Siapa saja yang melakukan suatu amal, ia berhak mendapatkan balasan. Ini adalah salah satu kaedah/ kaidah fikih yang disampaikan oleh para ulama, di antaranya Syaikh As-Sa’di dalam bait syairnya.
Kaidah Fikih
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam bait syair kaidah fikihnya berkata:
وَمَنْ أَتَى بِمَا عَلَيْهِ مِنْ عَمَلْ
قَدِ اسْتَحَقَّ مَا لَهُ عَلَى العَمَلْ
Orang yang memenuhi syarat dari suatu amal,
maka ia berhak mendapatkan balasan pahala atas amalnya.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah siapa saja yang melakukan suatu amalan atau pekerjaan yang ditetapkan adanya balasan, baik balasan duniawi maupun ukhrawi, maka ia berhak mendapatkan balasan tersebut asalkan terpenuhinya syarat (syuruth) dan terbebas dari penghalang (mawaani’).
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah ayat-ayat berikut ini.
Mengenai balasan ukhrawi disebutkan dalam ayat,
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)
Adapun balasan duniawi di antaranya mengenai perihal mahar sebagaimana dalam ayat,
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisaa’: 24)
Masalah menyusui hendaklah istri diberikan upahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, no. 2443. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Baca juga: Bayarkan Upah Sebelum Keringat Kering
Kaidah ini masuk dalam pembahasan ibadah, mu’amalat, upah, musabaqah (perlombaan), dan ju’alah*.
*Perbedaan akad ju’alah dan ijarah misalnya dalam ruqyah:
- Akad ju’alah, yaitu mempersyaratkan hasil (kesembuhan) baru dapat upah. Jadi, apabila tidak sembuh, maka tidak boleh dapat upah.
- Akad ijarah, yaitu yaitu jasa dengan bentuk yang jelas, waktu, jasanya, dan upah yang jelas. Misalnya ada yang meruqyah 30 menit non-stop dan dibayar sekian, meskipun tidak sembuh, boleh ambil upah.
Kalau upah dikaitkan dengan effort/ tindakan maka bisa memakai akad ijarah. Namun, jika dikaitkan dengan end result-nya maka akad yang bisa digunakan adalah ju’alah. Kedua akad tersebut sama-sama boleh dan dimungkinkan untuk digunakan.
Semoga kaidah ini bermanfaat.
Referensi:
- Syarh Al–Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qawa’id Al–Fiqhiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya. hlm. 128-129.
—
Selesai disusun di Ponpes Darush Sholihin, Malam Rabu, 19 Jumadal Ula 1444 H, 13 Desember 2022
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com