Manfaat Jima
MANFAAT JIMA’
Oleh
Ustadz Ashim bin Musthofa
Setiap manusia memiliki nafsu syahwat yang Allâh Azza wa Jalla jadikan baik pada diri seorang lelaki maupun wanita. Keberadaan dorongan syahwat tersebut menyebabkan terjadinya kebutuhan antara kaum lelaki dengan kaum hawa. Karenanya, nasfsu syahwat tersebut selain menjadi bahan ujian bagi manusia, juga mendatangkan berbagai kemaslahatan.
Nafsu syahwat terhadap lawan jenis sangatlah berbahaya bagi manusia bila melepasnya sembarangan. Maka, Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan cara yang mulia sekaligus produktif untuk memenuhi kebutuhan biologis, yaitu dengan menciptakan wanita-wanita untuk menjadi istri-istri yang dihalalkan melalui akad nikah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir”. [Ar-Rûm/30:21]
Melakukan jima’ (hubungan badan) dengan pasangan yang sah akan mendatangkan berbagai manfaat dan kebaikan dan sekaligus menjauhkan seseorang dari keburukan-keburukan hubungan di luar nikah.
Seseorang yang mengikat diri pada hubungan yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , ia telah bersedekah dengan hal tersebut. Sebab, ia telah menjaga kehormatan dirinya dan kehormatan istrinya, dan juga karena ia juga telah mengambil peran dalam membangun umat dengan mengusahakan keturunan yang shalih. Maka, dalam pemenuhan syahwat itu ada kebaikan yang banyak dan manfaat yang agung. Ia telah melakukan sedekah. [1]
Hal ini pernah mengundang keheranan para Sahabat Nabi, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan istrinya) adalah sedekah”.
Mereka pun bertanya:” Apakah salah seorang dari kami memenuhi syahwatnya, dan ia memperoleh pahala di dalamnya”.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan sebuah analog i:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِيْ الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Bukankah kalian telah tahu, seandainya ia memenuhi syahwatnya dengan cara yang haram, ia akan menanggung dosa? Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya dengan cara yang halal, maka baginya pahala”. [HR. Muslim no.1006]
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memaparkan seseorang mendapat pahala dari hubungan intimnya dengan istri melalui jalan qiyas (analogi) dengan orang yang melepas nafsu syahwatnya dalam cara yang haram seperti zina atau hubungan liwâth, ia akan menanggung dosa.[2]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyimpulkan tujuan-tujuan jima’ dengan mengatakan, “Sesungguhnya pada prinsipnya, jima’ dilakukan untuk tiga perkara, dan itu merupakan maqashid (tujuan-tujuan) utamanya:
- Menjaga kelangsungan keturunan (manusia) dan eksistensi bangsa manusia hingga angka yang Allah tetapkan di alam ini.
- Mengeluarkan cairan yang akan mendatangkan kemadharatan pada keadaan badan bila cairan itu tertahan.
- Pemenuhan kebutuhan biologis, pencapaian kenikmatan dan menggapai kesenangan. Tujuan inilah yang akan dinikmati di surga, sebab di sana tidak ada kelahiran keturunan dan juga tidak ada sesuatu tertahan yang harus dikeluarkan.
Para ahli kesehatan yang ternama memandang bahwa persetubuhan dengan pasangan hidup merupakan salah satu faktor untuk menjaga kesehatan. Apabila air mani tertahan terus, maka akan menimbulkan penyakit-penyakit buruk, seperti was-was, gila, kesurupan dan lain-lain. Karena itu, secara alami, air mani akan terdorong keluar melalui mimpi basah bila berjumlah banyak, tanpa melalui jima.
Sebagian Ulama Salaf mengatakan, “Seyogyanya seseorang senantiasa menjaga tiga hal pada dirinya : agar tidak mengabaikan berjalan kaki, sebab bila ia harus berjalan, ia akan mampu ; sepatutnya tidak meninggalkan makan, sebab usus-ususnya akan menyempit, dan sepantasnya tidak meninggalkan jima’, sebab air sumur bila tidak ditimba, maka airnya akan habis”.
Selanjutnya, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan manfaat lain dari jima’ yaitu akan menahan pandangan, mengendalikan nafsu, mampu menjaga diri dari perbuatan haram dan mendatangkan tujuan tersebut juga pada istri. Jima’ bermanfaat bagi sang lelaki di dunia dan akhirat dan bermanfaat juga bagi sang istri”. [3]
Sedangkan Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Melalui pernikahan, tercapai kesenangan dan kenikmatan, serta manfaat berupa keberadaan anak-anak dan mendidik mereka”.[4]
Wallâhua’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1438H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]Al-Minhah ar-Rabbâniyyah fî Syarhi al-Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 211.
[2]Al-Minhah ar-Rabbâniyyah fî Syarhi al-Arba’în an-Nawawiyyah hlm. 211.
[3]Zâdul Ma’âd 4/228-229denganringkas.
[4]Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 588.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8271-manfaat-jima.html