Bagaimanakah Rasulullah Menghidupkan Malam-Malamnya?
Qiyamullail, bangun di malam hari untuk salat dan melakukan ketaatan merupakan salah satu amal ibadah paling agung dan ketaatan yang yang paling disukai oleh Allah Ta’ala. Qiyamullail merupakan ciri khas orang-orang saleh serta identitas bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman memuji mereka yang cinta kepada kehidupan akhirat, lalu bersemangat di malam hari untuk qiyamullail,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ,
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman,
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (salat malam) karena salat amalan adalah kebiasaan orang saleh sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Salat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa.” (Lihat Irwa’ Al-Ghalil no. 452. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)
Pada bulan Ramadan yang suci ini, Allah Ta’ala perintahkan kita untuk berpuasa di siang hari dan Nabi anjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam-malamnya dengan qiyamullail (salat malam).
Sudah sepantasnya seorang muslim mengumpulkan energinya untuk bangun dan menghidupkan malamnya di bulan yang penuh berkah ini, sebagai bentuk kecintaan dan ketaatan kepada baginda kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa saja yang melakukan qiyam/ salat (di malam hari) Ramadan dengan dasar iman, dan berharap pahala serta rida Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim 759)
Di dalam menjalankan anjuran dan ajaran ini, cara yang benar dan sesuai sunah adalah mengikuti setiap petunjuk dan cara yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara sahih. Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk untuk menyimak kembali, tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghidupkan malam-malamnya, tentang bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat malamnya.
Berikut ini adalah hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kepada kita tentang bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam untuk melaksanakan salat.
[lwptoc]
Nabi terbiasa bangun untuk beribadah di malam hari, baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan yang lainnya
Hal ini beliau lakukan sepanjang tahun. Akan tetapi, saat sudah masuk Ramadan terlebih lagi di sepuluh hari terakhir, beliau akan mengikat kencang sarungnya, berdiri, dan menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan,
كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا دَخَلَ العَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ المِئْزَرَ.
“Jika memasuki sepuluh terakhir (dari Ramadan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh, dan mengikat tali sarungnya.” (HR. Muslim no. 1174)
Nabi tidak berlebih-lebihan di dalam melaksanakannya
Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jauh dari ghuluw dan sikap berlebih-lebihan. Oleh karenanya, dalam perkara salat malam pun beliau tetap beristirahat tidur dan tidak salat sepanjang malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَمَا واللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وأَتْقَاكُمْ له، لَكِنِّي أصُومُ وأُفْطِرُ، وأُصَلِّي وأَرْقُدُ، وأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فمَن رَغِبَ عن سُنَّتي فليسَ مِنِّي.
“Demi Allah, aku yang paling takut pada Allah dan paling takwa pada-Nya. Namun ingat, aku berpuasa, dan terkadang tidak berpuasa. Aku beribadah di malam hari, tapi aku juga tidur. Dan aku juga menikah dengan beberapa wanita. Barangsiapa yang membenci sunahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063)
Dan benar adanya bahwa waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk qiyamullail, mendirikan salat berbeda-beda terlaksana pada tiga bagian waktunya. Nabi pernah salat malam di awal waktunya, pernah pula di pertengahannya, dan pernah juga di akhirnya. Di akhir hidup beliau, beliau (mendahulukan) salat malam di akhir waktunya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri beliau,
مِن كُلِّ الليلِ قد أوترَ : أوَّلُه ، وأوسطُه ، وآخرُه ، فانْتَهَى وِتْرُه إلى السَّحَرِ
“Pada setiap (bagian) waktu malam beliau telah melakukan salat witir: awal, tengah, dan akhir. Pada akhirnya, (sebagaimana yang engkau ketahui ketika beliau meninggal dunia) beliau salat di waktu sahur (sesaat menjelang subuh).” (HR. Bukhari no. 996, Muslim no. 745, Abu Dawud no. 1435, dan Tirmidzi no. 456. Lafaz hadis di atas adalah riwayat Tirmidzi)
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan,
“Sunnahnya salat malam tidak dilakukan sepanjang malam. Sebagian ulama mengecualikannya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Karena Aisyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa di sepuluh malam terakhir ini, Nabi benar-benar menghidupkannya.”
Baca Juga: Sholat Malam
Waktu pelaksanaan terbaiknya adalah sepertiga malam terakhir
Hal ini karena Allah Ta’ala memilih waktu tersebut sebagai waktu turun-Nya ke langit dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan,
يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun di setiap malamnya ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Barangsiapa berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Berangkat dari sini seorang muslim disunahkan untuk bergegas tidur di awal waktu agar dirinya siap untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh perihal salat malam ini. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
بِتُّ في بَيْتِ خَالَتي مَيْمُونَةَ بنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وكانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عِنْدَهَا في لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إلى مَنْزِلِهِ، فَصَلَّى أرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الغُلَيِّمُ أوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عن يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عن يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ، حتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إلى الصَّلَاةِ
“Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersamanya karena memang menjadi gilirannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan salat Isya, lalu beliau pulang ke rumahnya dan salat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk salat. Kemudian beliau bersabda, ‘Si anak kecil sudah tidur (maksudnya Ibnu Abbas) (atau kalimat yang semisal dengan itu).’ Kemudian beliau bangun salat. Kemudian aku pun bangun dan berdiri di sisi kirinya, beliau lalu menempatkanku di sisi kanannya. Setelah itu beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan salat Subuh.” (HR. Bukhari no. 117 dan Muslim no. 763)
Bagaimana jika tidak yakin bisa terbangun di sepertiga malam terakhir?
Sebagian ulama menjelaskan,
Siapa yang belum dimampukan bangun di sepertiga malam terakhir, yang lebih utama dilakukan olehnya adalah mengakhirkan pelaksanaannya di sepertiga malam pertengahan. Karena sepertiga malam pertengahan lebih dekat ke waktu sepertiga malam terakhir. Setiap salat yang dilaksanakan mendekati waktu yang paling utama, maka semakin besar pahalanya. Saat seseorang mengakhirkan salat malam sampai datangnya waktu malam pertengahan, maka ia akan merasakan kelelahan dan rasa capek ketika menunggu. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ولَكِنَّهَا علَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبِكِ
“Akan tetapi, pahala (sebuah amalan) itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu.” (HR. Bukhari no 1787 dan Muslim no 1211)
Hadis ini menunjukkan bahwa rasa capek dan letih yang dirasakan seorang hamba akan mempengaruhi besaran dan jumlah pahala yang akan didapatkannya.
Adapun apabila penundaan salat tersebut ke sepertiga malam pertengahan akan menyebabkan dirinya terlewat dari melaksanakan salat subuh, atau menyebabkan dirinya tidak fokus dan tidak bisa memahami serta merenungi makna ayat di dalam salatnya karena rasa kantuk yang menyerangnya, maka yang lebih utama bagi dirinya adalah salat di sepertiga malam awal setelah menyelesaikan salat isya. Karena di waktu tersebut, ia masih mampu fokus di dalam membaca serta memahami ayat-ayat Al-Qur’an di dalam salat.
Tidak ada batasan maksimal jumlah rakaat salat malam
Suatu ketika, ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait salat malam, sedangkan beliau masih berada di atas mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Salat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu Subuh, hendaklah ia salat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi salat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990)
Berapa pun rakaat yang kita lakukan, maka itu diperbolehkan. Dilaksanakan dengan cara dua rakaat kemudian salam, dua rakaat kemudian salam, dan ditutup dengan salat witir. Meskipun kita hanya salat dua rakaat kemudian salam dan dilanjut satu rakaat witir kemudian salam, maka itu juga sudah terhitung sebagai salat malam. Akan tetapi, semakin banyak rakaat yang bisa kita lakukan dibarengi dengan kualitas salat yang baik dan sesuai tuntutan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentu lebih utama.
Wallahu a’lam bisshawab.
Baca Juga: Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/84096-bagaimanakah-rasulullah-menghidupkan-malam-malamnya.html