Beranda | Artikel
Penutup
Sabtu, 8 Agustus 2020

WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM

PENUTUP

Setelah kita membaca uraian di atas, ada beberapa kesimpulan dan pelajaran penting yang bisa kita petik, di antaranya:

  • Cinta membutuhkan pengorbanan. Perjalanan haji, perjalanan dakwah atau menuntut ilmu tentu banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Seseorang yang mencintai Allah, dia akan menikmati segala kesulitan tersebut dan akan terasa ringan baginya.
  • Kemuliaan nasab bertalian dengan keimanan. Siapa yang memperoleh kemuliaan nasab dan memiliki keimanan kepada Allah berarti dia telah memperoleh dua kebaikan yang agung. Sebaliknya siapa saja yang belum mendapat taufik untuk beriman kepada Allah dan RasulNya, maka kemuliaan nasab semata-mata tidak bermanfaat sama sekali baginya.
  • Kemuliaan nasab sama sekali tidak meninggikan derajat mukmin di sisi Allah bila tanpa disertai amal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasab tidak dapat mempercepatnya.”[1]

An-Nawawi rahimahullah berkata,”Siapa saja yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang-orang yang gemar beramal (walaupun memiliki nasab yang mulia). Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan kemuliaan nenek moyang sehingga menyebabkan dirinya malas beramal shalih.”[2]

  • Tidak ada jaminan bagi Ahlu Bait untuk mendapatkan syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya,“Wahai Bani Abdi Manaf! Tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Bani Abdil Muthalib! Tebuslah diri-diri kalian dari Allah! Wahai Ummu Zubair bin Awwam bibi Rasulullah! Wahai Fathimah binti Muhammad! Tebuslah diri kalian dari Allah! Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian!” [3]
  • Sikap Sahabat yang tadinya membenci Ali dapat berbalik seratus delapan puluh derajat, dengan izin Allah, ia menjadi sangat mencintai Ali. Kita tidak boleh berputus asa, jika ada seseorang yang membenci kita, tidak mau berbicara kepada kita, sikapilah dengan positif. Boleh jadi hal itu merupakan teguran dari Allah dikarenakan dosa-dosa kita. Perbanyaklah istighfar, kita terus memperbaiki diri dan bertakwa kepada Allah, upayakan mengadakan ishlâh (perbaikan), semoga Allah menjadikan orang yang membenci kita berbalik dan mencintai kita karena Allah.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil mendidik para Sahabat dengan sebaik-baiknya. Namun musuh-musuh Islam berusaha terus untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Mereka berusaha untuk memecah belah umat dari dalam. Kaum munafik tidak tinggal diam, maka bermunculanlah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam tapi tidak mengikuti metode Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
  • Kita belajar bagaimana kita sepatutnya meminta klarifikasi jika ada hal yang dapat menimbulkan persangkaan buruk kepada seseorang. Kita belajar untuk menjadi pribadi yang rendah hati, tidak sombong. Janganlah kita gengsi untuk mengakui kesalahan, janganlah berat untuk menerima kebenaran.
  • Kita belajar untuk menjadi pribadi yang bijaksana. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menginginkan umatnya bermusuhan, dan beliau pandai dalam memenej konflik di antara para Shahabatnya. Rutinlah berdoa memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kita agar ucapan-ucapan dan tulisan kita melembutkan hati kaum muslimin dan mempersatukan kaum muslimin di atas kebenaran dan petunjukNya.
  • Kita belajar bagaimana harus toleran dalam perbedaan yang tidak prinsip. Tapi kita tidak boleh toleran dalam perbedaan yang prinsip. Perbedaan dengan Syiah Rafidhah di antaranya dalam menyikapi hadits Ghadir Khum bukanlah perbedaan ijtihadiyah yang kita harus toleran. Ini merupakan perbedaan yang prinsip, karena konsekuensi dari perbedaan ini kelompok Syiah Rafidhah menuduh para Sahabat Radhiyallahu anhum telah berkhianat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak menepati wasiat beliau. Jelas ini merupakan tuduhan keji dan merupakan penyimpangan secara prinsip serta sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam.
  • Penting sekali bagi kita memahami Islam dengan metodologi yang benar. Kita harus memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kalian (para Sahabat) imani, sungguh, mereka telah mendapat hidayah. Tapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan pertolonganNya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Surat Al-Baqarah: 137)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (para Sahabat), Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Surat An-Nisâ:115)

Sesungguhnya daya rusak karena kesalahan metodologi dalam memahami dan mengamalkan Islam lebih dahsyat dari bom Hiroshima dan Nagasaki. Kerusakan infrastruktur akibat bom bisa cepat diperbaiki kembali, tapi kerusakan akibat kesalahan metodologi dalam memahami dan mengamalkan Islam akan diturunkan kepada anak cucu bergenerasi sehingga mengakar dan tidak mudah untuk diperbaiki.

  • Kita sangat menginginkan persatuan, tapi persatuan di atas landasan yang benar, diantaranya persatuan dengan menghormati dan memuliakan para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٩﴾ وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir kaum Muhajirin yang terusir dari kampung halaman mereka dan meninggalkan harta benda mereka demi mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya dan (demi) menolong (agama) Allah dan RasulNya. Mereka (kaum Muhajirin) itulah orang-orang Ash Shaadiquun (orang-orang yang benar).

Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan (hasad) dalam hati mereka (kaum Anshar) terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka (kaum Anshar) juga memerlukan (kekurangan). Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka (kaum Anshar dan selainnya yang memiliki sifat seperti kaum Anshar) itulah orang-orang Al Muflihuun (orang-orang yang beruntung).  

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun Maha Penyayang.” (Surat Al-Hasyr: 8-10)

Hendaknya kita semua terus menerus berdoa memohon kepada Allah dari lubuk hati yang paling dalam agar Allah memberi hidayah kepada kita. Kita berdoa kepada Allah agar membersihkan hati kita dari segala penyakit hati.

اللهم رَبَّ جِبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَالسَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَاكَانُوافِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَااخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَن تَشَاءُإِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allah, Rabb Malaikat Jibrl, Mikail dan Israfil, Pencipta seluruh langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang nyata, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hambaMu tentang segala apa yang mereka perselisihkan, berilah aku hidayah dari apa-apa yang diperselisihkan berupa kebenaran dengan izinMu. Sesungguhnya Engkau memberi hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus. 

رَبِّ أَعِنِّي وَلَاتُعِنْ عَلَيَّ، وَانْصُرْنِي وَلَاتَنْصُرْعَلَيَّ، وَامْكُرْلِي وَلَاتَمْكُرْعَلَيَّ، وَاهْدِنِي وَيَسِّرْلِي الْهُدَى، وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيَّ، رَبِّ اجْعَلْنِي لَكَ شَكَّارًا، لَكَ ذَكَّارًا، لَكَ رَهَّابًا، لَكَ مِطْوَاعًا، لَكَ مُـخْبِتًا، إِلَيْكَ أَوَّاهًامُنِيبًا، رَبّ تَقَبَّلْ تَوْبَتِي، وَاغْسِل حَوْبَتِي، وَأَجِبْ دَعْوَتِي،وثَبِّتْ حُجَّتِي، وَسَدِّدْلِسَانِي، وَاهْدِقَلْبِي، وَاسْلُلْ سَخِيمَةَ صَدْرِي

Rabbku, bantulah aku dan jangan Engkau bantu orang yang akan mencelakakanku. Tolonglah aku dan jangan Engkau tolong orang yang akan mencelakakanku. Gerakkanlah orang lain untuk keselamatanku dan jangangerakkan orang lain untuk mencelakakanku. Berilah aku hidayah, dan mudahkanlah hidayah untukku. Tolonglah aku atas orang yang menzalimiku. Rabbku, jadikanlah aku hamba yang selalu bersyukur kepadaMu, senantiasa berdzikir kepadaMu, sangat takut kepada (adzab) Mu, taat, khusyu, patuh, suka berdoa dan bertaubat kepadaMu. Rabbku, terimalah taubatku, bersihkan dosa-dosaku, perkenankanlah untaian doaku, kuatkanlah hujjahku, berilah hatiku hidayah, luruskanlah lisanku (atau tulisanku) serta hilangkanlah kejelekan hatiku.  

Masih banyak lagi dari sejarah Islam yang belum kita ketahui, atau masih banyak dari sejarah Islam yang perlu kita teliti dan telaah kembali. Kita belajar untuk selalu bertanya dan mencari ilmu agar kita tidak salah dalam berkata atau bertindak.

اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَاعَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَايَنْفَعُنِي، وَزِدْنِيعِلْمًا

Ya Allah, berilah manfaat untukku dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku ilmu yang bermanfaat untukku dan tambahkanlah untukku ilmu.

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًانَافِعًاوَرِزْقًاطَيِّبًاوَعَمَلًامُتَقَبَّلًا

Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal (shalih) yang diterima.

اللهم إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَايَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَايَخْشَعُ، وَمِن نَفْسٍ لَاتَشْبَعُ، وَمِنْدُعَاءٍلَايُسْمَعُ

Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu, dari hawa nafsu yang tidak merasa puas, dan dari doa yang tidak didengar.

سُبْحَانَكَ لَاعِلْمَ لَنَاإِلَّامَاعَلَّمْتَنَاإِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu untuk kami kecuali yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahuilagi Maha Bijaksana.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِعَمَّايَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Bidâyah wan Nihâyah, Abul Fida Ismail bin Katsir, Tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Dar Hajr, Cet. Ke-1, 1418 H/1997 M.
  2. Al-I’tiqâd wal Hidâyah ilâ Sabîlilr Rasyâd, Abu Bakr Al-Baihaqi, Tahqiq: Ahmad ‘Isham Al-Katib, Darul Afaq Al-Jadidah – Beirut, Cet. Ke-1, 1401 H.
  3. Al-Murtadha (Siratu Amîril Mukminîn Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu), Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, Darul Qalam, Damaskus-Suriah, Cet. Ke-3, 1433 H/2012 M.
  4. Al-Lu’lu Al-Maknûn fi Sirah An-Nabiyy Al-Ma’mûn, Musa bin Rasyid Al-Azimi, Dar Ash Shumai’i, Riyadh-KSA, Cet. Ke-3, 1439 H/2018 M.
  5. Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Amîrul Mukminîn wa Rabî’ul Khulafâ-ir Râsyidîn, Abdus Sattar Asy-Syaikh, Darul Qalam, Damaskus – Suriah, Cet. Ke-1, 1437 H/2016 M.
  6. Hadîtsul Ghadîr, Abdul Wahhab Ath-Thariri.
  7. ‘Ashru Al-Khilâfah Ar-Râsyidah, DR. Akram Dhiya Al-Umari, Al-Ubaikan, Riyadh-KSA, Cet. Ke-5, 1427 H/2006 M.
  8. Dalâ-ilun Nubuwah wa Ma’rifatu Ahwâli Shâhibisy Syarî’’ah, Abu Bakr Al-Baihaqi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah – Beirut, Cet. Ke-1, 1405 H.
  9. Mu’jamul Buldân, Syihabuddin Al-Humawi, Darush Shadr – Beirut, Cet. Ke-2, 1995 M.
  10. Mukhtashar Minhâjus Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Peringkas: Abdullah bin Muhammad Al Ghunaiman, Dar Ash-Shiddiq, Shan’a – Yaman, Cety.Ke-8, 1426 H/2005 M.
  11. Sirah Abi Turâb, Musa bin Rasyid Al-Azimi, Dar Ash-Shumai’i, Riyadh-KSA, Cet. Ke-1, 1441 H/2020 M.
  12. Percikan Hikmah dari Kisah Tabi’in (Pembelaan Terhadap Ahlu Bait), Fariq Gasim Anuz, Pustaka Imam Syafi’I – Jakarta, Cet. Ke-1, Rajab 1436 H/Mei 2015 M.
  13. Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif – Riyadh, Cet. Ke-1, 1415 h/1995 M.
  14. Syarhu Shahîh Muslim, Abu Zakaria An-Nawawi, Dar Ihayaut Turats – Beirut, Cet. Ke-2, 1392 H.
  15. Tafsîr Al-Manâr, Muhamad Rasyid Ridha, Al-Haiah Al-Mishriyyah Al-‘Ammah lil Kutub, 1990 M.

[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
_____
Footnote
[1] HR. Muslim No. 2699.
[2] Syarhu Shahîh Muslim(17/22-23).
[3] HR. Al-Bukhari No. 2753.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/20100-penutup-2.html