Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (5)
Meskipun akal memiliki peran yang diakui, ia memiliki kapasitas ruang kerja yang terbatas
Telah disebutkan di artikel sebelumnya bahwa ahli sunah tidak menolak peran penting akal. Di saat yang bersamaan, mereka juga mengakui bahwa akal memiliki batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, kewenangannya terlalu lemah untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ia juga terlalu lemah untuk bekerja secara independen tanpa bantuan wahyu. Justru ini adalah konsekuensi dari kesempurnaan Allah dan kekurangan makhluk. Allah berfirman,
وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِیفࣰا
“Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Akal memiliki kendali sesuai ruang kerjanya. Meskipun demikian, ketika akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berada di dalam maupun di luar ruang kerjanya, ia tetap membutuhkan bimbingan wahyu Allah. Berikut alasannya:
Pertama: Akal tidak dapat masuk ke ranah perkara-perkara gaib. Rincian mengenai sifat Allah, para malaikat, dan kondisi hari kiamat tidak dapat diketahui tanpa didahului dengan informasi dari wahyu. Akal tidak memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Tugasnya hanya mengakui, menerima, dan melaksanakan konsekuensinya tanpa penolakan. Syaikhul Islam berkata, ”Berita-berita yang para rasul sampaikan berupa rincian kondisi hari kiamat, atau rincian aturan syariat itu tidak bisa diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya. Begitu juga berlaku terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Seandainya manusia bisa tahu dengan akalnya, pengetahuan tersebut hanya secara garis besar saja.[1]
Alasan adanya keterbatasan ini adalah keberadaan indra yang mengikat akal, sehingga ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang tidak ditangkap indra tersebut. Akal pun mengakui keterbatasan ini. Oleh karena itu, dia sendiri yang memutuskan bahwa dia tidak mempunyai ruang untuk mengetahui apa pun yang melampaui wilayahnya.
Kedua: Akal tidak dapat bekerja secara mandiri tanpa hidayah. Siapa pun yang menginginkan kemandirian tersebut, ia akan tersesat. Analogi yang cocok bagi akal adalah penglihatan pada bola mata kita. Bola mata tersebut tidak dapat melihat, kecuali dengan bantuan cahaya matahari atau lampu. Ketika cahaya itu hilang, bola mata tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu juga akal, ia tidak dapat melihat hidayah, kecuali dengan keberadaan cahaya Al-Qur’an dan iman.[2] Ketika akal bekerja tanpa cahaya tersebut, ia menjadi tidak bermanfaat.
Allah berfirman,
وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ
”Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang belum pernah Kami teguhkan kedudukanmu dalam hal itu. Dan Kami telah berikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati. Akan tetapi, pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Al-Ahqaf: 26)
Tidak ada jalan untuk mendapat hidayah, kecuali melalui wahyu. Allah berfirman,
وَإِنِ ٱهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِىٓ إِلَىَّ رَبِّىٌٓ
”Jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku.” (QS. Saba’: 50)
Ketiga: Akal tidak dapat memutuskan hukum terhadap kasus yang terjadi di tengah manusia secara independen. Hanya wahyu yang Allah turunkan yang dapat memutuskan hukum secara independen. Wahyu tersebut tidak memiliki pertentangan maupun sesuatu yang membingungkan. Hal ini disebabkan kekuatan penalaran tiap akal berbeda. Jika demikian, pendapat seseorang tidak bisa menyelesaikan sengketa antara dua orang dengan baik. Adapun yang dapat meyelesaikannya adalah Al-Qur’an yang Allah turunkan dari langit dan juga rasul yang Allah utus dalam keadaan terjaga dari kekeliruan dalam menyampaikan wahyu Allah.[3] Oleh karenanya, Allah memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan kepada Al-Qur’an dan hadis. Allah berfirman,
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’‘ (QS. An-Nisa: 59)
Keempat: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Namun, perlu diperhatikan bahwa bukan berarti akal adalah penentu kebenaran syariat, bukan juga ia harus bisa mengetahui seluruh sisi syariat. Akal dengan keterbatasannya terkadang tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan beberapa aturan syariat. Bukan berarti ketika akal belum bisa memahami syariat kemudian syariat itu keliru. Sekali lagi, ini merupakan dampak kesempurnaan Allah dan lemahnya kita sebagai makhluk-Nya.
Ahli sunah memiliki konsep yang konsisten bahwa beberapa rincian syariat ini memuat hal-hal yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Oleh karenanya, kita perlu membedakan antara hal-hal yang tidak masuk akal dengan hal-hal yang belum bisa dicerna akal. Tentu para rasul tidak membawa risalah yang tidak masuk akal, namun terkadang belum bisa dicerna akal.”[4]
Syaikhul Islam berkata, ”Akal sehat akan mencocoki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada penyelisihan sama sekali. Standar kebenaran itu ada bersama Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kebenaran dan keadilan. Tetapi, terkadang akal memiliki kelemahan dalam memahami detail-detail syariat Allah. Para rasul membawakan wahyu yang terkadang belum bisa dipahami bukan yang dipahami bahwa wahyu itu keliru. Para rasul membawakan pesan yang melampaui akal, bukan yang tidak masuk akal. Inilah jalan hidayah, sunah, dan ilmu.”[5]
Akal mengikuti wahyu dan wahyu yang diikuti akal
Konsep ini adalah kesimpulan terpenting dari lima konsep sebelumnya. Meskipun akal dan wahyu itu saling berdampingan dan selaras, dalil wahyu harus tetap diunggulkan dari akal tanpa ada keraguan. Apakah orang yang berakal akan ragu ketika sesuatu yang tidak bisa salah diunggulkan daripada yang berpeluang salah? Apakah ia akan ragu untuk menerima sesuatu yang secara absolut terjaga dari kekeliruan dan inskonsistensi? Apakah sama antara akal yang memiliki keterbatasan, memiliki banyak persanggahan, dan dapat dimasuki kesalahan dengan wahyu yang turun dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana? Jika seseorang masih mengunggulkan akal, tidak diragukan lagi bahwa sikap tersebut sudah menyelisihi akal dan wahyu.
Asy-Syathibi berkata, ”Jika wahyu dan akal bertentangan dalam suatu permasalahan, maka wajib mendahulukan wahyu dan mengesampingkan akal sehingga akal menjadi pengikut wahyu. Akal tidak dilepas begitu saja untuk berpikir, kecuali dengan batasan kerja yang ditentukan oleh wahyu.”[6]
Kesimpulannya, pondasi agama Islam adalah kepatuhan terhadap wahyu. Allah berfirman,
ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf: 3)
Adapun tujuan akal adalah untuk menjadi wasilah dalam memahami wahyu, menjadi pelayan bagi wahyu, dan tunduk patuh kepadanya. Ia tidak bisa untuk tidak butuh terhadap bimbingan wahyu dalam bekerja.
Syaikhul Islam berkata, ‘’Akal menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum. Hal ini sama seperti ilustrasi berikut, seorang awam bernama si A mengetahui seorang mufti yang memiliki kepakaran di bidang agama. Ia mengetahui mufti tersebut dari si B. Suatu ketika, terjadi perbedaan pendapat antara sang mufti dan si B. Tentu si A wajib untuk mendahulukan ucapan sang mufti. Andaikata itu terjadi lantas si B berkata, ‘Saya adalah penuntunmu sehingga kamu bisa mengetahui bahwa dia adalah mufti. Kalau kamu mendahulukan ucapan dia daripada ucapanku, berarti kamu tidak menghargaiku sebagai penuntunmu.’ Si A menjawab, ‘Justru ketika kamu mempersaksikan dan menunjukkan kepadaku bahwa dia adalah mufti, berarti kamu telah mempersaksikan kepadaku kewajiban untuk mengikuti perkataannya bukan perkataanmu. Jika aku sepakat denganmu dalam permasalahan ilmiah tertentu, bukan berarti kita harus sepakat dalam permasalahan lain. Ketika kamu bersanggah dengan mufti tersebut pada suatu masalah, bukan berarti pengetahuanmu tentang kepakaran mufti itu juga keliru. Ketika kamu berijtihad untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang harus diikuti, lantas di kemudian hari kamu bersanggah dengan mufti tersebut dengan cara berijtihad juga, maka kekeliruanmu hanya terjadi pada ijtihad yang kedua saja. Adapun ijtihadmu untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang mufti yang wajib diikuti itu tidak keliru.’
Kita paham bahwa bisa saja seorang mufti melakukan kesalahan. Akal juga mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang ma’shum (orang yang dijaga dari kekeliruan) dalam menyampaikan kabar tentang Allah. Oleh karenanya, mengunggulkan ucapan seseorang yang ma’shum di atas orang-orang yang menyelisihinya, meskipun dengan pendalilan-pendalilan logika itu lebih masuk akal daripada sekadar mendahulukan ucapan seorang mufti di atas orang-orang yang menyelisihinya.
Ketika seseorang mengetahui dan bersaksi bahwa si A merupakan ahli dalam ilmu kedokteran. Sang hakim juga mengetahui bahwa tidak ada orang selain si A yang menguasai ilmu kedokteran, atau bahkan tidak ada pakar kedokteran yang lebih ahli dari si A. Lantas, terjadi perselisihan antara saksi-saksi yang awam dengan si A. Tentu ucapan si A harus dimenangkan daripada selainnya.”[7]
Demikianlah penjelasan urgensi rambu-rambu yang terang mengenai kedudukan akal di sisi ahli sunah waljama’ah. Semoga Allah kokohkan kita di atas metode beragama mereka serta menguatkan kita di atas kegigihan mereka.
Semoga selawat dan salam tercurah kepada hamba dan juga utusan-Nya, Muhammad, serta kepada keluarga, dan seluruh sahabatnya.
***
Penulis: Syaroful Anam
Artikel asli: https://muslim.or.id/96327-kesempurnaan-islam-dalam-memuliakan-akal-5.html