Syariat Islam Memberikan Solusi Dalam Mengentaskan Kemiskinan
SYARI’AT ISLAM MEMBERIKAN SOLUSI DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Islam juga menjelaskan dan memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan, baik dalam masalah ’akidah, ibadah, moral, akhlak, muamalah, rumah tangga, bertetangga, politik, kepemimpinan, mengentaskan kemiskinan dan lainnya. Pembahasan kali ini adalah Islam mengentaskan kemiskinan.
Islam berusaha mengatasi kemiskinan dan mencari jalan keluarnya serta mengawasi kemungkinan dampaknya. Tujuannya, untuk menyelamatkan ’akidah, akhlak, dan amal perbuatan; memelihara kehidupan rumah tangga, dan melindungi kestabilan dan ketentraman masyarakat, di samping untuk mewujudkan jiwa persaudaraan antara sesama kaum Muslimin. Karena itu, Islam menganjurkan agar setiap individu memperoleh taraf hidup yang layak di masyarakat.
Secara umum, setiap individu wajib berusaha untuk hidup wajar, sesuai dengan keadaannya. Dengan hidup tenteram, ia dapat melaksanakan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla , sanggup menghadapi tantangan hidup, dan mampu melindungi dirinya dari bahaya kefakiran, kekufuran, kristenisasi, dan lainnya.
Tidak bisa dibenarkan menurut pandangan Islam adanya seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam dalam keadaan kelaparan, berpakaian compang-camping, meminta-minta, menggelandang atau membujang selamanya.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, orang kaya, dan kaum Muslimin untuk menolong saudaranya agar mencapai taraf kehidupan layak? Dan bagaimana peran Islam dalam meningkatkan taraf hidup mereka?
Dalam memberikan jaminan bagi umat Islam menuju taraf hidup yang terhormat, Islam menjelaskan berbagai cara dan jalan. Di antaranya sebagai berikut:
1. Bekerja
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Mereka juga diperintahkan agar berkelana di muka bumi ini serta makan dari rezeki Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” [al-Mulk/67:15]
Mencari nafkah merupakan senjata utama untuk mengatasi kemiskinan. Ia adalah sarana pokok untuk memperoleh kekayaan serta merupakan faktor dominan dalam memakmurkan dunia. Dalam Islam, seorang buruh tidak boleh dihalang-halangi untuk menerima upah kerjanya. Bahkan ia harus menerima upah sebelum keringatnya kering.
Islam memberikan motivasi yang mendorong gairah kerja dan berusaha, serta menggugah kesadaran untuk bepergian di atas permukaan bumi ini.
Ada sekelompok orang yang enggan dan malas bekerja dengan dalih ”Bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla ”. Pendirian seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam. Bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla bukan berarti diam dan tidak bekerja. Tawakal adalah berusaha, berikhtiar sambil berdo’a dan menggantungkan harapan hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja. Sebagai Muslim, hendaklah kita berpedoman kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seseorang yang membiarkan untanya terlepas, tanpa diikat, dengan dalih bertawakal kepada Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurnya dengan mengatakan:
إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.[1]
Ini berarti tawakal itu dilakukan sesudah berusaha mencari rezeki.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَـا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sungguh-sungguh tawakal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikannya rezeki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan perut kosong, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”[2]
Demikian pula para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hidup dengan berdagang, baik di laut maupun di darat. Mereka bekerja sesuai dengan keahliannya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan bumi dan memberkahi di dalamnya, melengkapinya dengan bahan-bahan makanan, perbekalan-perbekalan, dan sumber-sumber kekayaan di dalam bumi maupun dipermukaannya, untuk kebutuhan hidup hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla menerangkan hal ini dalam banyak ayat, di antaranya dalam Surat al-A’raaf/7 ayat 10; al-Israa’/17 ayat 70; Ghaafir/40 ayat 64); Huud/11 ayat 6)dan lain-lain.
Sunnatullâh telah berlaku bagi semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan, semuanya itu tidak akan dapat diperoleh, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla sering memerintahkan agar manusia berusaha, begitu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا ، ؛ فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَـهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Tidak seorang Muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, seseorang manusia, atau seekor binatang, makan sebagian darinya, melainkan akan dinilai sebagai sedekah baginya[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Tidak ada suatu makanan yang lebih baik bagi seseorang (selain) daripada apa yang dihasilkan oleh karya tangannya sendiri.[4]
Dalam sabda beliau n yang lain :
َلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَىٰ ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ
Sungguh, seseorang dari kalian mengambil tali lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memberikan penjelasan yang teoritis semata. Beliau menampilkan contoh yang praktis (dengan perbuatan), sebagaimana halnya para rasul mulia yang lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah Azza wa Jalla tidak mengutus seorang nabi, melainkan dia itu menggembala kambing.” Para Sahabat bertanya, ”Dan engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Ya, saya menggembala ternak penduduk Mekah dengan upah beberapa qirâth.”[6]
Demikian, setiap anggota masyarakat Islam harus bertanggung jawab mengatasi segala rintangan agar terwujud kesejahteraan hidup baik secara individual maupun untuk masyarakat. Di antara bentuk tanggung jawab itu adalah mengusahakan terbukanya lapangan kerja di semua bidang yang selalu didambakan seluruh umat setiap saat. Mereka juga berkewajiban mempersiapkan tenaga-tenaga ahli untuk mengurus dan memeliharanya. Ini semua adalah kewajiban bersama (fardhu kifâyah) bagi umat Islam. Bila sebagian telah melaksanakannya, lepaslah dosa dan tanggung jawab seluruh umat. Tetapi, bila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya maka seluruh umat memikul dosanya, khususnya pemerintah (ulil amri) dan orang-orang kaya (konglomerat).
2. Mencukupi Keluarga yang lemah
Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
”…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah…” [al-Anfâl/8:75]
Islam mewajibkan orang-orang kaya agar memberikan nafkah kepada keluarganya yang miskin. Ini berarti Islam telah meletakkan modal pertama bagi terciptanya jaminan sosial. Nafkah itu bukan hanya sekedar anjuran yang baik, tapi merupakan satu kewajiban dari Allah Azza wa Jalla untuk dilakasanakan. Syari’at Islam juga telah merinci ketentuan-ketentuannya dalam bab nafkah kepada keluarga. Hal ini tidak terdapat pada syari’at-syari’at yang terdahulu, juga tidak terdapat dalam undang-undang modern dewasa ini.
Karena itu, sebagian hak setiap orang miskin yang Muslim adalah mengajukan tuntutan nafkah kepada keluarganya yang kaya. Hal ini undang-undang dan peraturan-peraturan Islam, yang sampai saat ini kedudukannya masih berpengaruh di forum persidangan dan mahkamah-mahkamah syar’iyyah.
3. Zakat
Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana. [at-Taubah/9:60]
Fakir miskin merupakan kelompok yang harus diutamakan dalam pembagian zakat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kelompok lain yang berhak atas zakat tersebut. Fakir miskinlah sasaran utamanya. Ketika Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu ditugaskan ke Yaman untuk berdakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. (pada lafazh lainnya: ‘Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata.) (pada lafazh lainnya lagi: ‘Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam riwayat lain: ”apabila mereka telah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla ), maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka; lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.”[7]
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa sedekah (zakat) yang wajib ini harus dipungut dari orang-orang kaya kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka itu juga. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa dalam pengelolaan zakat itu perlu ada petugas khusus untuk memungutnya dari orang-orang kaya dan membagikan kepada orang-orang miskin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, ”Berdasarkan hadits tersebut, Imamlah (penguasa) yang berwenang untuk mengelola urusan zakat, memungut, dan menyalurkannya secara langsung ataupun dengan perantaraan wakil-wakilnya. Barangsiapa di antara mereka menolak, maka bisa dipungut secara paksa.”[8]
Usaha Islam dalam menanggulangi kemiskinan itu bukanlah suatu usaha yang sambil lalu, temporer, atau setengah-setengah. Pemberantasan kemiskinan, bagi Islam, justru merupakan salah satu asas yang khas dengan sendi-sendi yang kokoh. Tidak mengherankan kalau zakat yang telah dijadikan oleh Allah sebagai sumber jaminan hak-hak orang-orang fakir miskin itu tersebut ditetapkan sebagai rukun Islam yang ketiga.
Hukuman bagi orang yang tidak membayar zakat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hukuman di dunia bagi kaum yang tidak menunaikan zakat, yaitu Allah Azza wa Jalla akan menimpakan kepada mereka kemarau yang panjang dan kelaparan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
…وَلَـمْ يَـمْنَعُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوْا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَـاءِ وَلَوْ لاَ الْبَهَائِمُ لَـمْ يُـمْطَرُوْا
Dan tidaklah mereka menahan zakat harta-harta mereka, melainkan hujan dari langit akan ditahan bagi mereka. Dan seandainya tidak ada binatang-binatang niscaya hujan tidak akan diturunkan kepada mereka.[9]
Zakat dalam pandangan Islam, adalah suatu hak, atau suatu utang yang menjadi beban bagi orang kaya untuk dibayarkan kepada golongan-golongan yang lemah dan yang berhak menerimanya. Zakat juga merupakan haqqun ma’luum (suatu hak tertentu), maksudnya, tertentu jumlahnya dan ukurannya, yang diketahui oleh orang yang berkewajiban menunaikan zakat, dan juga oleh orang yang berhak menerimanya. Yang menetapkan dan membatasi ketentuan ini adalah Allah Azza wa Jalla .
Orang yang berhak menerima zakat
Al-Qur-an telah menjelaskan golongan-golongan dan sektor-sektor yang berhak menerima zakat. Hal ini sebagai bantahan terhadap orang-orang munafik yang sangat berambisi mendapatkan bagian zakat dengan menempuh jalan yang tidak halal. Mereka sangat dendam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak menghiraukan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya :
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّلْمِزُكَ فِى الصَّدَقٰتِۚ فَاِنْ اُعْطُوْا مِنْهَا رَضُوْا وَاِنْ لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ اِذَا هُمْ يَسْخَطُوْنَ
”Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat); jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah.”[at-Taubah/9: 58]
Orang-orang yang menjaga kehormatannya lebih diutamakan dalam menerima zakat
Karena kekeliruan dalam penyajian dan penerapan ajaran-ajaran Islam, banyak manusia menyangka bahwa yang dimaksud dengan orang-orang fakir dan miskin yang berhak menerima zakat itu adalah mereka yang biasa menganggur atau para pengemis yang biasa menunjuk-nunjukkan kemelaratan dan kemiskinannya. Barangkali gambaran orang miskin yang semacam inilah; yang menjadi kesalah-pahaman dalam pikiran kebanyakan orang sejak lama. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbaikan; antara lain dengan sabdanya:
لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
”Bukanlah yang dinamakan miskin itu orang-orang yang membutuhkan sebiji atau dua biji kurma, dan bukan pula sesuap atau dua suap makanan. Tetapi sesungguhnya yang dinamakan miskin itu adalah orang-orang yang memelihara kehormatan dirinya. Bacalah jika kalian mau, ’Mereka tidak meminta kepada orang-orang dengan cara paksa [al-Baqarah/2: 273].’”[10]
Yang dimaksud dengan ”mereka tidak meminta-minta kepada manusia secara paksa” ialah mereka yang tidak memaksa dalam meminta-minta dan tidak menyusahkan orang lain dalam hal yang sebenarnya mereka sendiri sama sekali tidak membutuhkan. Sesungguhnya orang yang meminta-minta kepada orang lain, padahal apa yang dimintanya itu sudah ada pada dirinya, berarti orang itu telah melakukan ilhaaf (meminta dengan paksa).
Minta-minta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan atau untuk memperkaya diri adalah diharamkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَـهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّـمَـا يَسْأَلُ جَـمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.”[11]
Orang yang kuat dan sanggup bekerja tidak berhak menerima zakat
Ada sebagian orang yang memiliki pemahaman keliru sehingga mereka menyangka bahwa zakat itu melindungi pengangguran. Padahal Islam tidak menghendaki demikian.
Karena itu, orang yang kuat lagi sanggup bekerja diharuskan aktif berusaha dan bekerja. Ia harus diberi kesempatan bekerja sehingga ia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan tenaga dan keringatnya sendiri.
Secara tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَـحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ
Tidak halal sedekah itu, bagi orang yang kaya dan juga bagi orang yang kuat lagi sehat.[12]
Yang dimaksud orang yang kuat ialah orang yang fisiknya masih memungkinkan bekerja. Sedangkan yang dimaksud sehat ialah orang yang anggota badannya normal dan sempurna.
Zakat marupakan satu sistem jaminan sosial yang pertama kali di dunia.
Sebenarnya, zakat merupakan suatu perundang-undangan yang konsepsional yang pertama kali ada, dalam membina terwujudnya suatu jaminan sosial. Zakat tidak berpegang pada bantuan-bantuan (dana-dana) individual secara sukarela, tetapi berpijak pada bantuan-bantuan yang ditangani pemerintah secara rutin dan tertib. Bantuan-bantuan itu dapat mewujudkan kesejahteraan setiap insan yang membutuhkan, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain.
Inilah sistem jaminan sosial menurut Islam, yang belum pernah disentuh oleh alam pikiran dunia Barat. Masyarakat Eropa baru mengenal sistem itu akhir-akhir ini. Itu pun belum bisa menyamai taraf jaminan sosial Islam. Dengan jaminan sosial Islam, setiap individu mampu mewujudkan kesejahteraan secara sempurna bagi pribadi maupun keluarga. Hal semacam ini tidak kita temukan dalam sistem jaminan sosial model Barat.
4. Keharusan Memenuhi Hak-hak Selain Zakat
Di samping zakat, masih ada hak-hak material yang lain, yang wajib dipenuhi oleh orang Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Hak bertetangga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ بِـمُؤْمِنٍ مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ إِلَـىٰ جَنْبِهِ جَائِعٌ وَهُوَ يَعْلَمُ
Tidak patut dinamakan orang yang beriman, orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya yang berada di sampingnya menderita lapar, padahal ia mengetahuinya.[13]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
إِذَا طَبَخْتَ فَأَكْثِرِ الْـمَرَقَ ، ثُمَّ انْظُرْ بَعْضَ أَهْلِ بَيْتِ جِيْرَانِكَ فَاغْرِفْ لَهُ مِنْهَـا
Apabila engkau memasak soup, perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau perhatikan di antara keluarga tetanggamu, lalu antarkanlah sebagian kepadanya.[14]
a. Kurban Hari Raya Haji
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَـمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Barangsiapa mempunyai kemampuan untuk berkurban, lalu ia tidak melakukannya, maka hendaklah ia jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”[15]
b. Kafarat Sumpah
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : “…Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang hamba sahaya…” [al-Mâ-idah/5:89]
c. Kafarat Dzihar
Barangsiapa mengatakan kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti ibuku,” maka ucapannya itu menyebabkan ia menjadi haram mencampuri istrinya sebelum ia melunasi kafaratnya, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya; jika tidak mampu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut; atau jika tidak mampu, ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin [al-Mujâdilah/58:1-4]
d. Kafarat karena bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan.
Orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan wajib membayar kafarat. Kafaratnya sama dengan kafarat mendzihar istri. (lihat haditsnya: Shahîh al-Bukhâri (no. 1936) dan Shahîh Muslim (no. 1111)
e. Fidyah orang yang lanjut usia dan wanita hamil serta menyusui yang tidak sanggup berpuasa
Ketiga golongan di atas jika tidak sanggup berpuasa maka mereka wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya itu dengan memberikan makan kepada satu orang miskin setiap harinya. [Lihat Qs al-Baqarah/2:184]
f. Hak tanaman pada saat mengetam
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : ”Dan Dia-lah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [al-An’âm/6:141]
Dalam menafsirkan pengertian hak di sini, Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhu berkata, ”Adalah para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka memberikan sesuatu selain zakat.”[16]
g. Hak mencukupi fakir miskin.
Ini adalah yang terpenting dari hak-hak tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ فِـيْ تَوَادِّهِمْ ، وَتَرَاحُمِهِمْ ، وَتَعَاطُفِهِمْ ، مَثَلُ الْـجَسَدِ
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan saling menaruh rasa simpati adalah seperti satu tubuh, ...”[17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلسَّاعِيْ عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْـمِسْكِيْنِ كَالْـمُجَاهِدِ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ
Orang yang membantu kebutuhan para janda dan orang-orang miskin kedudukannya seperti orang yang berjihad di jalan Allah.[18]
Ancaman bagi orang yang tidak memperhatikan faqir miskin
Al-Qur`ân telah membebankan di atas pundak setiap orang yang beriman suatu tanggung jawab terhadap orang. Al-Qur`ân menegaskan, mengabaikan orang miskin berarti telah durhaka kepada Allah Azza wa Jalla dan berhak mendapatkan siksa yang pedih. Allah Azza wa Jalla menjelaskan penyebab hukuman keras tersebut dalam firman-Nya.
إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ ﴿٣٣﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
”Sesungguhnya dialah orang yang tidak beriman kepada Allah yang Maha besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” [al-Hâqqah/69: 33-34]
Selain itu, Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa bersikap kasar terhadap anak yatim dan enggan menggemarkan orang lain memberi makan kepada orang miskin itu termasuk tanda-tanda pendustaan terhadap agama.[19]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Dan diwajibkan atas orang-orang kaya di negeri mana saja untuk menanggulangi secara bersama-sama terhadap fakir miskin. Sedangkan pihak penguasa boleh campur tangan untuk menekan mereka dalam melaksanaannya, yaitu apabila harta zakat dan harta-harta kaum Muslimin yang lain tidak cukup untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sehingga kebutuhan pangan mereka yang tidak bisa ditunda-tunda itu dapat dipenuhi. Demikian pula halnya dengan kebutuhan sandang dan papan mereka.”[20]
Beliau berhujjah dengan beberapa dalil di antaranya: Firman Allah Azza wa Jalla dalam Surat an-Nisâ’ ayat 36 dan al-Muddatstsir ayat 38-44
Dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla meletakkan kedudukan memberi makan kepada orang miskin sejajar dengan kewajiban menunaikan shalat.”
Sedang hujjah dari Sunnah di antaranya:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَـمْ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ
Siapa yang tidak menaruh belas kasihan kepada manusia, maka Allah tidak menaruh belas kasihan kepadanya.[21]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْـمُسْلِمُ أَخُو الْـمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ
Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Karena itu, janganlah berlaku zhalim kepadanya dan jangan membiarkan ia terlantar.[22]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Barangsiapa membiarkan saudaranya dalam keadaan lapar dan tidak berpakaian, padahal ia mampu untuk memberi makan dan pakaian kepadanya, berarti ia telah membiarkan saudaranya terlantar.”[23]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَىٰ مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَىٰ مَنْ لاَ زَادَ لَهُ
Barangsiapa mempunyai kelebihan tenaga, maka hendaklah ia berikan kepada orang yang tidak mempunyai tenaga, dan barangsiapa mempunyai kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada orang yang tidak mempunyai bekal.
Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa macam benda sebagaimana yang tersebut sehingga kami tidak menjumpai seorang pun di antara kami yang mempunyai kelebihan hak.[24]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, ”Apa yang tersebut di atas adalah ijma’ Sahabat. Dan Abu Sa’id di dalam menyampaikan riwayat tersebut adalah seperti itu, maka kita pun harus demikian, dengan menyebut apa yang terkandung dalam riwayat itu.”[25]
5. Sedekah sukarela dan kebajikan individu Muslim
Pribadi yang mulia dan Muslim sejati adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diminta. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak diminta. Ia suka berderma (memberikan infak) di kala senang maupun susah, secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Ia melakukannya bukan karena cinta kemegahan atau kepopuleran dan bukan pula karena takut adanya hukuman dari pihak penguasa.
Sifat-sifat ini serta hal-hal yang memotivasi agar memiliki sifat ini banyak didapatkan dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ ؟ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلاَّ مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ : فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالَ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
Siapakah di antara kalian yang mencintai harta ahli warisnya lebih daripada mencintai hartanya sendiri? Mereka menjawab, ”Wahai Rasulullah! Tidak ada seorang pun di antara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.” lalu beliau bersabda, ”Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.[26]
6. Wakaf Sosial
Di antara sedekah yang dicintai Islam adalah sedekah jâriyah, sebab kekal penggunaannya dan abadi manfaatnya. Karena itu, kekal pula pahala yang mengalir kepada si pemberinya, selama sedekah itu masih dimanfaatkan, meski pemberinya sudah meninggal dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ ْالإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ
Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.[27]
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa ayahnya (‘Umar bin al-Khaththâb) ketika mendapat sebidang tanah dari perkampungan Khaibar, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar, dan selama ini saya tidak pernah mendapat kekayaan yang lebih daripada ini, apa perintah Anda kepadaku dengan tanah itu?” kemudian Nabi menjawab,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَـا وَتَصَدَّقْتَ بِهَـا
Bila engkau suka, tahanlah pokoknya, dan engkau sedekahkan dia (wakafkan).
Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Ia menyedekahkan tanah itu, dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disediakan untuk kepentingan orang-orang fakir dan kaum kerabatnya, untuk keperluan memerdekakan budak, untuk mencukupi orang-orang lemah, ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal), dan orang-orang yang mengurusnya diperbolehkan mengambil bagiannya dengan cara yang patut, serta menikmatinya dengan tidak berlebih-lebihan. (dalam riwayat lain dinyatakan: Boleh mengambil, asal tidak untuk menumpuk-numpuk kekayaannya.)” [28]
Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkan “Dasar Wakaf Sosial” yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat Islam sepanjang masa. Peristiwa ini juga merupakan bukti yang nyata, betapa dalamnya rasa kesadaran suka berbuat baik di kalangan kaum Muslimin. Mereka tidak sampai hati membiarkan kekurangan-kekurangan yang diderita oleh masyarakat sehingga mereka mewakafkan sebagian hartanya.
Kesimpulan:
Demikianlah metode-metode yang ditempuh Islam dalam memecahkan problem kemiskinan, yang kemudian disimpulkan menjadi tiga metode:
Metode pertama: Jalan yang khusus, yang harus ditempuh oleh pihak fakir miskin itu sendiri. Fakir miskin wajib melakukan usaha, selama ia masih mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk bekerja. Dalam hal ini, pihak masyarakat, orang yang mampu dan pemerintah berkewajiban memberikan bantuan.
Metode kedua: Jalan ini berpangkal kepada kesediaan masyarakat Islam untuk membantu. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan fakir miskin, baik yang merupakan sumbangan wajib misalnya zakat dan kafarat, maupun yang tidak wajib misalnya wakaf dan sedekah.
Metode ketiga: Jalan khusus, yang harus dilakukan oleh orang kaya dan pihak pemerintah. Secara syari’at, pemerintah berkewajiban mencukupi kebutuhan fakir miskin, baik ia seorang Muslim atau bukan (kafir dzimmi), selama ia masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Sumber-sumber yang dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan ini ialah zakat, ghanimah, harta fa’i, jizyah, barang-barang tidak bertuan, kekayaan negara dari sumber alamnya. Di samping itu juga sumbangan wajib yang ditentukan oleh pemerintah terhadap orang-orang kaya, manakala pemasukan zakat dan sumber-sumber lainnya mengalami kemerosotan.Wallaahu a’lam.
Mudah-mudahan apa yang kami paparkan bermanfaat dan dapat membantu dalam mengatasi kemiskinan. Kita berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dijauhkan dari keganasan kefakiran dan kemiskinan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Hasan: HR. at-Tirmidzi (no. 2517).
[2] Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2344), Ahmad (I/30, 52), Ibnu Mâjah (no. 4164), at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.” Dishahîhkan juga oleh al-Hâkim (IV/318), dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 310).
[3] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2320, 6012).
[4] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2072).
[5] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
[6] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2262) dan Ibnu Mâjah (no. 2149).
[7] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1395, 1458, 1496, 4347, 7372) dan Muslim (no. 19 (29)).
[8] Fathul Bâri (III/360).
[9] Shahîh: HR. Ibnu Mâjah (no. 4019).
[10] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 4539), Muslim (no. 1039 (102)).
[11] Shahîh: HR. Muslim (no. 1041), Ahmad (II/231), Ibnu Mâjah (no. 1838), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 10767), al-Baihaqi (IV/196), Abu Ya’la (no. 6061), dan Ibnu Hibbân (no. 3284-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[12] HR.Abu Dâwud (no. 1634), at-Tirmidzi (no. 652), dan selainnya.
[13] Shahîh: HR. al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 112), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 12741), al-Baihaqi dalam Syu’abul imân (no. 5272), dan lainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 149).
[14] Shahîh: HR. Muslim (no. 2625 (143)).
[15] Hasan: HR. Ibnu Mâjah (no. 3123), dan lainnya.
[16] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (III/348).
[17] Shahîh: HR. Muslim (no. 2586) dan Ahmad (IV/270). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1083).
[18] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 5353), Muslim (no. 2982), dan lainnya.
[19] Lihat Qs al-Mâ’ûn/107:1-3
[20] Al-Muhalla (VI/156, masalah ke 725), cet. Dârul Fikr-Beirut.
[21] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 7376), Muslim (no. 2319), dan at-Tirmidzi (no. 1922).
[22] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2442, 6951).
[23] Al-Muhalla (VI/157, masalah no. 725).
[24] Shahîh: HR. Muslim (no. 1728), Abu Dâwud (no. 1663), dan lainnya.
[25] Al-Muhalla (VI/158 masalah no. 725).
[26] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6442).
[27] Hadits Shahîh: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 38), Abu Dâwud (no. 2880), an-Nasâ-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ibnu Hibbân (no. 3005-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Ini adalah lafazh at-Tirmidzi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 1580).
[28] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2737), Muslim (no. 1632), dan lainnya.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/13676-syariat-islam-memberikan-solusi-dalam-mengentaskan-kemiskinan-2.html