Orang yang Disyariatkan Berkurban
AL-UDH-HIYAH (KURBAN)
Pembahasan Ketujuh
Orang yang Disyari’atkan Berkurban
Pada asalnya kurban itu disyari’atkan untuk orang yang masih hidup, berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri dan keluarganya.
Adapun perbuatan sebagian orang yang mendahulukan kurban untuk mayit atas diri dan keluarganya sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tidak mempunyai dasar menurut apa yang kami ketahui. Namun, seandainya ia berkurban untuk diri dan keluarganya lalu memasukkan orang-orang yang telah meninggal dunia bersama mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah darinya, maka hal itu tidak mengapa dan ia mendapat pahala, insya Allah.
Adapun kurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang merupakan wasiat (orang yang mati) kepadanya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum berkurban untuk dirinya sendiri, karena ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat tersebut.
Pembahasan Kedelapan
Berserikat dalam Kurban
Seekor kambing tidak bisa untuk dua orang atau lebih yang keduanya membeli dan menyembelih kurban tersebut, karena hal itu tidak terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagaimana tidak bolehnya berserikat lebih dari tujuh orang dalam satu unta atau satu sapi, karena iba-dah itu tauqifiyah (semata bersandar kepada wahyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang atau kurang dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tidak pada permasalahan pahalanya, karena tidak ada batasan jumlah berserikat dalam pahalanya, karena keutamaan Allah itu sangat luas sekali.
Di sini wajib diingatkan akan kesalahan yang dianggap remeh oleh sebagian orang yang memiliki tanggung jawab melaksanakan wasiat, di mana ia mengumpulkan wasiat-wasiat lebih dari satu kerabatnya dalam satu kurban untuk semua. Ini tidak dibolehkan. Namun, jika yang berwasiat adalah seorang yang berwasiat dengan beberapa kurban lalu ia kumpulkan dalam satu kurban, maka hal itu tidak mengapa, insya Allah.
Pembahasan Kesembilan
Bershadaqah dengan Nilainya
Penyembelihan kurban termasuk salah satu syi’ar agama Islam yang jelas, oleh karena itu menyembelih lebih utama dari bershadaqah senilainya, dengan dasar sebagai berikut:
- Penyembelihan kurban adalah amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabat beliau dan orang-orang setelah mereka dari para Salaf umat ini.
- Penyembelihan termasuk syi’ar Allah, seandainya manusia berpaling darinya kepada shadaqah senilai kurban tersebut, tentulah syi’ar penyembelihan kurban ini akan hilang.
- Penyembelihan kurban adalah ibadah yang tampak sedangkan shadaqah dengan senilainya dimasukkan dalam ibadah yang tidak tampak.
- Seandainya bershadaqah senilainya sama dengan nilai penyembelihan kurban atau lebih baik, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dengan ucapan atau perbuatan, karena beliau tidak pernah meninggalkan satu kebaikan kecuali beliau telah menunjukkannya dan tidak pula satu kejelekan pun melainkan beliau telah memperingatkan darinya.
- Sudah dimaklumi bahwa shadaqah dengan nilai kurban tersebut lebih mudah dan lebih gampang dari menyembelihnya karena adanya kesulitan yang telah diketahui oleh orang yang menemani penyembelihan dan mendahuluinya pada banyak Seandainya bershadaqah dengan harga kurban tersebut lebih utama atau sama, pasti Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, sebab beliau adalah orang yang sangat menyayangi umatnya dan sangat pengasih terhadap mereka. Beliau adalah orang yang selalu memilih perkara yang paling mudah dan ringan untuk umatnya. Dengan demikian, diketahui secara pasti bahwa penyembelihan adalah lebih utama. Wallahu a’lam.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Al-Udh-hiyah (kurban), ‘Aqiqah dan al-Hadyu lebih utama dari shadaqah senilainya. Jika ia memiliki harta untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, maka hendaklah ia berkurban, dan memakan dari sebagian kurbannya lebih utama dari bershadaqah dan al-Hadyu di Makkah lebih baik dari bershadaqah senilainya.[1]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Penyembelihan di tempatnya lebih utama dari shadaqah dengan senilainya.” beliau melanjutkan perkataannya, “Oleh karenanya, seandainya ia bershadaqah dengan nilai yang berlipat ganda sebagai ganti sembelihan haji Tamattu’ (Dam al-Mut’ah) dan sembelihan haji Qiran (Dam al-Qiran), maka ia tidak dapat menggantikannya. Demikian juga kurban.”[2]
[Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
[1] Majmuu’ al-Fataawaa (XXVI/304).
[2] Ahkaamul Udh-hiyah waz Zakaah, hal 14.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/18725-orang-yang-disyariatkan-berkurban-2.html