Beranda | Artikel
Mahar
Senin, 25 Desember 2023

KITAB NIKAH

Mahar 
Islam telah mengangkat kedudukan wanita dan memberinya hak untuk bisa memiliki, mewajibkan untuknya mahar ketika menikah, dengan menjadikan hal tersebut sebuah hak baginya dari laki-laki sebagai tanda kemuliaan baginya; keagungan untuk dirinya serta perasaan akan keberhargaannya, sebagai pengganti bagi dia yang mencumbuinya, mengharumkan dirinya serta keridhoannya terhadap bimbingan laki-laki terhadapnya.

Allah berfirman:

قال الله تعالى: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا  [النساء/4]

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagian pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” [An-Nisaa/4: 4].

Mahar merupakan sebuah hak bagi wanita, wajib bagi laki-laki untuk memberikan kepadanya untuk menghalalkan kemaluannya, dan tidak halal bagi siapapun untuk mengambil sedikitpun darinya kecuali dengan ridhonya, khusus untuk ayahnya dibolehkan mengambil dari mahar tersebut apa-apa yang sekiranya tidak akan merugikannya dan tidak pula diperlukan olehnya, walau tanpa idzin darinya.

Ukuran mahar bagi seorang wanita.
Dianjurkan bagi seorang wanita untuk meringankan maharnya, mempermudahnya, karena sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan. Mahar jika terlalu besar akan menjadi penyebab kemurkaan seorang suami terhadap isterinya. Bahkan dia akan menjadi haram jika telah mencapai derajat berlebih-lebihan dan menjadi sebuah kebanggaan, sehingga memberatkan suami dengan berhutang dan meminta karenanya.

عن أبي سلمة أنه سأل عائشة رضي الله عنها: كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ الله- صلى الله عليه وسلم-؟ قَالَتْ: كَانَ صَدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوْقِيةً وَنَشّاً، قَالَتْ: أَتَدْرِي مَا النَّشُّ؟ قَالَ: قُلْتُ: لا. قَالَتْ: نِصْفُ أُوْقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَهَذَا صَدَاقُ رَسُولِ الله- صلى الله عليه وسلم- لأَزْوَاجِهِ. أخرجه مسلم

Bahwasanya Abu Salamah bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu anhu: berapa banyakkah mahar yang dibayarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? dia menjawab: mahar beliau terhadap isteri-isterinya sebesar sepuluh uqiyyah dan nassya, bertanya Aisyah: Tahukah kamu apa itu nassya? Aku menjawab : Tidak. Dia berkata: Setengah uqiyyah, jadi jumlah seluruhnya limaratus dirham, itulah mahar yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada isteri-isterinya. (H.R Muslim)[1].

Pada waktu itu mahar yang diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para isterinya limaratus dirham, untuk sekarang kira-kira menyamai (140) Riyal Saudi. Sedangkan mahar putri-putri beliau sebesar empatratus dirham, untuk sekarang kira-kira menyamai (110) Riyal Saudi, dan bagi kita Rasulullah SAW merupakan suri tauladan dalam kebaikan dengan memperhatikan perbedaan jaman, harga dan nilai barang.

Segala sesuatu yang berharga bisa dijadikan mahar, walaupun murah, tidak ada batas bagi besarnya mahar. Laki-laki miskin boleh membayar mahar dengan sesuatu yang bermanfaat, seperti mengajarkan Al-Qur’an, menjadi pelayan dan lainnya. Boleh juga bagi seorang laki untuk memerdekakan budak perempuannya lalu menjadikan kemerdekaan tersebut sebagai mahar dan menjadikannya isteri.

Dianjurkan agar mahar disegerakan, namun dia boleh diakhrikan, atau dengan membayar sebagiannya dengan segera, lalu sisanya diakhirkan. Jika dalam akad nikah tidak disebutkan jumlah mahar, pernikahan tetap sah dan dia wajib membayar mahar yang besarnya sama dengan mahar yang memasyarakat disana, akan tetapi jika keduanya saling bersepakat, walaupun atas sesuatu yang sedikit, pernikahannya tetap sah.

Jika seorang ayah menikahkan putrinya dengan mahar yang sesuai, atau lebih sedikit ataupun lebih banyak, sah nikahnya. Hanya dengan akad saja mahar itu menjadi milik putri tadi, dan akan menjadi milik dia sepenuhnya setelah dipertemukan dan berduaan dengan suaminya.

Apabila seorang suami meninggal setelah akad nikah tetapi belum berjima’ (bersetubuh) dengan isterinya dan juga belum menyebutkan jumlah mahar, maka mempelai wanita berhak untuk mendapat mahar yang sesuai dengan besarnya apa yang didapat oleh wanita sekitarnya, dia langsung melaksanakan iddah dan berhak atas harta warisan.

Diwajibkan untuk menerima mahar yang sesuai dengan kebiasaan daerah setempat bagi wanita yang disetubuhi dengan pernikahan yang tidak sah, seperti ketika dijadikan isteri kelima, dinikahi masih dalam iddahnya, digauli yang disebabkan oleh sesuatu yang syubhat dan lainnya.

Apabila terjadi perselisihan diantara pasangan suami-isteri dalam jumlah ataupun jenis mahar, maka yang dipegang adalah ucapan suami setelah dia bersumpah, akan tetapi jika perselisihan tersebut dalam permasalahan sudah menerima ataupun belumnya mahar, maka yang dipegang adalah perkataan isteri selama tidak terdapat bukti dari kedua belah fihak.

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Nikah dan Permasalahan Terkait كتاب النكاح وتوابعه). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
______
Footnote
[1] Riwayat Muslim nomer (1426).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/95290-mahar.html