Menghormati dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
MENGHORMATI DAN MENGAGUNGKAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Di samping harus lebih dicintai dibanding semua orang lain, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memiliki beberapa hak lainnya yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim. Dan ini harus sudah mulai ditanamkan ke dalam jiwa anak sedini mungkin.
Di antaranya adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dihormati, dimuliakan dan diagungkan sesuai dengan kedudukannya. Namun tidak berlebih-lebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga seakan sejajar dengan Rabb, dan tidak pula dikurangi hingga seakan-akan sejajar dengan manusia biasa yang tidak memiliki kebenaran mutlak dalam kata-kata atau perbuatannya. Penghormatan serta pengagungan terhadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat masih hidup adalah dengan menghormati, memuliakan serta mengagungkan sunnah serta pribadi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun pada saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat, dan orang tidak lagi bisa berhadapan langsung dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka penghormatan serta pengagungan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menghormati, memuliakan dan mengagungkan sunnah serta syari’at-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1] Tentu juga dengan menghormati nama Beliau, misalnya dengan mengucapkan shalawat ketika mendengar nama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut. Orang yang tidak mau bershalawat ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut di hadapannya adalah orang bakhil.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
البَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ رواه الترمذي
Orang yang bakhil adalah orang yang ketika aku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat atasku. [HR. At-Tirmidzi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan shahîh.” Syaikh al-Albâni rahimahullah menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih].[2]
Penghormatan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat masih hidup, di antaranya seperti yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٢﴾ إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan rasul-Nya, dan bertakwalah kepad Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasûlullâh, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allâh untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. [Al-Hujurât/49:1-3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan bahwa dengan ayat-ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mendidik para hamba-Nya yang beriman terkait mu’amalah (tata pergaulan dan perilaku) terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu harus memuliakan, menghormati, dan mengagungkannya. [3]
Yaitu, tidak boleh mendahului perkataan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, harus bersikap sopan, tidak boleh berkata keras melampaui suara Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apabila berkata hendaklah dengan suara yang lebih rendah dari perkataan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan jika bersuara lebih keras, terancam dengan hilangnya pahala amalan-amalannya. Sebaliknya jika bersuara rendah dan penuh adab, dijanjikan ampunan dan pahala yang besar baginya. Ini penghormatan dan pengagungan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat masih hidup.
Selanjutnya al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata bahwa Allâh Azza wa Jalla (tentang ayat pertama) menyerukan kepada orang-orang beriman supaya tidak terburu-buru memutuskan segala sesuatu sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskannya. Tetapi hendaklah mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala hal.
Al-Hâfizh membawakan riwayat Ali bin Abi Thalhah Radhiyallahu anhu yang membawakan riwayat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang maksud ayat pertama. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Janganlah kamu berkata menyelisihi al-Qurʹâ dan Sunnah.
Juga membawakan riwayat-riwayat lain yang senada. [4]
Sedangkan ayat yang kedua, beliau rahimahullah menjelaskan, “Ini adab kedua yang dengannya Allâh Subhanahu wa Ta’ala mendidik kaum Muslimin, yaitu supaya mereka tidak boleh bersuara keras di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi suara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[5]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya[6] bahwa sebab turunnya ayat yang kedua terkait dengan Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma. al-Hâfizh membawakan hadits riwayat Bukhâri berikut:
عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: كَادَ الخَيِّرَانِ أَنْ يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، لَمَّا قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفْدُ بَنِي تَمِيمٍ، أَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ التَّمِيمِيِّ الحَنْظَلِيِّ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ، وَأَشَارَ الآخَرُ بِغَيْرِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ: إِنَّمَا أَرَدْتَ خِلاَفِي، فَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلاَفَكَ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ} [الحجرات: 2] إِلَى قَوْلِهِ {عَظِيمٌ} [الحجرات: 3]، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ، فَكَانَ عُمَرُ بَعْدُ، وَلَمْ يَذْكُرْ [ص:98] ذَلِكَ عَنْ أَبِيهِ يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ، إِذَا حَدَّثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِيثٍ حَدَّثَهُ كَأَخِي السِّرَارِ لَمْ يُسْمِعْهُ حَتَّى يَسْتَفْهِمَهُ. رواه البخاري
Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata:Hampir saja dua orang pilihan ini binasa; (yaitu) Abu bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma . Telah datang satu delegasi dari Bani Taîm kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (terkait siapa yang harus memimpin mereka). Salah seorang di antara Abu Bakar atau Umar Radhiyallahu anhuma mengisyaratkan (agar yang dipilih menjadi pimpinan Bani Tamîm adalah)[7] al-Aqra’ bin Hâbis at-Tamîmi al-Hanzhali, saudari Bani Mujâsyi’. Sementara seorang yang lain mengisyaratkan seorang yang lainnya. Maka Abu bakar berkata kepada Umar: Engkau hanya ingin menyelisihi aku. Umar menjawab: Tidak, aku tidak bermaksud menyelisihimu.
Maka suara keduanyapun meninggi di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka turunlah firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasûlullâh, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allâh untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Al-Hujurât/49: 2-3]
Ibnu Abi Mulaikah mengatakan: Ibnu az-Zubair Radhiyallahu anhma berkata: Maka sesudah itu Umar, bila berbicara sesuatu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seakan-akan berbicara masalah rahasia (karena suaranya pelan dan hati-hati sekali), sehingga kadang tidak kedengaran oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya. Tetapi Ibnu az-Zubair (hanya menyebut Umar Radhiyallahu anhu ) tidak menyebut-nyebut tentang kakeknya (yaitu Abu Bakar). [HR. Al-Bukhâri][8]
Berdasarkan hadits di atas, maka pasca turunnya ayat tersebut, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma tidak lagi berkata keras di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan, saking rendahnya suara Umar Radhiyallahu anhu, kadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai bertanya apa yang dikatakannya.
Itulah secara umum adab terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diajarkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya yang beriman, termasuk ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Sedangkan penghormatan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah wafat, adalah seperti yang disebutkan dalam ayat pertama di atas, yaitu harus mendahululakn ketentuan serta keputusan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dibanding ketentuan dan keputusan siapapun selain keduanya.
Imam Ibnu al-Qayyim t mempertegas makna ayat yang pertama sebagai berikut, “Janganlah engkau berkata sampai Allâh (dan RasulNya) berkata! Jangan engkau memerintahkan sampai Allâh (dan Rasul-Nya) memerintahkan! Jangan engkau berfatwa sampai Allâh (dan Rasul-Nya) berfatwa, dan jangan engkau memutuskan sampai Allâh (dan RasulNya) memberikan keputusannya.[9]
Artinya, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk berbicara tentang halal atau haram, wajib atau tidak wajib, boleh atau tidak boleh, dan lain-lainnya terkait urusan agama kecuali setelah memastikannya berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla atau sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak demikian, berarti ia telah berbuat lancang terhadap Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Itu juga berarti dia tidak memenuhi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Demikianlah secara sangat ringkas tentang hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dihormati, baik pribadi maupun syari’at serta petunjuk-petunjuknya pada saat Beliau hidup. Sedangkan setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka penghormatan kepada beliau adalah dengan menghormati, mengagungkan dan mengamalkan syari’at serta sunnah (ajaran)nya. Nash yang menjelaskan hal ini sesungguhnya sangat banyak, baik dalam al-Qurʹân al-Karîm maupun Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Maka betapa pentingnya menanamkan pendidikan tentang kewajiban menghormati, memuliakan dan mementingkan sabda-sabda, petunjuk-petunjuk, sunnah-sunnah dan ajaran-ajaran serta syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak semenjak usia dini, baik terkait dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, menyangkut semua sisi kehidupan di dunia ini. Sehingga tidak ada seorang muslimpun yang akan berani meremehkan setiap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasʹalullâah an Yuwaffiqanâ jamî’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Huqûq Da’at ilahâ al-fithrah wa qarrarathâ asy-Syarî’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hak yang kedua, hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , secara bebas.
[2] Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani Rahimahullâh. Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, KSA, cet. Terbaru, cet. I, 1420 H/2000 M. III/458, Kitâb ad-Da’awât, Bâb : 101, no. 3545
[3] Tafsîr Ibnu Katsîr, QS. Al-Hujurât : 1 dst. dengan terjemah bebas.
[4] Ibid, dengan terjemah bebas.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Fathu al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, VIII/591, Kitâb at-Tafsîr, Sûrah al-Hujurât, Bâb 1, no.4845.
[8] Shahîh Bukhâri, Kitâb al-I’tishâm bi al-Kitâb wa as-Sunnah, Bâb 5, no. 7302. Dalam Kitâb at-Tafsîr, Sûrah al-Hujurât, Bâb 1, no.4845.
[9] I’lâm al-Muwaqqi’în¸ Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah , tahqîq : Muhammad Muhyiddîn Abdul Hamîd, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. II, 1397 H/1977 M. I/51. Tentang ma’na at-Taqdîm Baina Yadayillâh wa Rasûlihi.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8520-menghormati-dan-mengagungkan-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html