Iman Kepada Qadar (Takdir) Baik dan Buruk
IMAN KEPADA QADAR (TAKDIR) BAIK DAN BURUK
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Golongan yang selamat, Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman kepada qadar yang baik maupun buruk. Iman kepada qadar meliputi iman kepada setiap nash tentang qadar serta tingkatannya. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak ketetapan Allah Azza wa Jalla.
Iman kepada qadar memiliki empat tingkatan:
Pertama: Al-‘Ilmu (Ilmu)
Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmu-Nya, yang merupakan Sifat-Nya yang azali dan abadi, Allah Mahamengetahui semua yang ada di langit dengan seluruh isinya, juga semua yang ada di bumi dengan seluruh isinya, serta apa yang ada di antara keduanya, baik secara global maupun secara rinci, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Allah Mahamengetahui tentang daun yang kering ataupun basah, biji-bijian yang tumbuh dan lainnya. Allah Mahamengetahui semua yang ghaib dan Dia Mahamengetahui segala amal perbuatan makhluk-Nya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia dan celaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Mahamengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [Al-An’aam/6: 59]
Kedua: Al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat seluruh taqdir makhluk di al-Lauhul Mahfuzh.
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah mencatat seluruh taqdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Ia menjawab: ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah taqdir segala sesuatu sampai hari Kiamat.’”[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (al-Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.” [Al-Hajj/22: 70]
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [Al-Hadiid/57: 22]
Oleh karena itu, apa yang telah ditaqdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditaqdirkan tidak mengenai manusia, maka tidak akan mengenainya, sudah kering tinta pena itu dan sudah ditutup catatan.[3]
Takdir ini mengikuti ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik secara global maupun rinci. Pertama bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat dalam al-Lauhul Mahfuzh, segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sedangkan, apabila Allah menciptakan janin ketika mencapai 4 bulan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus kepadanya seorang Malaikat yang diperintahkan untuk mencatat 4 (empat) hal, yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalnya, serta celaka atau bahagia.[4]
Kemudian, yang harus diketahui oleh setiap Muslim bahwa kita wajib mengimani qadha’ dan qadar yang baik dan buruk, manis dan pahit. Qadha’ dan qadar merupakan rahasia Allah yang tidak diketahui oleh seorang pun dari makhluk-Nya. Dan kewajiban kita adalah mengimani dan beramal sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Ketiga: Al-Masyii-ah (Kehendak)
Yaitu, bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Taala, tidak ada sesuatu yang terjadi dalam kerajaan-Nya apa yang tidak diinginkan-Nya. Mengimani masyiiah (kehendak) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terlaksana dan qudrah (kekuasaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi segala sesuatu.
Tentang hal ini terdapat untaian sya’ir Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
مَا شِئْتَ كَانَ وَإِنْ لَمْ أَشَأْ وَمَا شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ.
خَلَقْتَ الْعِبَادَ عَلَى مَا عَلِمْتَ فَفِي الْعِلْمِ يَجْرِي الْفَتَى وَالْمُسِنْ.
عَلَى ذَا مَنَنْتَ وَهَذَا خَذَلْتَ وَهَذاَ أَعَنْتَ وَذَا لَمْ تُعِنْ.
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَمِنْهُمْ سَعِيْدٌ وَمِنْهُمْ قَبِيْحٌ وَمِنْهُمْ حَسَنٌ.
Apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi,
kendati aku tidak menghendakinya.
Sedang apa yang aku kehendaki,
jika tidak Engkau kehendaki pastilah tidak terjadi.
Telah Engkau ciptakan hamba-hamba,
sesuai dengan apa yang Engkau ketahui.
Di dalam ilmu berlangsung kehidupan,
orang muda dan orang tua.
Kepada ini, Engkau anugerahkan,
dan ini, Engkau terlantarkan.
Ini, Engkau tolong,
dan ini, tidak Engkau tolong.
Di antara mereka ada celaka,
dan di antara mereka ada bahagia.
Di antara mereka ada yang buruk,
dan di antara mereka ada pula yang baik.[5]
Allah adalah Mahaadil dan Mahabijaksana, Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia menahan dari siapa pun yang Dia kehendaki, Allah memberi kekuasaan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Allah al-‘Aliim al-Hakiim al-Qadiir berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: ‘Wahai Rabb Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki atas siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [Ali ‘Imran/3: 26-27]
Allah al-Haadi berfirman:
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” [Yunus/10: 25]
Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah tidak pernah berbuat zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ ۗ مَن يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” [Al-An’aam/6: 39][6]
Dalil dari As-Sunnah:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: يَا عِبَادِي إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً فَلاَ تَظَالَمُوْا
Dari Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah تَبَارَكَ وَتَعَالَى, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap Diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi…”[7]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْراً لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ…
“Jika seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, maka Allah tidak berbuat zhalim dengan menyiksa mereka. Jika seandainya Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu benar-benar lebih baik bagi mereka dari amal perbuatannya…”[8]
Keempat: Al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu, bahwa Allah Maha Pencipta atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada satu makhluk pun di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tidak ada ilah melainkan hanya Allah saja.
Sebagaimana firman-Nya:
لَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [Az-Zumar/39: 62]
Meskipun segala sesuatu yang ada telah Allah taqdirkan, akan tetapi Allah tetap memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada-Nya, serta taat kepada Rasul-Nya, serta melarang mereka durhaka kepada-Nya. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, berbuat baik, berlaku adil, dan meridhai orang-orang yang beriman lagi beramal shalih. Akan tetapi Allah tidak mencintai orang-orang kafir, tidak meridhai orang-orang fasiq, Allah tidak memerintahkan untuk berbuat keji, tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan.
Manusialah yang benar-benar melakukan suatu perbuatan, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” [Ash-Shaaffaat/37: 96]
Manusia dan jin ada yang Mukmin, ada yang kafir, ada yang taat, ada yang maksiat, ada yang shalat, ada pula yang tidak shalat, ada yang bersyukur, dan ada juga yang tidak.
Manusia mempunyai kekuasaan atas perbuatan mereka, serta mereka pun mempunyai keinginan. Tetapi Allah-lah yang menciptakan mereka serta menciptakan kekuasaan (kemampuan) dan keinginan mereka itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir/81: 28-29]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”[Al-Insaan/76: 30]
Tingkatan-tingkatan qadar ini diingkari oleh seluruh golongan Qadariyyah, yang mereka disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Majusi ummat ini.[9]
Qadariyyah dikatakan sebagai Majusinya ummat ini, karena keyakinan dan pendapat mereka menyerupai agama Majusi tentang adanya dua sumber, yaitu cahaya dan kegelapan. Mereka menyangka bahwa kebaikan berasal dari perbuatan cahaya sedangkan kejelekan berasal dari kegelapan. Begitu pula Qadariyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah dan menyandarkan kejelekan kepada manusia dan syaithan. Padahal Allah menciptakan keduanya secara bersamaan. Tidak akan terjadi sesuatu dari keduanya melainkan dengan kehendak Allah, keduanya disandarkan kepada-Nya tentang penciptaan dan kejadiannya. Dan disandarkan kepada orang yang melakukannya sebagai perbuatan dan usaha manusia.[10]
Ada juga sebagian golongan yang berlebih-lebihan dalam masalah qadar ini, sampai-sampai mereka tidak mengakui adanya kekuasaan dan kebebasan dalam diri manusia, serta mereka menolak adanya hikmah serta maslahat dalam perbuatan dan ketentuan (hukum) Allah Subhanahu wa Ta’ala.[11]
Iraadah (keinginan) dan amr (perintah) yang tercantum di dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah ada dua macam:
- Iraadah Kauniyyah Qadariyyah[12] yang pengertiannya sama dengan masyii-ah, dan amr kauniy qadariy.[13]
- Iraadah Syar’iyyah[14] yang berarti taqdir yang di-sukai dan dicintai oleh Allah dan amr syar’i.[15]
Ahlus Sunnah menetapkan bahwa makhluk, dengan segala tingkah lakunya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla. Hanya Dia-lah Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan tingkah laku dan perbuatan mereka. Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya itu mengikuti keinginan dan kehendak al-Khaliq. Ahlus Sunnah menetapkan bahwa segala yang diperbuat Allah ada hikmahnya dan segala usaha akan membawa hasil atas kehendak Allah Azza wa Jalla.
Berdalih dengan taqdir boleh dilakukan terhadap musibah dan cobaan, namun tidak boleh sekali-kali berdalih dengan taqdir atas perbuatan dosa dan kesalahan. Orang-orang yang berbuat dosa dan maksiat harus bertaubat dari perbuatan mereka yang tercela.
Bersandar kepada usaha saja adalah termasuk syirik dalam tauhid, sedangkan meninggalkan usaha sama sekali berarti menolak ajaran agama. Pendapat yang menyatakan bahwa usaha tidak ada pengaruh dan hasilnya, merupakan pendapat yang bertentangan dengan ajaran agama dan akal. Sebab tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berarti meninggalkan usaha.[16]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Taqdir adalah rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh hamba-Nya. Tidak dapat diselidiki baik oleh Malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri untuk menyelidiki hal itu adalah jalan menuju ke-hinaan, terhalangnya (ilmu) dan membawa kepada sikap melewati batas dan penyelewengan. Waspada dan berhati-hatilah terhadap seluruh pendapat, pemikiran dan bisikan-bisikan (yang jelek) tentang takdir tersebut. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menutup ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui oleh makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana firman-Nya:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, dan mereka-lah yang akan ditanyai.” [Al-Anbiyaa/21′: 23]
Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah melakukannya? Kenapa Dia berbuat begini dan begitu?” Maka sungguh, ia telah menolak hukum dari Al-Qur-an. Dan barangsiapa yang menolak hukum Al-Qur-an, maka ia termasuk orang kafir[17].
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
______
Footnote
[1] HR. Muslim (no. 2653 (16)) dan at-Tirmidzi (no. 2156), Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma. Lafazh ini milik Muslim.
[2] HR. Abu Dawud (no. 4700), Shahiih Abi Dawud (no. 3933), at-Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (no. 180), Ahmad (V/317), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 577), dari Sahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, hadits ini shahih.
[3] Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/293), at-Tirmidzi (no. 2516). Lihat pula Jaami’ul Uluum wal Hikam Syarah Arbain an-Nawawy oleh Ibnu Rajab (hadits no. 19).
[4] HR. Al-Bukhari (no. 3208, 3332, 6594, 7454) dan Muslim (no. 2643), dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
[5] Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/434) oleh Dr. Muham-mad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil. Diiwan Imaam asy-Syafi’i (no. 215, hal. 397) syarah Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.
[6] Lihat juga QS. Al-An’aam/6: 125 dan at-Taghaabun/64: 2.
[7] H.R. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 490), Shahiihul Adabil Mufrad (no. 377), Muslim (no. 2577), Ahmad (V/160), al-Hakim (IV/241), al-Baihaqi (VI/ 93), Ibnu Hibban (II/82 no. 618), at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban.
[8] HR. Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77), Ahmad (V/185). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3932), dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu.
[9] Qadariyah adalah Majusi ummat ini, bila mereka sakit jangan dijenguk, jika mati jangan diiringi jenazahnya. Diriwayatkan oleh Ahmad (II/86), Abu Dawud (no. 4691), Ibnu Abi Ashim (no. 338), al-Hakim (I/85), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (II/801 no. 381) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Syaikh al-Albany menghasankan hadits ini. Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3925).
[10] An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (IV/299) oleh Ibnul Atsir.
[11] Mereka adalah Jabariyah, berasal dari kata Jabr (terpaksa), yaitu semua dipaksa dan tidak ada kekuasaan dan kebebasan di dalam dirinya. Lihat Maqaalatul Islaamiyyiin (I/338), Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 186) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[12] Iraadah Kauniyyah Qadariyah adalah kehendak yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam semesta
[13] Amr Kauni Qadari yaitu perintah yang berkenaan dengan takdir Allah terhadap alam semesta. Contohnya, firman Allah dalam surat Yaasiin/36: 82.
[14] Iradah Syar’iyyah adalah kehendak yang berkenaan dengan syariat atau apa yang dicintai Allah dalam agama.
[15] Amr syar’i yaitu perintah yang berhubungan dengan syari’at, seperti perintah tentang shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya.
[16] Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 21-22).
[17] Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 249), takhrij Syaikh al-Albani dan (hal. 320) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/29084-iman-kepada-qadar-takdir-baik-dan-buruk.html