Beranda | Artikel
Fikih Transaksi Gadai (Bag. 6): Jenis-Jenis Gadai yang Diperbolehkan (4)
3 hari lalu

Melanjutkan kembali pembahasan tentang fikih transaksi gadai. Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Sebelumnya, pembahasan tentang jenis gadai yang diperbolehkan adalah dari segi bentuk maupun barang, mulai dari bolehnya menggadaikan barang, tanah, rumah, dan lain sebagainya.

Adapun pembahasan kali ini, lebih mengerucut pembahasannya ke arah jenis keadaan-keadaan yang diperbolehkan untuk kita menggadaikannya. Seperti, menggadaikan barang yang terbagi kepemilikannya, menggadaikan barang yang sudah digadaikan terlebih dahulu. Ada baiknya hal-hal seperti ini diketahui bukan hanya sebagai wawasan semata, namun hal ini sebagai faedah yang barangkali bisa terjadi di tengah-tengah kaum muslimin.

Berikut ini jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang. Di antaranya, [1]

Gadai dalam bentuk kepemilikan yang terbagi

Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan (رهن المشاع) Rahnul Musya’. Artinya, orang yang berhutang menggadaikan barang yang kepemilikan barangnya berserikat dengan orang lain.

Contohnya: Abdullah memiliki rumah yang berserikat dengan kakaknya Umar. Abdullah memiliki bagian dari rumah itu setengah dan umar setengahnya. Maka, boleh bagi Abdullah ketika ia ingin menggadaikan setengah rumah dari bagian yang ia miliki.

Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa gadai dengan keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Baik yang bentuk barangnya bisa terbagi dengan spesifik atau tidak. Bahkan, menurut mazhab Abu Hanifah gadai dalam bentuk seperti ini tidak sah hukumnya.

Alasannya, karena gadai dalam keadaan seperti ini tidak tetap keadaannya dan berubah-ubah. Artinya, karena ada kepemilikan orang lain pada benda tersebut, dikhawatirkan barang yang digadaikan itu tidak tetap ada di hak Rahin (pengutang) maupun Murtahin (pemberi utang). Sedangkan barang gadaian itu harus dalam keadaan tertahan di tangan Murtahin dan tetap berada di hak Rahin.

Namun, jumhur ulama membolehkan gadai dalam bentuk seperti. Alasannya kembali ke kaidah, “Setiap yang boleh diperjualbelikan boleh digadaikan.” Di antara pendapat jumhur ulama juga adalah kembali ke tujuan dari gadai, yaitu ketika pengutang tidak mampu melunasi, maka barang yang digadaikan menjadi jaminan atas utangnya tersebut. Pada keadaan seperti ini, barang yang terbagi bisa dijual tentunya.

Kaidah ini pula yang disinyalir oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarhul Mumti’. Beliau berdalil tentang masalah Rahnul Musya’ dengan masalah Syuf’ah,

قَضَى النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الحُدُوْدُ وَصُرِّفَتِ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memutuskan adanya syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah.” (HR. Bukhari no. 2257)

Syuf’ah adalah menjual kepemilikan suatu benda kepada orang yang berserikat dengannya. Syariat Islam menyarankan untuk melakukan ini. Artinya, seseorang tidak menawarkan atau menjual kepemilikan dari perserikatan tersebut, kecuali setelah menawarkan kepada serikatnya itu.

Setelah menyebutkan dalil di atas, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Maka, dari dalil di atas menunjukkan akan bolehnya menjual benda yang berserikat kepemilikannya. Jika boleh dijual, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena ketika utang sudah jatuh tempo, dan pengutang tidak bisa membayarnya, maka benda tersebut bisa dijual.” [2]

Gadai dalam bentuk barang yang tersambung atau terhubung dengan barang lain

Silang pendapat di antara para ulama tentang hal ini sama halnya dengan masalah Rahnul Musyaa’. Maksud barang yang tersambung atau terhubung dengan barang yang lain adalah seperti halnya buah yang tidak bisa dipisahkan dengan pohon, tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya, pohon yang tidak bisa dipisahkan dengan tanah, dan lain sebagainya.

Maka, gadai seperti ini boleh hukumnya menurut jumhur ulama. Boleh bagi seseorang menggadaikan rumah tidak beserta barang-barang maupun perkakas yang ada di dalamnya. Bahkan, hukum asal perkakas yang ada di dalam rumah tersebut tidak termasuk ke dalam barang gadaiannya.

Gadai dalam bentuk barang yang disewakan dan dipinjamkan

Maksudnya adalah seseorang menggadaikan barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama mazhab membolehkan orang yang berutang untuk menggadaikan harta atau barang miliknya yang disewakan atau dipinjamkan kepada orang lain. Kendati mereka berbeda dalam perinciannya dalam masalah ini.

Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki mobil yang disewakan kepada Umar. Kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali, Abdullah pun menjadikan mobilnya yang disewakan kepada Umar sebagai jaminan atau gadaian atas utangnya kepada Ali.

Gadai dalam bentuk barang yang sedang disewa

Bedanya dengan yang di atas, kalau gadai dalam hal ini adalah seseorang menggadaikan barang yang ia pinjam. Contohnya, Abdullah meminjam mobil kepada Umar, kemudian Abdullah ingin berutang kepada Ali. Dijadikanlah mobil yang ia pinjam kepada Umar sebagai jaminan utangnya kepada Ali.

Gadai dalam bentuk seperti ini diperbolehkan jika pemilik barang sewaan tersebut meridai dan mengizinkannya. Karena pemilik barang memiliki hak sepenuhnya atas barang tersebut. Maka, bagi pemilik boleh untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan barang tersebut digadaikan.

Gadai dalam bentuk barang milik orang lain

Hal ini sama halnya seperti pembahasan di atas. Seseorang boleh menggadaikan barang milik orang lain. Tentu dengan izin dari pemilik barang tersebut. Jika barang tersebut digadaikan tanpa ada izin dari pemilik barang, maka ini adalah perbuatan zalim dan bisa dikatakan sebagai pencurian.

Inilah keadaan-keadaan yang boleh untuk menjadikannya sebagai jaminan dalam berutang. Tentunya harus terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Yang mesti diingat kaidah yang berlaku dalam mu’amalah adalah hukum asal mu’amalah adalah mubah sampai datang dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini adalah kaidah yang sangat memudahkan kaum muslimin dalam ber-mu’amalah. Sehingga selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hukum asalnya boleh.

Semoga bermanfaat, wallahul Muwaffiq. 

***

Depok, 04 Safar 1446 H / 8 Agustus 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/97075-fikih-transaksi-gadai-bag-6-jenis-jenis-gadai-yang-diperbolehkan-4.html