa lemari untuk menyimpan.
- Dan yang kedua, beban sewa dalam penjagaan terhadap apa yang ada dalam brankas. Sehingga bisa dapat dikatakan, bahwa penyimpanan seperti ini, walau dengan membayar biaya, hukumnya dibolehkan, karena ia termasuk dalam hukum sewa-menyewa. (Ustadz Mu’tashim)
Wallahu a`lam bish-Shawab.
Sumber:
- Al-Fiqh ‘ala Mazahib Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri.
- Al-Fiqh Islami wa Adilatuhu, Wahbah Zuhaili, Dar al-Fikr.
- Al-Mulakhas Fiqh, Syaikh Shalih Fauzan, Dar Ibn Fauzi.
- Majallah Buhuts al-Islamiyah, Maktabah Syamilah.
- Mausu`ah Fiqh al-Kuwaitiyyah, Multaqa Ahli Hadits, Maktabah Syamilah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[2] Lihat al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah (3/110), al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (1/93).
[3] Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4023.
[4] Lihat al-Fiqh Islami wa-Adillatuhu, 5/4024-4030.
[5] Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137.
[6] Lihat Mulakhas Fiqh, 2/137-139.
[7] Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 10/144.
[8] Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 7/93.
[9] Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 3/93.
[10] Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhhu, 5/ 4033.
[11] Lihat Majallah Buhuts al-Islamiyah, dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Bab: al-Wadi`ah, Majallah Buhuts al-Islamiyah; 8/247, 8/3001.
[12] Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/280.
[13] Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/247.
[14] Majallah Buhus al-Islamiyah, 8/297.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/42238-apa-dan-bagaimanakah-al-wadiah-2.html