Kitab Hudud
KITAB HUDUD
Had: Adalah hukuman yang telah ditentukan syari’at yang berhubungan dengan maksiat terhadap batasan Allah Ta’ala.
Pembagian Hudud.
Hudud dalam Islam terbagi menjadi enam bagian:
- Had Zina
- Had Qodzaf (Tuduhan berzina)
- Had Khomer (Minuman keras).
- Had Sariqoh (Pencurian)
- Had Qutto’ Turuq (Perampok, Pembajakan), dan
- Had Ahlul Bghyi (Pelaku kejahatan), setiap dari kejahatan tersebut memiliki hukuman yang telah ditetapkan oleh syari’at. (Ta’zir, Riddah, Aiman, Nadzar)
Hikmah disyari’atkannya Hudud.
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan ta’at kepada-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, Dia telah menetapkan beberapa hukum demi untuk maslahat hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia menjanjikan surga bagi orang yang beriltizam terhadap syari’atnya dan neraka bagi mereka yang menyelisihinya. Apabila seorang hamba terlalu terburu-buru dan melakukan sebuah dosa, Allah buka baginya pintu taubat dan istighfar.
Akan tetapi jika seseorang bersikeras untuk melakukan maksiat kepada Allah dan menolak kecuali ingin menembus penghalang-Nya, melampaui batasan-Nya, seperti menjarah harta serta kehormatan orang lain, maka dia harus ditarik tali pelananya dengan menegakkan hukuman Allah Ta’ala; demi untuk merealisasikan keamanan serta ketenangan terhadap umat ini, dan seluruh hukuman merupakan Rahmat dari Allah dan kenikmatan bagi seluruhnya.
Kehidupan manusia akan berdiri tegak dengan memelihara lima hal yang darurat. Pelaksanaan hudud akan melindungi serta menjaga hal tersebut, dengan qishas jiwa manusia menjadi terjaga, dengan pendirian had terhadap pencuri harta akan terjaga, dengan pelaksanaan had zina serta qodzaf kehormatan akan terjaga, dengan pelaksanaan had bagi pemabuk, akal akan terjaga, dengan pelaksanaan had, penjarahan keamanan serta harta dan jiwa akan terjaga, dan dengan pelaksanaan seluruh had seluruh agama akan terjaga olehnya.
Hudud merupakan pembenteng bagi maksiat dan sebagai pembatas bagi dia yang menerimanya, karena yang demikian itu akan mensucikannya dari kotornya kejahatan serta dari dosa-dosanya, dan juga sebagai peringatan bagi selainnya untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan tersebut.
Hudud Allah.
Adalah keharaman-keharaman yang Dia larang untuk dikerjakan dan dilanggar, seperti: zina, pencurian dan lainnya, juga termasuk apa yang telah Allah batasi dan tentukan seperti hukum waris, sebagaimana juga termasuk batasan serta takaran yang membentengi dari hal-hal yang Allah haramkan, seperti hukuman zina, penuduh orang berbuat zina dan lain sebagainya dari apa-apa yang telah ditentukan syari’at dan tidak boleh untuk ditambah maupun dikurangi.
Perbedaan antara Qishas dan Hudud.
Kejahatan yang mengharuskan Qishas, keputusan berada pada tangan wali orang terbunuh dan korban itu sendiri apabila dia masih hidup, baik itu yang berhubungan dengan pelaksanaan qishas ataupun pengampunannya, sedangkan Imam hanya sebagai pelaksana sesuai dengan permintaan mereka.
Sedangkan Hudud : Urusannya diserahkan kepada Hakim, dia tidak boleh dibatalkan jika telah sampai kepadanya.
Begitu pula halnya kalau Qishas bisa diampuni dengan pengganti, seperti diyat, atau juga bahkan diampuni seluruhnya tanpa pengganti, sedangkan Hudud tidak diperbolehkan padanya ampunan dan tidak boleh pula syafa’at secara mutlak, baik itu dengan pengganti maupun tidak.
Atas siapa Had ditegakkan.
Had tidak dilaksanakan kecuali terhadap dia yang telah baligh, berakal, sengaja, ingat, mengetahui keharamannya, berpegang pada hukum-hukum Islam, baik itu dari seorang Muslim ataupun kafir dzimmi.
عن علي رضي الله عنه عن النبي- صلى الله عليه وسلم- قال: «رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ». أخرجه أحمد وأبو داود.
Dari Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan diampuni dari tiga golongan : seorang yang tidur sampai dia terbangun, anak kecil sampai dia baligh dan seorang gila sampai menjadi normal kembali” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[1].
ولمّا نزلت: ﴿ …… رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ …. ﴾ [البقرة: ٢٨٦] , قال الله: ” قد فعلت “. أخرجه مسلم.
Ketika turun ayat: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” (Al Baqarah/2: 286), maka Allah berfirman: “Aku telah melakukannya” (H.R Muslim)[2]
Pelaksanaan had boleh diakhirkan jika terhalang oleh sesuatu yang berdampak maslahat bagi kaum Muslimin, seperti ketika perang, atau juga berhubungan dengan maslahat yang kembali kepada korban, seperti penundaan yang disebabkan oleh musim dingin ataupun panas, atau juga karena sakit, bisa juga karena berhubungan dengan selainnya, seperti wanita hamil, menyusui ataupun lainnya.
Pelaksanaan had dilaksanakan oleh Imam atau wakilnya dengan kehadiran sejumlah kaum Mukminin, dan juga dia tidak dilaksanakan kecuali di Masjid.
Pelaksanaan had serta qishas boleh dilakukan di Makkah, karena tanah haram tidak melindungi pelaku kejahatan, barang siapa yang terkena kewajiban salah satu dari had Allah, baik itu cambuk, kurungan ataupun pembunuhan akan diterapkan kepadanya di tanah haram ataupun lainnya.
Cambuk dilakukan dengan menggunakan pecut, namun dia bukan yang baru dan tidak pula usang, orang yang di cambuk tidak dibuka pakaiannya, pukulan dilakukan pada tempat yang berpindah-pindah di tubuh, dengan syarat tidak memukul muka, kepala, kemaluan dan sesuatu yang mematikan, bagi wanita pakaiannya dikencangkan.
Apabila terkumpul beberapa had yang berhubungan dengan Allah Ta’ala dan dia termasuk dalam satu jenis, seperti perbuatan zina yang berkali-kali atau mencuri beberapa kali, maka yang demikian jadi disatukan, sehingga dia tidak dihukum kecuali hanya satu kali saja. Dan jika terdiri dari beberapa jenis, seperti seorang yang belum pernah menikah berbuat zina, mencuri dan meminum khomer, maka dalam keadaan ini hukuman tidak disatukan, akan tetapi dimulai oleh yang paling ringan diantaranya, pertama kali dicambuk karena minum khomer, kemudian dilanjutkan oleh cambuk karena berzina, setelah itu barulah potong tangan.
Cambuk yang paling berat dalam had adalah cambukan karena berzina, kemudian cambukan karena menuduh orang lain berzina (qodaf) kemudian barulah cambukan karena meminum khomer.
Apabila seseorang mengaku kalau dia berhak mendapat hukuman had kepada Imam, akan tetapi belum menjelaskannya, secara sunnah hendaklah dia ditutupi aibnya dan tidak menanyakan tentang aibnya tersebut.
Berkata Anas bin Malik Radhiyallahu anhu :
عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ- صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ فقَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنِّي أصَبْتُ حَدّاً، فَأقِمْهُ عَلَيَّ، قَالَ: وَلَمْ يَسْألْهُ عَنْهُ، قَالَ: وَحَضَرَتِ الصَّلاةُ، فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ- صلى الله عليه وسلم-، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ- صلى الله عليه وسلم- الصَّلاةَ، قَامَ إِلَيْهِ الرَّجُلُ فقَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنِّي أصَبْتُ حَدّاً، فَأقِمْ فِيَّ كتاب الله . قَالَ: «ألَيْسَ قَدْ صَلَّيْتَ مَعَنَا؟». قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَإِنَّ الله قَدْ غَفَرَ لَكَ ذَنْبَكَ، أوْ قَالَ: حَدَّكَ». متفق عليه.
Pada suatu waktu aku berada didekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka datanglah seseorang dan berkata : ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat sesuatu yang mewajibkan had, laksanakanlah hukumannya terhadapku, berkata Anas: beliau tidak bertanya tentang pelanggarannya, dia berkata: sehingga tibalah waktu shalat dan diapun shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, orang tersebut kembali menghadapnya dan berkata: ya Rasulullah, saya berhak untuk mendapat hukuman had, laksanakanlah terhadapku sesuai dengan kitab Allah, menjawablah beliau: “Bukankah kamu sudah shalat bersama kami?” dia menjawab: benar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu, atau beliau berkata: hukuman had terhadapmu” (Muttafaq Alaihi)[3].
Keutamaan menutupi aib diri sendiri maupun orang lain:
Dianjurkan bagi dia yang melakukan suatu dosa untuk menutupinya dan bertaubat kepada Allah, sebagaimana juga dianjurkan bagi dia yang mengetahui untuk menutupi aib tersebut, selama dia belum terang-terangan melakukan kemaksiatan, demi tidak tersebarnya kejelekan pada umat ini.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله- صلى الله عليه وسلم- يقول: «كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَى إلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ الله فَيَقُولُ: يَا فُلانُ عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ الله عَنْهُ». متفق عليه
Berkata Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap ummatku akan diampuni kecuali dia yang terang-terangan, sesungguhnya diantara perbuatan terang-terangan adalah seseorang yang mengerjakan sesuatu pada malam hari, kemudian pada pagi harinya dia dalam keadaan ditutupi (aibnya) oleh Allah, namun dia berkata: ya Fulan tadi malam saya telah melakukan ini dan ini, padahal dia telah bermalam dalam keadaan ditutupi oleh Allah dan pagi harinya dia bongkar apa yang telah Allah sembunyikan” (Muttafaq Alaihi)[4]
Berkata Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَومِ القِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ الله عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ الله فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَالله فِي عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ». أخرجه مسلم.
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang memberi keringanan pada seorang Mukmin dari kesulitan dunia, niscaya Allah akan memberikan keringanan kepadanya dari kesulitan hari kiamat, barang siapa yang memberi kemudahan terhadap orang miskin, niscaya Allah akan memberikan kemudahan terhadapnya di dunia dan akhirat, barang siapa yang menutupi (aib) seorang Muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat, sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya” (HR Muslim)[5].
Hukum syafa’at dalam Hudud.
Hudud wajib untuk ditegakkan terhadap orang jauh maupun kerabat dekat, orang mulia ataupun rakyat biasa, apabila perkara telah sampai kepada Hakim, maka haram untuk dimintai syafa’at demi untuk membatalkannya, atau berbuat sesuatu untuk meniadakannya. Haram bagi Hakim untuk menerima syafa’at, bahkan wajib baginya untuk melaksanakan hukum had jika telah sampai kepadanya, tidak boleh mengambil harta dari pelaku untuk menggagalkan hukumannya.
Barang siapa yang mengambil harta dari seorang pezina, pencuri, peminum minuman keras ataupun lainnya, demi untuk membatalkan hukuman Allah, maka sesungguhnya dia telah menggabungkan dua kerusakan besar: pembatalah had dan memakan harta haram, serta meninggalkan kewajiban dan melaksanakan keharaman.
Dari Aisyah Radhiyallahu anha:
عن عائشة رضي الله عنها أن قريشاً أهمتهم المرأة المخزومية التي سرقت فقالوا: مَنْ يُكَلِّمُ رَسُولَ الله- صلى الله عليه وسلم-، وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إلا أُسَامَةُ حِبُّ رَسُولِ الله- صلى الله عليه وسلم-، فَكَلَّمَ رَسُولَ الله- صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ الله؟» ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ إنَّمَا ضَلَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإذَا سَرَقَ الضَعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ الله لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا». متفق عليه.
Bahwa orang-orang Quraisy merasa berat atas perkara wanita Makhzumiyyah yang telah mencuri, maka merekapun berkata : siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang berani terhadapnya kecuali Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pergilah Usamah untuk membicarakannya dengan Rasul, menjawablah beliau: “Apakah kamu meminta syafa’at pada salah satu had Allah?” kemudian bangkitlah beliau untuk berkhutbah: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kesesatan orang-orang sebelum kalian, apabila orang terpandang ada yang mencuri, mereka akan membiarkannya, dan jika yang mencuri itu orang lemah, mereka akan menjalankan had terhadapnya, demi Allah kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad akan memotong tangannya” (Muttafaq Alaihi)[6].
Hukum menshalati orang yang dibunuh.
Orang yang dibunuh karena qishas, had atau ta’zir, apabila dia itu seorang Muslim, maka dia harus dimandikan, dishalati dan juga dikuburkan pada kuburan kaum Muslimin. Sedangkan dia yang dibunuh karena murtad kafir, tidak dishalati, tidak dimandikan dan tidak pula dikubur pada kuburan kaum Muslimin, akan tetapi dibuatkan baginya lubang dan dimasukkan kedalamnya seperti orang kafir.
Kejahatan tidak akan terhenti dan tidak pula melindungi masyarakat dari kejelekannya kecuali hanya dengan menegakkan hukum syari’at kepada pelakunya, adapun pengambilan denda harta, penjara ataupun sejenisnya dari hukuman-hukuman yang dibuat manusia, maka sesungguhnya yang demikian itu merupakan kedzoliman, kesesatan serta hanya akan menambah kejahatan.
[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Qishas dan khudud كتاب القصاص والحدود ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] Hadits Shohih/ Riwayat Ahmad no (940), lihat al-irwa no (297). Riwayat Abu Dawud no (4403), lafadz ini darinya, shohih sunan abu dawud no (3703).
[2] Riwayat Muslim no (126)
[3] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (6823), lafadz ini darinya dan Muslim no (2764).
[4] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (6069), lafadz ini darinya dan Muslim no (2990).
[5] Riwayat Muslim no (2699).
[6] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (6788), lafadz ini darinya dan Muslim no (1688).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/85775-kitab-hudud.html