Beranda | Artikel
Thawâf Wadâ
Selasa, 16 Oktober 2018

THAWAF WADA’

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Disyariatkan bagi orang yang pergi meninggalkan Mekah untuk memberikan penghormatan kepada Ka’bah dengan melakukan thawâf. Sebagaimana juga disyariatkan bagi yang memasuki Mekah untuk segera melakukan thawâf untuk menghormati Ka’bah. Sehingga amalan terakhir adalah thawâf agar menjadi ungkapan perpisahan setelah melakukan ibadah agung dan menyelesaikan manasiknya.

Biasanya setelah menyelesaikan seluruh manasik haji, para jamaah haji pulang ke negerinya meninggalkan kota Mekah. Oleh karena itu mereka diperintahkan untuk menjadikan amalan akhir mereka di Ka’bah adalah thawâf, seperti dijelaskan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dalam pernyataan beliau Radhiyallahu anhu :

كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Orang-orang dari mana-mana meninggalkan (kota Mekah), Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Janganlah seorang pergi meninggalkan (Mekah) hingga akhir amalannya adalah thawâf di Ka’bah. (HR. Muslim 2/963).

Hikmahnya –wallahu a’lam – adalah untuk mengagungkan Ka’bah sehingga menjadi bukti diawal dan akhir dengan thawâf karena itu adalah maksud utama dari bepergian haji tersebut.

HUKUM THAWAF WADA DALAM HAJI
Para Ulama menyepakati pensyariatan thawâf Wadâ’ dan mereka juga sepakat bahwa pensyari’atan thawaf ini gugur dari wanita haidh kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu , Ibnu Umar dan Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhum yang menyatakan bahwa wanita haidh tetap wajib melakukan thawaf.

Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Umumnya ahli fikih di penjuru negeri berpendapat tidak wajib bagi wanita haidh yang telah menunaikan thawâf Ifâdhah untuk melakukan thawâf Wadâ’. Telah diriwayatkan kepada kami dari Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu , Ibnu Umar dan Zaid bin Tsâbit g bahwa mereka memerintahkan kaum wanita untuk tinggal (di Mekah-red) apabila dalam keadaan haid agar bisa menunaikan thawâf Wadâ’, seakan-akan mereka mewajibkannya atas wanita haidh sebagaimana diwajibkan atas mereka untuk melakukan thawâf Ifadhah, karena seandainya mengalami haidh sebelumnya, maka thawâf Ifâdhah tidak gugur atasnya..

Kemudian beliau berkata, “Telah ada ruju’[1] Ibnu Umar dan Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhuma atas pendapat tersebut dan tinggal Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu yang tetap berpendapat demikian. Namun kita menyelisihi Umar Radhiyallahu anhu dalam hal ini karena adanya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan al-Qâsim bin Muhammad rahimahullah yang menyatakan: Dahulu para Sahabat menyatakan, ‘Apabila wanita haidh telah melakukan thawâf Ifâdhah sebelum datang haidh, maka dia telah selesai, kecuali Umar. [Fathul Bâri, 3/587].

Gugurnya pensyariatan thawâf Wadâ’ atas wanita haidh banyak hadits, diantaranya hadits ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ

Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan thawâf di Ka’bah sebagai amalan terakhir mereka, kecuali diringankan untuk wanita haidh. [HR. Al-Bukhâri 2/149 dan Muslim 4/93]

Juga riwayat dari Thâwus rahimahullah yang berkata:

كُنْتُ مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ إِذْ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: تُفْتِي أَنْ تَصْدُرَ الْحَائِضُ، قَبْلَ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهَا بِالْبَيْتِ»، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِمَّا لَا، فَسَلْ فُلَانَةَ الْأَنْصَارِيَّةَ، هَلْ أَمَرَهَا بِذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: فَرَجَعَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ يَضْحَكُ وَهُوَ يَقُولُ: مَا أَرَاكَ إِلَّا قَدْ صَدَقْتَ

Aku dulu bersama Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu ketika sekonyong-konyong Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu berkata, ‘Apakah kamu berfatwa bolehnya wanita hadih meninggalkan kota Mekah sebelum melakukan thawâf Wadâ’ ? Lalu Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Kenapa tidak? Tanyalah kepada Fulanah al-Anshariyah, apakah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkannya?’ Thawus berkata, “Lalu Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu kembali kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu seraya tertawa dan berkata, ‘Saya lihat engkau benar.`” [HR. Muslim 4/93]

Dengan demikian jelaslah bahwa thawâf Wadâ’ disepakati pensyariatannya kecuali untuk wanita haidh. Lalu para Ulama berbeda pendapat tentang hukum thawâf Wadâ’ itu sendiri, apakah diwajibkan atau hanya disunnahkan saja? Dalam hal ini para Ulama terbagi dalam dua pendapat:

1. Thawâf Wadâ’ hukumnya wajib bagi orang yang berhaji dan wajib membayar dam bagi yang meninggalkannya. Hanya saja dimaafkan untuk wanita haidh dan nifas. Inilah pendapat mayoritas Ulama, diantaranya Abu Hanifah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah dalam riwayat yang masyhur. Juga pendapat al-Hasan al-Bashri rahimahullah, Hamâd rahimahullah dan Sufyân ats-Tsauri[2]

Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan: Inilah pendapat mayoritas Ulama. [3]

Dasar pendapat ini:

a. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ

Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan thawâf di Ka’bah sebagai amalan terakhir mereka, kecuali diringankan untuk wanita haidh. (HR al-Bukhâri 2/149 dan Muslim 4/93)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Hadits ini berisi dalil tentang kewajiban thawâf Wadâ’  karena ada perintah yang dikuatkan dan karena ungkapan adanya keringanan bagi wanita haidh. [4]

b. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang lainnya berbunyi:

كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ

Orang-orang dari mana-mana meninggalkan (kota Mekah), Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Janganlah seorang pergi meninggalkan (Mekah) hingga akhir amalannya adalah thawâf di Ka’bah. [HR. Muslim 2/963].

Hadits menguatkan hadits sebelumnya karena berisi larangan dari meninggalkan Mekah tanpa thawâf Wadâ’, sehingga perintah dalam hadits pertama dan larangan dalam hadits kedua menguatkan kewajibannya. [5]

An-Nawai rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi dalil untuk pendapat yang mewajibkan thawâf Wadâ’ dan apabila ditinggalkan maka harus membayar Dam dan inilah pendapat yang shahih menurut madzhab kami dan ini pendapat mayoritas Ulama.”[6]

c. Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para Sahabatnya yang melakukan thawâf Wadâ’ sebelum meninggalkan Mekah menuju Madinah.

d. Pengkhususan wanita haidh dengan penguguran thawâf Wadâ’ baginya adalah dalil yang menunjukkan kewajiban bagi selain wanita haid.

e. Atsar dari Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu yang menyatakan:

لاَ يَصْدُرَنَّ أَحَدٌ مِنَ الْحَاجِّ، حَتَّى يَطُوفَ بِالْبَيْتِ، فَإِنَّ آخِرَ النُّسُكِ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ.

Janganlah seorang yang berhaji meninggalkan (Mekah) hingga thawâf di ka’bah, karena akhir manasik adalah thawâf di Ka’bah. [HR. Mâlik dalam al-Muwatha’ 1/369, al-Baihaqi dalam Sunannya 5/161 dengan sanad yang shahih kepada Umar Radhiyallahu anhu].

2. Hukumnya Sunnah atau tidak wajib dan tidak ada kewajiban apapun bagi yang meninggalkannya.
Inilah pendapat Mâlik dan Ahmad dalam satu riwayatnya serta satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. [7] Dasar pendapat ini:

a. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berkata:

حَاضَتْ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ بَعْدَ مَا أَفَاضَتْ، فَذَكَرْتُ حِيضَتَهَا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ كَانَتْ أَفَاضَتْ وَطَافَتْ بِالْبَيْتِ، ثُمَّ حَاضَتْ بَعْدَ الْإِفَاضَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَلْتَنْفِرْ»،

Shafiyah bintu Huyay mengalami haidh setelah melakukan thawâf Ifâdhah. Lalu saya sampaikan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang haidnya , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Apakah dia akan menahan kita?” Lalu saya sampaikan, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya Shafiyah telah melakukan thawâf Ifâdhah kemudian haidh setelah thawâf ifâdhah.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Hendaklah dia berangkat (pulang).” [HR. Al-Bukhâri 2/149 dan Muslim 4/93]

Al-Bâji rahimahullah berkata: Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam khawatir Shafiyyah Radhiyallahu anhjuma belum melakukan thawâf Ifâdhah dan akan menahan mereka di Mekah. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahun anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah Radhiyallahu anhuma telah melakukan thawâf ifâdhah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Keluarlah!’ dan hal itu tidak menahan mereka karena udzur thawâf Wadâ’  atas Shafiyyah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam khawatir menahan mereka karena udzur thawâf Ifâdhah.[8]

b. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ

Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan thawâf di Ka’bah sebagai amalan terakhir mereka, kecuali diringankan untuk wanita haidh. [HR. Al-Bukhâri 2/149 dan Muslim 4/93]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam memberi keringanan kepada wanita haidh untuk tidak thawâf Wadâ’  dan tidak memerintahkannya membayar dam dan yang lainnya. Seandainya hukumnya wajib tentulah diperintahkan untuk membayar dam dan tentu juga diwajibkan atasnya seperti pada thawâf Ifâdhah. Juga karena thawâf Wadâ’ untuk menghormati Ka’bah maka ia lebih serupa dengan thawâf Qudûm. [9]

c. Thawâf Wadâ’ dilakukan untuk melepas sehingga tidak wajib seperti halnya thawâf Qudûm untuk menghormati Ka’bah.

d. Thawâf Wadâ’ dilakukan setelah diperbolehkan melakukan hubungan suami istri sehingga lebih mirip kepada thawâf Tathawwu’. [10]

TARJIH
Pendapat yang rajah menurut penulis adalah pendapat pertama yang mewajibkan thawâf Wadâ’ bagi orang yang berhaji yang bukan penduduk Mekah, dengan alasan sebagai berikut:

1. Hadits-hadits yang shahih dan jelas menunjukkan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk melakukan thawâf Wadâ’. Perintah itu menuntut adanya kewajiban. Hal ini dikuatkan dengan larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dari meninggalkan Mekah tanpa thawâf Wadâ’.

2. Argumentasi pendapat kedua lemah, sebab argumentasi mereka dengan alasan keringanan wanita haidh dijawab dengan argumentasi pendapat kedua bahwa pengkhususan wanita haidh dengan penguguran thawâf Wadâ’ menunjukkan kewajiban bagi selain wanita haid, karena seandainya gugur dari seluruh orang yang berhaji, maka pengkhususannya tidak ada artinya.

Demikian juga pengguguran thawâf Wadâ’ dari wanita haidh karena adanya udzur syar’i yang tidak memungkinkannya melakukan thawâf Wadâ’ bukan karena tidak diwajibkan. Dasarnya adalah Shalat yang diwajibkan secara ijma’ dan gugur dari wanita haidh dan nifas. Sehingga pengguguran thawâf Wadâ’ adalah bentuk keringanan sehingga mereka tidak tertahan dari meninggalkan kota Mekah. [11]

3. Analogi thawâf Wadâ’ dengan thawâf Qudûm tidak bisa diterima karena jelas berbeda. Hal itu karena thawâf Wadâ’ ada perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam sedangkan thawâf Qudûm tidak ada.

4. Alasan pendapat kedua bahwa thawâf Wadâ’ dilakukan setelah boleh berhubungan suami istri sehingga tidak wajib juga cukup lemah, karena hal itu tidak menunjukkan tidak wajib, sebab melempar jumrah di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, padahal dilakukan setalah tahallul dan dibolehkan berhubungan suami istri apabila telah melempar jamruh aqabah, mencukur rambut dan thawâf ifadhah. Wallahu a’lam.

HUKUM THAWAF WADA DALAM UMRAH
Setelah mengetahui hukum thawâf Wadâ’  dalam haji maka apakah dalam umrah juga diwajibkan thawâf Wadâ’?
Para Ulama berbeda pendapat pada masalah ini dalam dua pendapat:

1. Hukumnya wajib. Inilah pendapat sebagian Ulama Hanafiyah yang diantaranya al-Hasan bin Ziyâd rahimahullah dan Ibnu Hazm [12]

Dalil dari pendapat ini adalah:

a. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau berkata:

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ

Orang-orang diperintahkan untuk menjadikan thawâf di ka’bah sebagai amalan terakhir mereka, kecuali diringankan untuk wanita haidh. [HR. Al-Bukhâri 2/149 dan Muslim 4/93]

Hadits ini bersifat umum berisi perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk melakukan thawâf Wadâ’. Sebagaimana thawâf Wadâ’ diwajibkan pada haji demikian juga diwajibkan pada umroh karena keumuman hadits ini.

b. Hadits Ya’la bin Umayyah Radhiyallahu anhu , beliau berkata:

كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ عَلَيْهِ جُبَّةٌ فِيهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ أَوْ نَحْوُهُ، كَانَ عُمَرُ يَقُولُ لِي: تُحِبُّ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الوَحْيُ أَنْ تَرَاهُ؟ فَنَزَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ، فَقَالَ: «اصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ مَا تَصْنَعُ فِي حَجِّكَ»،

Aku dahulu pernah bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam lalu seorang datang dengan mengenakan jubah terlihat padanya bekas warna minyak wangi atau sejenisnya. Umar Radhiyallahu anhu berkata kepadaku: Kamu ingin melihat turunnya wahyu kepada Beliau? Lalu turunlah wahyu kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam sadar lagi dan berkata: Lakukan pada umrahmu yang kamu perbuat pada hajimu [HR. al-Bukhâri 2/557].

Semua amalan yang dilakukan dalam haji dilakukan dalam umrah juga, karena haditsnya bersifat umum dan tidak keluar dari keumuman kecuali yang disepakati para Ulama seperti wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Mudzdalifah, bermalam di Mina dan melempar jumrah. Hal ini karena ijma’ menetapkan hal-hal ini bukan termasuk disyariatkan dalam umrah.

c. Hadits Abdullah bin Aus Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَنْ حَجَّ هَذَا البَيْتَ أَوْ اعْتَمَرَ فَلْيَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ بِالبَيْتِ»، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: خَرَرْتَ مِنْ يَدَيْكَ، سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ تُخْبِرْنَا بِهِ

Siapa yang yang berhaji ke Ka’bah atau berumroh maka hendaknya thawâf Wadâ’. Lalu Umar Radhiyallahu anhu berkata kepadanya: Kamu keterlaluan, Kamu telah mendengar hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan tidak memberitahukan kami. [HR. At-Tirmidzi, no. 946 dan dihukumi hadits yang lemah oleh Syaikh al Albani rahimahullah].

d. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang lainnya berbunyi:

كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ»

Orang-orang dari mana-mana meninggalkan (kota Mekah), Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Janganlah seorang pergi meninggalkan (Mekah) hingga akhir amalannya adalah thawâf di Ka’bah. [HR Muslim 2/963].

Larangan meninggalkan Mekah sebelum thawâf Wadâ’  umum mencakup haji dan umrah.

2. Hukumnya tidak wajib tetapi sunah. Inilah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Mâlik rahimahullah , asy-Syâfi’i rahimahullah , Ahmad rahimahullah dan yang masyhur dari Abu Hanifah rahimahullah.[13]

Dasar pendapat ini adalah:

a. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dalam pernyataan beliau:

كَانَ النَّاسُ يَنْصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجْهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِ بِالْبَيْتِ»

Orang-orang dari mana-mana meninggalkan (kota Mekah), Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Janganlah seorang pergi meninggalkan (Mekah) hingga akhir amalannya adalah thawâf di Ka’bah.” [HR. Muslim 2/963].

Hadits ini menunjukkan Tawaf Wada’ hanya untuk haji saja.

b. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam melakukan thawâf Wadâ’ hanya di ibadah haji saja dan itu dilakukan di Haji Wada’ dan tidak melakukannya dalam Umrah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .

c. Perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam yang melakukan thawâf Wadâ’ dan memerintahkannya serta bersabda:

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariKu manasik kalian.

Hal ini menunjukkan thawâf Wadâ’ termasuk manasik haji bukan umroh.

TARJIH.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak wajib pada umrah dengan alasan berikut:

1. Semua hadits yang memerintahkan thawâf Wadâ’ bersifat mutlak dan dijelaskan oleh hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa itu khusus untuk jamaah haji yang akan meninggalkan Mekah untuk kembali ke daerah asalnya.

2. Adapun argumentasi dengan hadits Ya’la bin Umayyah tidak bisa diterima dan lemah karena:

a. Hadits tersebut tidak pasti jelas mewajibkan thawâf Wadâ’ pada umrah

b. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyampaikan hal itu di Ju’ranah. Kejadiannya tersebut dibulan Dzulqa’dah tahun kedelapan hijriyah setelah pembagian harta rampasan perang Hunain. Padahal perintah thawâf Wadâ’ terjadi pada haji Wada’ di tahun kesepuluh hijriyah. Bagaimana bisa thawâf Wadâ’ masuk dalam keumuman perintah dalam hadits ini padahal belum diperintahkan?

c. Dalam riwayat imam Muslim berbunyi:

«مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ؟» قَالَ: أَنْزِعُ عَنِّي هَذِهِ الثِّيَابَ، وَأَغْسِلُ عَنِّي هَذَا الْخَلُوقَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ، فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ»

Apa yang telah kamu lakukan dalam hajimu? Orang tersebut menjawab: Aku melepas baju ini dariku dan aku menghilangkan minyak wangi dariku. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Apa yang telah kamu lakukan di Hajimu maka lakukanlah dalam umrahmu.

Hal ini menunjukkan yang dimaksud adalah tata cara ihram yang ditanyakan orang tersebut, bukan semua manasik.

3. Lemahnya hadits Abdullah bin Aus Radhiyallahu anhu seperti yang disampaiakan imam at-Tirmidzi t , al-Mundziri rahimahullah dan Syeikh al-Albani rahimahullah.

Pendapat ini juga dirajihkan Syaikh bin Bâz dan Lajnah Dâ’imah Lil Iftah (dewan fatwa nasional) Kerajaan Saudi Arabia.

Dengan demikian jelaslah bahwa thawâf Wadâ’ dalam umroh hukumnya tidak wajib. Wallahu a’lam.

BEBERAPA FATWA SEPUTAR THAWAF WADA’ DALAM UMRAH

Pertanyaan.
Aku memiliki saudara yang datang dari Yaman dan ingin melaksanakan manasik ‘umrah. Kemudian ia pergi ke Mekah dan melaksanakan ‘umrah saat itu. Lalu setelah itu ia berziarah ke Masjid Nabawi. Selama masih dalam safar tersebut, ia kembali lagi ke Mekah al-Mukarramah untuk menunaikan ‘umrah. Saat itu ia melakukan sekali thawâf  dan tidak melakukan thawâf Wadâ’  (Thawâf perpisahan) karena ketidaktahuannya. Lalu setelah itu pada hari yang sama setelah ‘umroh, ia kembali ke Yaman. Apa yang harus ia lakukan saat ini (karena tidak melakukan thawâf Wadâ’ ), sedangkan ia saat ini di Yaman?

Jawab Syaikh Ibnu Bâz rahimahullah:
Dalam ‘umrah sebenarnya tidak ada thawâf Wadâ’  dan orang yang meninggalkannya tidak ada kewajiban apa-apa untuk menebusnya. thawâf Wadâ’  hanyalah afdholiyah saja dan bukan suatu yang wajib saat ‘umroh. Inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang dipilih jumhur (mayoritas) ulama. Mayoritas ulama berpendapat demikian bahwa dalam ‘umroh tidak ada kewajiban thawâf Wadâ’ . Thowaf wada’ hanya wajib dilakukan ketika menunaikan haji. Itu berarti saudara Anda tersebut tidak ada kewajiban untuk menembus apa-apa. Walhamdulillah. Wa barokallahu fiikum.[14]

APAKAH UMRAH ADA THAWAF WADA’?

Apakah umrah di selain ibadah haji ada thawâf Wadâ’  atau tidak?

Jawab : Alhamdulillah. Disyariatkan bagi orang yang melakukan umrah, khususnya jika dia tinggal di Mekah setelah melaksanakan umrah untuk melakukan thawâf Wadâ’  saat dia keluar dari Mekah Almukaramah. Namun tidak diwajibkan baginya hal tersebut menurut salah satu dari dua pendapat ulama.

Wabillahittaufiq, shalawat dan salam semoga terlimpat kepada Nabi kita Muhamad, keluarga dan sahabatnya.

Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta.

Ditanda tangani oleh Syekh AbdulAzîz bin Abdullâh bin Bâz, Syekh Abdurrazâq Afifi, Syekh Abdullâh bin Qu’ûd.[15]

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Menarik kembali pendapatnya dan mengambil pendapat yang lain
[2] Badâ`i’ ash-Shanâ`i 3/104, al-Majmû’ 8/271, al-Mughni 3/316
[3] Syarh Shahih Muslim 9/78
[4] Fat-hul Bâri, 3/747
[5] Lihat Mansak al-Imam asy-Syinqithy, 1/265
[6] Syarh Shahih Muslim, 9/79
[7] Hâsyiyah ad-Dasûqi, 2/53 dan al-Majmû’ 8/254
[8] Al-Muntaqa Syarhi al-Muwatha’ Mâlik, 2/293
[9] Lihat al-Mughni, 3/458 dan Badâ`i’ ash-Shanâ`i 2/42
[10] Al-Istidzkâr 13/265
[11] Majmu’ al-Fatawa, 26/261
[12] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/227 dan al-Muhalla 7/171
[13] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/227, Mawâhibul Jalîl 3/64
[14] http://www.binbaz.org.sa/mat/19150
[15] Fatâwa Lajnah Dâ`imah, 11/298-299


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9880-thawaf-wada.html