Ibadah, Dirahasiakan Atau Ditampakkan?
IBADAH, DIRAHASIAKAN ATAU DITAMPAKKAN ?[1]
Sungguh, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan umat manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai manusia! Beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, [Al-Baqarah/2:21]
Dan ibadah seseorang tidak akan diterima kecuali syarat ikhlas terpenuhi. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, [Al-Bayyinah/98:5]
Bahkan secara khusus, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya Muhammad n untuk ikhlas, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman kepadanya:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
Maka beribadahlah kepada Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.[Az-Zumar/39:2]
Al-Hafidz Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Madârijus Sâlikîn[2] menukil beberapa perkataan para Ulama tentang pengertian ikhlas yang intinya adalah meniatkan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala saja dan menjaganya dari semua cacat, termasuk seseorang yang sedang beribadah harus membersihkan hatinya dari keinginan mendapatkan perhatian makhluk. Alangkah bagus perkataan Abu Utsman Said bin Ismail yang mengatakn, “Ikhlas yang benar yaitu melupakan pandangan mata umat manusia karena hatinya konsen kepada sang pencipta.” Perkataan ini diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.[3]
Jadi, orang yang ikhlas adalah orang yang mengerahkan semua keinginannya hanya untuk mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla . Dia tidak menginginkan seorangpun melihat amalannya kecuali Allâh Azza wa Jalla . Dia tidak mengharap balasan amalnya kecuali dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Artinya, semakin jauh seseorang yang sedang beramal dari penglihatan dan pendengaran manusia, maka semakin terjaga agamanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang ibadah sedekah:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allâh akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.[Al-Baqarah/2:271]
Imam at-Thabari rahimahullah mengatakan, “Jika kalian menyembunyikan dan tidak menampakkannya, serta kalian berikan (sedekah itu) kepada orang-orang fakir dengan diam-diam (tanpa diketahui oleh seorang manusiapun-red) maka itu lebih baik untuk kalian. Dia berkata, “Kalian menyembunyikan ibadah sedekah itu lebih baik dari kalian menampakkannya.”[4]
Juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya agar merahasiakan sedekah. Imam ath-Thabari rahimahullah membawakan riwayat dari Muawiyah bin Jayyidah secara marfu’ , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ
Ibadah sedekah yang dirahasiakan akan meredam kemurkaan Rabbmu[5]
Dan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang tujuh orang yang mendapat naungan Allâh Azza wa Jalla di hari kiamat, diantaranya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu dia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. [Muttafaqun ‘Alaih][6]
Penyampaian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini dengan menggunakan metode mubalaghah.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa ini termasuk majaz tasbîh (perumpamaan). Kesimpulan ini dikuatkan oleh riwayat Hammad bin Zaid yang ada pada al-Jauzaqî, “Bersedekah dengan sedekah yang seakan akan tangan kanan merahasiakan sedekahnya dari tangan kirinya.” [7]
Diantara Ulama salaf ada yang disangka sebagai orang yang bakhil (pelit), karena mereka tidak pernah melihat dia bersedekah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Ashim dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata, “Kala itu di antara penduduk Madinah ada yang hidup tanpa mengetahui siapa yang memberi nafkah kepada mereka namun (mereka baru mengetahuinya) ketika Ali bin al-Husain wafat, (karena) mereka tidak lagi mendapatkan nafkah yang biasa mereka dapatkan pada waktu malam.”
Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan secara muallaq dia mengatakan, “Oleh karena itu, dia (Ali bin al-Husain) disangka orang yang bakhil, namun sesungguhnya dia bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sementara keluarganya menyangka dia mengumpulkan banyak dirham (harta). Diantara mereka ada yang berkata, ‘Kami tidak kehilangan sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi sampai Ali wafat.’[8]
Dan diantara tujuh orang yang mendapat naungan Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah orang yang disebutkan dalam hadits:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Seseorang yang mengingat Allâh saat dia seorang diri laluair matanya menetes
Cobalah, kita merenungi kalimat khâliyan (saat seorang diri) agar kita bisa memahami bahwa dia melakukan amal shaleh ini semata-mata karena mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla , karena tidak ada seorangpun yang menyaksikannya.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Uqbah bin Âmir Radhiyallahu anhu bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّة
Rabbmu kagum terhadap seorang pengembala kambing yang berada di atas sebuah gunung, dia adzan untuk shalat dan kemudian melaksanakan shalat maka Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Kalian lihatlah hamba-Ku ini, dia adzan kemudian mendirikan shalat karena takut kepada-Ku maka sungguh aku telah ampuni hamba-Ku dan aku masukkan dia ke dalam surga.[9]
Jadi, orang yang ikhlas melaksanakan amalannya disaat kebanyakan manusia lalai darinya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sepertiga malam terakhir sebagai waktu yang paling utama dalam satu hari. Imam Ahmad t meriwayatkan dari Amr bin Abasah bahwa dia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Kapan waktu yang paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ
sepertiga malam yang terakhir[10]
Yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah merahasiakan ibadah pada waktu yang disebutkan. Kesimpulan berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu yang dibawakan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
Wahai umat manusia! Sebarkanlah salam, dan berilah makanan dan sambunglah tali silaturrahmi dan shalat malamlah ketika manusia sedang lelap tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat[11]
Dan yang lebih jelas lagi dari hadits di atas adalah hadits at-Thabrani dari Shuhaîb bin Nu’man z yang diriwayatkan secara marfu’:
فَضْلُ صَلَاةِ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ عَلَى صَلَاتِهِ حَيْثُ يَرَاهُ النَّاسُ، كَفَضْلِ الْمَكْتُوبَةِ عَلَى النَّافِلَةِ
Keutamaan shalat yang dilakukan seseorang di rumahnya dibandingkan dengan shalatnya ketika dilihat manusia seperti keutamaan shalat wajib bila dibandingkan shalat sunnah.[12]
Dan diantara adab berdoa adalah melirihkannya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [Al-A’raf /7:55]
Oleh karena itu juga, Allâh Azza wa Jalla memuji Nabi-Nya zakaria dengan perkataan-Nya:
إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.[Maryam/19:3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan beberapa faedah merahasiakan doa. Diantara faedah yang beliau sebutkan adalah lebih bagus dalam keikhlasan dan begitu pula dalam masalah merasahasiakan dzikir, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al-a’raf/7:205]
Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang ini banyak bahkan sangat banyak sekali. Semuanya menunjukkan bahwa menyembunyikan ibadah dari pandangan manusia merupakan salah satu tujuan syariat. Ini sudah menjadi permasalahan yang diakui pada zaman sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Hanad bin as-Sâri rahimahullah dari Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Siapa diantara kalian yang bisa memiliki amal shaleh yang dikerjakan secara sembunyi-sembunyi, maka hendaklah dia lakukan.”[13]
Ketika sebagian orang berusaha menyembunyikan kejelekkannya tapi tidak berusaha merahasiakan kebaikannya, maka rasa ujub (bangga diri) akan mulai menyelinap ke dalam hati mereka. Abu Hâzim Salamah bin Dinar mengatakan, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekanmu! Janganlah kita merasa kagum dengan amalan kita karena sesungguhnya kita tidak tahu, apakah kita termasuk orang yang celaka ataukah orang yang bahagia?” perkataan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuabul Iman.[14]
Disamping itu, Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan ibadah yang rahasia dengan balasan yang tidak diberikan kepada ibadah yang tidak dikerjakan secara sembunyi. Lihatlah, bagaimana Allâh Azza wa Jalla mengistimewakan ibadah puasa dengan keutamaan yang tidak ada pada seluruh amalan baik lainnya. Abu Hurairah z meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabbnya:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Semua amalan bani Adam itu adalah untuknya kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya [Muttafaqun Alaih][15]
Abu Ubaid al-Qasimi bin Salâm mengatakan, “Ibadah puasa diistimewakan karena seseorang yang sedang mengerjakannya tidak terlihat. Karena ibadah puasa itu sesuatu (niat) yang ada di dalam hati … juga karena semua amalan-amalan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan gerakan-gerakan berbeda dengan puasa. Puasa itu dilakukan dengan niat yang tidak terlihat oleh pandangan manusia. Ini pemahaman hadits ini menurutku.” [16]
Perhatikanlah! Bagaimana beliau mengembalikan keistimewaan puasa sebagai buah dari tersembunyinya ibadah puasa dari pandangan manusia.
Alasan ini disebutkan oleh Ibnu Jauzi dan disetujui al-Mârizi juga al-Qurthubi sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah lalu beliau mengatakan, “Diantara para imam ada yang mencoba menghubungkan atau menyetarakan ibadah badaniyah dengan ibadah puasa, (misalnya, dengan) dia mengatakan, ‘Sesungguhnya ibadah dzikir yaitu mengucapkan lâ ilâha illallâh memungkinkan untuk tidak terjangkiti riya karena ibadah ini khusus hanya dengan gerakan lisan saja dan tidak melibatkan anggota mulut lainnya. Artinya, orang yang berdzikir itu bisa mengucapkan kalimat dihadapan umat manusia akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.”[17]
Cobalah kita renungkan -semoga Allâh menjaga kita semua- apa yang dilakukan para as-salafus shaleh. Mereka tidak suka melihat orang yang menampakkan amalan terbaiknya. Ibrahim an-Nakhai’ rahimahullah mengisahkan tentang mereka dan ath-Thabari meriwayatkannya dari al-Hasan al-Bashri, dia mengatakan, “Sungguh kami telah berjumpa dengan suatu kaum yang mereka itu sejatinya mampu untuk melakukan banyak amal kebaikan di dunia ini secara rahasia namun mereka selalu mengerjakannya secara terang-terangan.”[18]
Bahkan saking keras usaha mereka untuk mewujudkan keikhlasan, ada diantara mereka merahasiakan ibadahnya dari keluarga yang ada di rumahnya. Ini disebutkan oleh Imam adz-Adzahabi t dari al-Fallâs rahimahullah, dia mengatakan bahwa al-Kharibi berkata, “Mereka dahulu senang bila seseorang memiliki amal shaleh yang disembunyikan sehingga tidak diketahui oleh pasangannya juga tidak diketahui oleh yang lainnya.” [19]
Imam adz-Dzahabi juga mengatkan bahwa al-Fallas rahimahullah mengatakan, “Aku pernah mendengar Ibnu Abi Adi mengatakan, ‘Daud bin Abi Hindun berpuasa 40 tahun, namun anggota keluarganya tidak ada yang mengetahuinya. Dia seorang pedagang sutera. Dia membawa makan siangnya lalu dia sedekahkan makanannya itu dalam perjalanannya.”[20]
Itulah para salaf kita shaleh. Mereka adalah kaum yang telah berusaha menghilangkan cinta ketenaran (popularitas) dan kedudukan (jabatan) dari hati mereka, sehingga mereka harus berpura-pura ketika terpaksa. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah meriwayatkan dari Sulaiman bin Harb dari Hammad, dia mengatakan, “Suatu ketika Ayyub saat berada dia sebuah majelis ilmu lalu ada suatu ibrah (pelajaran) yang membuatnya (tersentuh sehingga menangis lalu) berpura-pura membuang ingus sembari berkata, ‘Alangkah beratnya flu ini.’[21]“[22]
Dan mereka berbeda-beda tingkatannya dalam menyembunyikan ibadahnya. Imam adz-Dzahabi rahimahullah membawakan perkataan Ibnu Wahhab, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih merahasiakan amalannya dibandingkan dengan Haiwah.” [23]
Bahkan ada diantara para ahli ilmu zaman dahulu yang sengaja menyembunyikan tulisan ilmiyah sehingga tidak diketahui kecuali setelah mereka wafat, seperti kitab-kitab al-Hasan al-Mawardi sebagaimana disebutkan Ibnu Khullakan dalam Wafiyat al-A’yan. [24]
MANFAAT IKHLAS
Manfaat keikhlasan itu sangat banyak dan balasannya sangat tinggi dan agung. Seandainyapun, keikhlasan dan merahasiakan ibadah dari manusia hanya dibalas dengan kecintaan Allâh saja maka itu itu sudah sangat cukup sebagai sebuah kemuliaan dan keutamaannya. Imam Muslim meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas Radhiyallahu anhu secara marfu’;
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
Sesungguhnya Allâh mencintai seorang hamba yang bertakwa, al- ghani (yang merasa cukup) dan al- khafi (yang menyembunyikan amalannya)[25]
Dan telah tetap secara syariat dan ketentuan taqdir Allâh, sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amalan. Sebagaimana seorang hamba merahasiakan amalannya dari manusia di dunia maka Allâh Azza wa Jalla akan merahasiakan balasannya sebagai balasan yang setimpal. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan .[As-Sajdah/32:17]
Imam ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata, “Mereka menyembunyikan amalan di dunia maka Allâh Azza wa Jalla pun memberikan mereka pahala dengan sebab amalan-amalan mereka.”[26]
Kemudian ketahuilah -semoga Allâh merahmati kita- sesungguhnya memperlihatkan amalan kepada manusia, semua tercela kecuali jika dengan memperlihatkannya ada maslahat yang sesuai syariat. Ibnul Qayim rahimahullah mengumpamakan dengan seseorang yang bersedekah secara terang-terangan agar orang lain termotivasi untuk bersedekah dan memberi, lalu beliau t mengatakan, “Perbuatan memperlihatkan amalan seperti ini terpuji karena yang mendorongnya untuk melakukan itu bukan keinginan untuk mendapatkan pujian dan pengagungan serta pelakunya layak untuk mendapatkan pahala sebagaimana pahala mereka yang bersedekah (karena mengikutinya).”[27]
Jadi, beliau t mengembalikan permasalahan ini kepada apakah amalan itu bermanfaat bila dilihat oleh orang lain? Masuk dalam hal ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.[An-Nisa/4:114].
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menegaskan bahwa tidak ada kebaikan pada mayoritas bisik-bisikan yang dilakukan oleh umat manusia kecuali bisik-bisikan dalam masalah memerintahkan kepada yang ma’ruf. Dan diantara yang ma’ruf itu, Allâh Azza wa Jalla secara khusus menyebutkan ibadah sedekah dan mendamaikan umat manusia karena manfaat dari kedua ibadah ini bersifat umum atau dirasakan oleh orang banyak.
Setelah membawakan perkataan di atas, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Berbeda dengan orang yang shalat, berpuasa dan berdzikir kepada Allâh dengan tujuan meraih harta dunia, maka sungguh tidak ada kebaikannya sama sekali, karena tidak memberikan manfaat kepada seorang pun kecuali menjadikan seseorang mengikuti hal itu.”[28]
Sebagai penyempurna keikhlasan yaitu membersihkan amalan dari semua cela atau kotoran. Jika saat beramal, tiba-tiba muncul keinginan untuk dilihat orang, maka ia harus berusaha menghilangkannya namun ia tidak boleh meninggalkan amalan tersebut karenanya. Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia maka itu adalah riya sedangkan beramal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas adalah jika Allâh Azza wa Jalla menyelamatkanmu dari kedua hal itu.”[29]
Wallahu a’lam wa shallahu a’la nabiyyina Muhammad wa a’la alihi wa shahbihi ajmain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari Majalah al-Ishlah, edisi 2/thn. ke-10
[2] (2/91)
[3] (5/348)
[4] Tafsîr Ath-Thabari; 3/92
[5] Al-Mu’jamul Kabîr (19/421) di dalam sanadnya ada orang yang bernama Shadaqah bin Abdillah as-Samiin. Orang ini dinilai lemah oleh Imam al-Bukhari dan lainnya. Namun hadits ini mempunyai syawahid (penguat) yang membuatnya naik ke derajat shahih, lihat Shahih jami’ (3759)
[6] Shahîh al-Bukhâri, no. 620 dan Shahîh Muslim, no. 1712. Mereka berdua meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7] Fat-hul Bâri, 2/147. Lihat ats-Tsamarul Mustathaab, 2/629
[8] Siyar A’lam Nubala, 4/393
[9] Sunan Abu Daud, no. 1917; Sunan Nasa’i, no. 660; Ahmad, 4/157. Hadits ini shahih. Lihat Shahîhul Jâmi’, no. 8102
[10] Al-Musnad, 4/335. Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Syahr bin Husyab. Imam Ibnu Majah, no. 1241 membawakannya dengan lafadz, yang artinya, “Apakah ada waktu yang paling dicintai Allâh daripada waktu yang lainnya?” Dan hadits ini shahih dari seluruh jalannya. Lihat Shahîhul Jâmi, no. 1106
[11] Jâmi’ at-Tirmidzi, no. 2409. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Kubra, 2/202 dan ad-Darimi dalam kitab sunannya, 1/405. Hadits ini shahih. Lihat Shahîhul Jâmi (7865)
[12] Al-Mu’jamul Kabîr, 8/46. Sanad hadits ini hasan, karena ada Muhammad Ibnu Mush’ab al-Qarqashai. Dia dipandang lemah oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya. Namun dia dinilai tsiqah oleh Imam Ahmad. Lihat Shahîhul Jâmi’, no. 4217
[13] Az-Zuhd, 2/444. Juga diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 1/392
[14] Syuabul Iman, 5/352. juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasqa, 22/68 dan Abu Nuaim di Hilyah, 3/240 dengan lafadz, “Uktum hasanataka”
[15] Shahih al-Bukhâri, no. 1771 dan Shahîh Muslim, no. 1942 dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[16] Gharîbul Hadîts, 2/195. Lihat juga Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Bathaal, 4/8 dan Miftah Daarus Sa’adah, 2/323
[17] Fat-hul Bâri, 4/108
[18] Tafsir ath-Thabari, 8/206
[19] Siyar A’lam An-Nubala, 6/378
[20] Siyar A’lam An-Nubala, 6/20
[21] Ini sengaja beliau lakukan untuk menyembunyikan perasaan tersentuh beliau rahimahullah.
[22] Siyar A’lam An-Nubala, 6/405
[23] Siyar A’lam An-Nubala, 6/408
[24] Wafiyat al-A’yan; 3/228
[25] Shahîh Muslim, no. 5266
[26] Tafsir ath-Thabari, 21/106
[27] Madarijus Salikin, 2/85
[28] Jamiul Ulum wal Hikam, 1/12
[29] Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, 5/347 dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 8/95
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11554-ibadah-dirahasiakan-atau-ditampakkan.html