Indahnya Tawakkal
INDAHNYA TAWAKKAL
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Tawakal itu indah. Dengan bertawakkal, beban hidup seberat apapun akan terasa lebih ringan. Orang yang bertawakal, hidupnya akan terasa tanpa beban yang berlebihan. Sebab, ia dapat merasakan beban serta kerepotan-kerepotan hidupnya sebagai sesuatu yang dapat dinikmati.
Namun, mungkinkah seseorang bisa bertawakkal apabila ia tidak mengimani bahwa beban dan kerepotan-kerepotan hidupnya adalah takdir dari Allâh Azza wa Jalla ?
Inilah persoalannya. Tawakkal lebih mudah untuk diucapkan dengan lidah daripada dipraktikkan. Sebagaimana keimanan kepada takdir, juga lebih mudah dinalar dan dimengerti dengan akal daripada dipraktikan di lapangan pada saat mendapat ujian.
Karena itu, perlu pembinaan tawakkal secara baik, benar dan terus menerus, sebagaimana perlu pembinaan keimanan kepada takdir secara baik, benar dan terus menerus pula sesuai dengan pemahaman dan pengamalan para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Pembinaan ini, bi Taufîqillâah, tentu akan lebih bagus dan lebih mengakar bila dilakukan semenjak seseorang masih berusia dini, terus berlanjut hingga seseorang menemui ajalnya.
Namun Seberapa Perlu Dan Pentingkah Tawakkal Itu?
Untuk menjawab persoalan ini, maka ada baiknya dikaji kembali hakikat tawakkal meskipun secara garis besar.
Para Ulama banyak menjelaskan arti tawakkal dengan istilah yang berbeda-beda, intinya tawakal adalah aktifitas hati. Hati yang sepenuhnya bersandar dan bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tawakal ini tidaklah berarti menghilangkan usaha[1]. Bahkan usaha merupakan bagian tak terpisahkan dari tawakal
Setelah memaparkan banyak pernyataan Ulama tentang makna tawakkal yang pada intinya berkisar pada sikap bergantungnya hati kepada Allâh secara total, maka Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menyimpulkan bahwa pada hakikatnya tawakkal merupakan suatu keadaan (hati) yang berisi sejumlah unsur dimana hakikat tawakkal itu tidak akan ada kecuali bila semua unsur itu ada. Masing-masing unsur saling memberi isyarat pada adanya satu atau beberapa unsur lainnya.
Unsur paling pertama adalah memahami Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya. Memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla Maha Kuasa, Maha mencukupi dan Maha Qoyyûm (Maha Tegak dan Maha menegakkan yang selainNya). Juga memahami bahwa semua perkara pasti berujung pada ilmu Allâh. Semua peristiwa yang terjadi berasal dari kehendak dan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla . Jika seseorang sudah memahami hal ini, berarti ia sudah menapakkan kakinya pada tangga pertama menuju kedudukan tawakkal[2].
Artinya, bagaimana seseorang bisa bertawakal apabila ia tidak meyakini bahwa Allâh Maha Mengetahui detail-detail dari segala peristiwa, baik yang terjadi di alam atas maupun yang terjadi di alam bumi ini? Bagaimana mungkin seseorang bisa bertawakkal bila ia tidak meyakini bahwa Allâh Maha berbuat menurut pilihan dan kehendak-Nya? Dengan demikian, semakin seseorang memahami Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya, maka ia akan semakin kuat dan semakin benar tawakalnya[3].
Lebih lanjut, Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menyimpulkan bahwa tawakal merupakan sebab terbesar bagi tercapainya suatu maksud. Maka barangsiapa yang mengingkari sebab, tawakkalnya tidak akan lurus. Akan tetapi di antara bentuk sempurnanya tawakkal seseorang yaitu ia tidak bersandar pada sebab, ia harus memutuskan ketergantungan hatinya pada sebab. Kondisi hati harus tetap bergantung pada Allâh Azza wa Jalla , tidak boleh bergantung pada sebab. Sementara fisik tetap terus melakukan sebab (upaya).
Upaya melakukan sebab, merupakan hal yang berkaitan dengan kebijakan Allâh Azza wa Jalla , perintah dan larangan-Nya. Sedangkan sikap bertawakal, adalah perkara yang terkaitan dengan keyakinan terhadap Rubûbiyah, Qadha’ dan Qadar (takdir) Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ibadah yang berbentuk upaya (melakukan sebab) tidak mungkin bisa tegak kecuali bila berdiri pada pilar tawakkal, sedangkan pilar tawakkal tidak mungkin bisa tegak bila tidak berpijak pada alas peribadatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala[4]
Demikianlah, yang jelas kedudukan tawakkal amatlah sangat penting. Beberapa di antaran alasannya, di samping alasan di atas, adalah :
- Tawakkal merupakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan merupakan tanda keimanan seorang hamba. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allâh jika kamu benar-benar beriman. [Al-Mâˈidah/5:23]
Juga firman-Nya :
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Dan hendaklah bertawakal hanya kepada Allâh saja orang-orang yang beriman. [Ibrâhîm/14:11]
- Tawakal juga merupakan perintah Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Subhanahu wa Ta’ala antara lain berfirman memerintahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۖ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ
Maka bertawakallah engkau (Hai Muhammad), karena sesungguhnya engkau berada pada kebenaran yang nyata. [An-Naml/27:79]
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ
Dan bertawakallah engkau (Hai Muhammad) kepada Allâh Yang Maha Hidup, yang tidak pernah akan mati selama-lamanya, dan bertasbihlah dengan memujiNya. [Al-Furqân/25:58]
- Tawakkal merupakan sifat para nabi dan rasul. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman antara lain :
وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا
Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allâh padahal Dia telah memberi petunjuk kepada kami tentang jalan kami. [Ibrâhîm/14:12]
- Tawakkal juga merupakan sifat dan pola hidup para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum dan orang-orang yang beriman. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Yaitu orang-orang (para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum)yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah menghimpun pasukan untuk menyerang kamu, maka takutlah kamu kepada mereka”. Tetapi perkataan ini justeru menambahkan (kuatnya) keimanan para sahabat Nabi dan mereka menjawab: “Cukuplah Allâh menjadi Penolong kami dan Allâh adalah sebaik-baik Pelindung”. [Âli ‘Imrân/3:173]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang apabila disebut nama Allâh, maka hati-hati mereka akan tergetar ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, maka ayat-ayat itu akan menambah keimanan mereka dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya. [Al-Anfâl/8:2].
- Tawakkal membawa pelakunya serba kecukupan dan masuk surga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupi (segla kebutuhan)nya. [Ath-Thalâq/65:3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para Sahabatnya tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk sorga tanpa hisab :
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak bertathayyur (takhayul dan khurafat),tidak melakukan pengobatan dengan cara kay, dan mereka bertawakal kepada Rabbnya. [HR. Bukhari, Muslim dan lainnya][5].
Itulah beberapa alasan, mengapa tawakal itu penting dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Jika setiap muslim mampu bertawakkal dengan benar, maka kehidupannya akan demikian indah, meskipun sering diwarnai oleh ujian, cobaan dan tantangan. Siapa pula orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya sukses dengan tawakalnya. Sukses dunia dan akhirat.
Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Hasil rangkuman pemaparan Imam Ibnu al-Qayyim terhadap perkataan para ulama terkait ma’na tawakal. Lihat Madârij as-Sâlikîn Imam Ibnu al-Qayyim, Dâr Ihyâˈi at-Turâts al-‘Arabi, cet. II, th. 1421 H/2001 M, II/88
[2] Sama dengan referensi di atas II/90
[3] Ibid. Dengan bahasa bebas
[4] Ibid. Dengan bahasa bebas II/91
[5] Shahîh al-Bukhâri (Fathu al-Bâri), X/155, no. 5705 danShahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Kalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. III/86 no. 524
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14687-indahnya-tawakal-2.html