Bagaimana Ulama Berijtihad
BAGAIMANA ULAMA BERIJTIHAD
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
Allah Azza wa Jalla telah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Rasul dan agama Islam sebagai penutup seluruh syari’at dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [al-Ahzâb/33:40]
Bukan hanya sekedar sebagai penutup, akan tetapi Islam juga menjadi standar kebenaran bagi seluruh syari’at terdahulu. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian atas kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenarang yang telah datang kepadamu.” [al-Mâidah/5:48]
Ini salah satu hikmah dijadikannya Islam sebagai agama yang wajib untuk diamalkan oleh seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat Yang jiwa (Nabi) Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorangpun dari umat ini, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati sedangkan ia belum beriman dengan agama aku bawa (yaitu agama Islam), melainkan ia akan menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim no 218])
Islam adalah satu-satunya syari’at yang wajib diamalkan dan yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Islam adalah agama yang cocok untuk diamalkan di setiap zaman, negeri dan tatanan masyarakat. Karena dalam syari’at Islam dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan umat manusia, baik urusan agama ataupun dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan telah Kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur’ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. [an-Nahl/16:89]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu, sampai tatacara buang air kecil dan besar. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk merekayasa suatu metode atau ajaran dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla atau memakmurkan bumi yang kita huni ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِي اللّه عَنْهُ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وما طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ في الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (ما بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah mengajarkan ilmu tentangnya kepada kami. Selanjutnya Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah tersisa sesuatupun yang dapat mendekatkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepadamu.” [HR at-Thabrâni dan dihasankan oleh al-Albâni]
Fakta ilmiyah ini berlaku dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Untuk sedikit memberikan gambaran kaitan syari’at Islam dalam berbagai masalah kontemporer; berikut disampaikan metodologi Ulama’ ahli ijtihad dalam melakukan studi kasus masalah-masalah tersebut.
1. Tidak gegabah dalam berfikir dan menyimpulkan.
Biasanya, bila Ulama’ ahli ijtihad dihadapkan kepada suatu masalah yang belum pernah terjadi, mereka bersikap ekstra hati-hati. Bahkan, pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan jawaban atas masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama’ ahli ijtihad lainnya:
Abu Hushain Utsman bin ‘Ashim Al-Asady rahimahullah berkata: “Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthâb Radhiyallahu anhu, niscaya ia segera mengumpulkan para pemuka sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk berdiskusi.”[1]
Demikianlah tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai masalah kontemporer. Mereka mengumpulkan Ulama’ alhi ijtihad dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berdiskusi dan bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat umum: “Barang siapa yang memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya segera menyampaikannya”.
Dikisahkan, ada seorang wanita datang kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu anhu , yang menceritakan bahwa suaminya mati dibunuh orang lain. Ia meminta agar ia mendapatkan bagian warisan dari diyat (tebusan) suaminya itu. Khalîfah Umar Radhiyallahu anhu berkata: “Aku tidak mengetahui apakah engkau juga berhak mendapatkan bagian darinya?” Lalu beliau Radhiyallahu anhu membuat pengumuman: “Barang siapa yang mengetahui ilmu dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini, hendaknya datang menemuiku.” Maka datanglah ad-Dhahak bin Sufyân Al-Kilâbi, yang berkata: “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruhku untuk memberikan bagian warisan istri Asyyam Ad-Dhababi dari diyat suaminya.” Mendapatkan masukan ini, maka Khalifah Umar Radhiyallahu anhu segera memberikan bagian warisan wanita tersebut dari diyat suaminya. [HR. at-Thabrâni, al-Baihaqi dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]
Inilah metode pertama yang harus ditempuh oleh setiap orang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer.
2. Menguasai hukum syari’at.
Keahlian pertama dan utama yang harus dimiliki seseorang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer ialah penguasaan terhadap ilmu syari’at. Berbagai disiplin ilmu syari’at terkait, baik ilmu bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits dan lainnya benar-benar harus terlebih dahulu dikuasai. Apalah gunanya seseorang merenung dan berfikir tentang suatu kasus kontemporer, bila ia tidak menguasai ilmu agama. Orang itu hanya akan menyengsarakan dirinya dan juga menyesatkan saudaranya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ ﴿١١٦﴾ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lisanmu secara dusta”ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, itu adalah kesenangan sedikit; sedangkan bagi mereka azab yang pedih.” [an-Nahl/16:116-117]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً، فَسُئِلُواْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari para hamba-Nya, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para Ulama’. Hingga pada saatnya nanti, Allah tidak lagi menyisakan seorang Ulama’-pun, sehingga manusia akan menobatkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, akibatnya merekapun tersesat dan menyesatkan”. [Muttafaq ‘alaih]
Tentu kita semua sepakat bahwa ilmu syari’at tidak mungkin dapat dikuasai oleh “Ulama’ karbitan” atau “praktisi dadakan”.[2] Ulama’ karbitan atau praktisi dadakan yang dihasilkan berbagai institusi atau badan usaha, dengan melatih kadernya selama beberapa waktu, tidaklah layak untuk menjadi rujukan dalam permasalahan semacam ini. Apalagi untuk menjadi Ulama’ benar-benar berhak untuk berijtihad dalam berbagai masalah kontemporer.
Pada suatu hari imam Mâlik bin Anas rahimahullah mendapati imam Rabî’ah bin Abdurrahmân dalam keadaan menangis. Spontan, imam Mâlik rahimahullah bertanya kepadanya: “ Apa gerangan yang menyebabkan kamu menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?” Ia menjawab: “Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.” Lalu imam Rabî’ah berkata:” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjara daripada para pencuri.”[3]
Ibnu Shalah rahimahullah mengomentari kisah ini dengan berkata: “Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa merahmati imam Rabî’ah, apa gerangan komentarnya andaikan ia menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini.”[4]
Sebagian Ulama’ menjelaskan alasan yang mendasari Ulama’ ahli ijtihad bersikap ekstra hati-hati, dengan berkata: “Barang siapa yang hendak menjawab suatu pertanyaan, maka hendaknya terlebih dahulu ia memikirkan bagaimanakah caranya ia dapat selamat di akhirat, setelahnya, barulah ia menjawab.”[5]
3. Menguasai permasalahan yang dihadapi dengan sempurna.
Dahulu para Ulama’ berkata:
الحُكْمُ عَلَى الشَّيءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Hukum suatu masalah adalah cabang pemahaman terhadap gambaran masalah tersebut”.
Berdasarkan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidaklah seorang mufti dan hakim dapat memberikan fatwa atau keputusan hukum dengan benar, kecuali bila ia memiliki dua jenis pemahaman: Pertama: pemahaman tentang masalah yang terjadi, dan kajian mendalam tentang hakekat sebenarnya pada kejadian tersebut. Kajian itu dapat dilakukan dengan bantuan berbagai pertanda dan indikasi yang berkaitan, hingga ia benar-benar menguasi masalah yang dimaksud. Pemahaman kedua: Memahami apa yang menjadi kewajiban dalam masalah itu, yaitu hukum Allah Azza wa Jalla yang telah diputuskan dalam al-Qur’ân atau melalui lisan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah itu. Selanjutnya ia mencocokkan kedua jenis pemahaman ini.”[6]
“Sesungguhnya realita suatu masalah –menurut Ulama– terbagi menjadi dua bagian“:
Bagian pertama : Realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari’at. Memahami realita jenis ini merupakan suatu keharusan. Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya, maka dia telah berbuat kesalahan. Jika suatu realita memiliki pengaruh dalam penentuan hukum, maka wajib di kuasai oleh para Ulama’.
Bagian kedua : Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari’at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian serta cerita yang panjang lebar; akan tetapi realita dan kisah tersebut sama sekali tidak mempengaruhi penentuan hukum syari’at.
Ketika berijtihad, para Ulama’ mengabaikan realita semacam ini, walaupun sebenarnya mereka memahaminya. Dengan demikian tidak setiap realita yang diketahui memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari’at”.[7]
Realita jenis kedua inilah yang disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan (الأَوْصَافُ الطَّرْدِيَّةُ). Realita jenis kedua ini tergolong dalam “ilmu yang tidak bermanfaat untuk diketahui, dan tidak merugikan bila diabaikan”.
Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam menentukan hukum dari realita yang tidak berpengaruh sama sekali, harus mengetahui ilmu syari’at yang merupakan standar berbagai fakta dan realita.
Sebagai contoh: Kita semua mengetahui bahwa khamer adalah minuman yang diharamkan. Kita juga mengetahui bahwa khamer di zaman dahulu terbuat dari anggur dan kurma, sebagaimana dikisahkan dalam ayat 67 surat an-Nahl. Nah, apakah realita ini memiliki pengaruh dalam penentuan hukum haram khamer, sehingga khamer yang terbuat dari tebu tidak dinamakan khamer alias halal?
Ulama’ ahli ijtihad telah menjelaskan bahwa khamer adalah haram, walaupun terbuat dari tebu atau lainnya. Keputusan hukum ini berdasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang memabukkan adalah haram”. [HR Muslim]
Dengan demikian realita khamer zaman dahulu, yaitu terbuat dari anggur dan korma tidak mempengaruhi hukum khamer.
Untuk dapat memahami realita suatu masalah, seorang ahli ijtihad menempuh cara:
- Bertanya kepada pakar permasalahan tersebut.
- Bertanya langsung kepada orang yang ditimpa permasalahan tersebut.
4. Standar Kebenaran adalah al-Qur’ân dan Sunnah.
Seluruh Ulama’ telah sepakat bahwa tidaklah ada agama, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tiada ibadah melainkan yang telah beliau ajarkan, tiada kehalalan melainkan yang telah beliau halalkan dan tiada keharaman melainkan yang telah beliau haramkan. Dengan demikian, yang menjadi standar kebenaran dalam segala urusan, termasuk berbagai masalah kontemporer adalah al-Qur’ân dan Sunnah, baik selaras dengan pendapat kebanyakan Ulama’ atau menyelisihinya.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah kepadamu, maka amalkanlah, dan segala yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7]
Kebenaran tidaklah dipandang dari ringan atau beratnya suatu pendapat bila diamalkan. Rasa ringan atau berat ketika beramal sangat relatif, dan banyak penyebabnya; oleh karena itu imam asy-Syaukani berkata: “Yang wajib kita anut dan harus kita amalkan adalah pendapat yang berdasarkan dalil shahîh. Dan bila dalil-dalilnya terkesan saling bertentangan, maka ringannya atau beratnya suatu pendapat tidak dapat dijadikan sebagai alasan penguat. Pada saat itu, kita berkewajiban untuk mencari alasan lain yang dibenarkan, guna menguatkan suatu pendapat.”[8]
5. Tidak terperdaya dengan perbedaan nama sehingga melalaikan hakekat masalah.
Di antara metode ijtihad yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi berbagai masalah kontemporer ialah dengan senantiasa mengaitkan hukum permasalahan dengan hakekatnya, dan bukan dengan sekedar penamaannya. Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأََرْضَ وَيُجْعَلَ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ
“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah Azza wa Jalla akan menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi ”. [HR Abu Dâwud, dan hadits ini memiliki banyak syawâhid]
Ibnu Hajar al-Asqalâni as-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Pada hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dengan cara mengubah namanya. Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti ‘illah-nya (alasannya), dan ‘illah diharamkannya khamer ialah karena memabukkan. Jika suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti haram, walau namanya telah berubah; bukan lagi khamer.”
Ibnu al-‘Arabi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: “Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekedar namanya saja.” [9]
Seorang ahli ijtihad yang benar-benar paham syari’at Islam, niscaya tidak akan terpengaruh oleh kilauan nama yang indah. Mereka menyadari bahwa kegemaran merubah-rubah nama guna merubah hukum, hanyalah secuil warisan umat Yahudi. Ulama’ ahli ijtihad senantiasa ingat akan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka:
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
“Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa.” [HR. Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsîr serta disetujui oleh al-Albâni].
Oleh karena itu walaupun piutang telah diberi nama baru yang lebih menggiurkan yaitu tabungan, atau modal usaha, atau obligasi, atau sukuk, tetap saja hukumnya adalah piutang. Dengan demikian segala bentuk keuntungan yang dipungut darinya adalah riba.
6. Tidak kaku dalam menerapkan fatwa Ulama’.
Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur lebih dari 14 abad. Dengan demikian, syari’at Islam telah dipahami dan diamalkan di berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka. Masing-masing Ulama’ menghadapi berbagai masalah yang ada di masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan fatwa masing-masing Ulama’ sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya hidup yang ada di masyarakatnya.
Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan yang ada di zaman Ulama’ yang menjadi rujukan, ketika mengkaji berbagai masalah kontemporer.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Mempertimbangkan adat dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa yang tertera dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan tradisi, adat istiadat, waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing masyarakat, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap ajaran agama lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter yang berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri dengan segala perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh ini merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa masyarakat.”[10]
Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan tafsîr telah dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan “wahai ibuku” atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihâr. Sehingga ia tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hukum ini dengan tegas dijelaskan dalam surat al-Mujâdilah ayat 2-4.
Jika kita menerapkan keterangan Ulama’ di atas pada masyarakat kita, maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena kewajiban itu. Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan sebutan : ibu, mama, adik, atau lainnya.
Guna menjembatani penerapan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih terhadap fakta yang ada di masyarakat, para Ulama’ menggariskan suatu kaidah yang berbuyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ العَادَاتِ
“Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, selaras dengan perubahan adat.”
atau :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Tradisi itu memiliki kekuatan hukum.”
Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama’ menyatakan bahwa bila suatu tradisi tidak menyelisihi syari’at, maka boleh diamalkan, bahkan pada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat dan tradisi suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari’at, maka haram untuk dilakukan. Sehingga hukum syari’at tetap baku dan tidak dapat berubah karena perubahan adat dan tradisi. Inilah makna kaidah fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di atas.[11] Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” [al-Ahzâb/33:36].
Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu berkata: “Seluruh ulama’ fiqih telah sepakat bahwa hukum-hukum yang dapat berubah-rubah selaras dengan perubahan zaman dan perilaku manusia ialah hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad Ulama’. Yaitu hukum-hukum yang merupakan upaya Ulama’ dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan demikian, hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah, tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini. Berdasarkan itulah, sebagian ulama’ fiqih berpendapat bahwa teks kaidah ini yang lebih tepat ialah:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ ْلإِجْتِهَادِيَةِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
“Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum ijtihadiyyah berdasarkan perubahan zaman“, guna menepis kerancuan semacam ini. Dan (saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah tersebut bagus dan tepat adanya.”[12]
7. Mencarikan solusi jitu.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di masyarakat adalah hasil rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim, yang tidak perduli dengan halal dan haram. Oleh karena itu, bila seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan haramnya suatu masalah kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas dengan kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif yang halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai amalan haram dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan cara-cara yang diridhai Allah Azza wa Jalla .
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bila seorang mufti yang benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal yang terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti itu akan segera menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian, mufti tersebut berhasil menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan solusi-solusi yang halal. Tentu tidak ada orang yang mampu melakukan hal ini selain orang-orang yang benar-benar berilmu lagi tulus, yang benar-benar ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dengan mengamalkan ilmunya. Mufti semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia berusaha melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan jasmani.
Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan wajib atas Nabi itu untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang ia ketahui”. Demikianlah perangai para Rasul dan para ahli waris mereka sepeninggalnya.[13]
Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama’ ahli ijtihad yang dapat dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga, paparan singkat ini bermanfaat bagi semuanya.
Wallâhu’alam bis shawâb.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Târîkh Dimasyq oleh Ibnu ‘Asyâkir 38/411.
[2] Seorang praktisi perbankan syari’ah di negeri kita, menceritakan kepada saya awal perjalannya menjadi seorang praktisi perbankan syari’ah. Perjalanannya dimulai dari adanya keinginan pemilik bank konfensional tempat ia bekerja untuk memindahkannya dari perbankan konfensional ke perbankan syari’ah. Guna mewujudkan keinginannya ini, sahabat ini pun ditugaskan untuk mengikuti trening selama 6 bulan, dan seusai training tersebut ia dinobatkan sebagai praktisi perbankan syari’ah.
[3] At-Tamhîd oleh Ibnu Abdil Bar 3/5.
[4] Adâbul Mufti wal Mustafty, oleh Ibnu Shalâh 1/20.
[5] Idem 1/13.
[6] I’lâmul Muwaqi’în oleh Ibnul Qayyim 1/87-88.
[7] Ad-Dhawâbithus Syar’iyyah Li Mauqifil Muslim fil Fitan hal:45.
[8] Irsyâdul Fuhûl oleh asy-Syaukâni 2/276.
[9] Fathul-Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni 10/56.
[10] I’ilâmul Muwaqi’în oleh Ibnul Qayyim 3/78.
[11] Untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang kaidah ini, silahkan baca kitab: Al-Asybah wan Nazhâ’ir oleh Imam As-Suyûthi 89-101, Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh Al-Kulliyyah, oleh Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu 270-313.
[12] Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh Al-Kulliyyah, oleh Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu 311.
[13] I’lâmul Muwaqi’în oleh Ibnul Qayyim 4/159.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14292-bagaimana-ulama-berijtihad-2.html