Hukum-hukum Puasa
HUKUM-HUKUM PUASA
Berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala hukumnya wajib bagi setiap muslim agar ia memperoleh pahala, bukan karena riya dan sum’ah, dan bukan pula karena mengikuti manusia atau mengikuti penduduk negerinya. Maka ia berpuasa karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruhnya dan mengharapkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula semua ibadah.
Puasa Ramadhan hukumnya wajib dengan salah satu dari dua perkara.
1. Bisa jadi dengan dilihatnya hilal (bulan tsabit) dari seorang muslim yang adil, kuat penglihatan, laki-laki atau perempuan.
2. Menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh (30) hari.
Hukum melihat hilal bulan Ramadhan.
Apabila hilal tidak kelihatan, disertai terangnya malam tiga puluh (30) dari bulan Sya’ban, maka mereka tetap berbuka. Demikian pula apabila terhalang oleh awan atau gelap. Apabila orang-orang berpuasa dua puluh delapan (28) hari, kemudian mereka melihat hilal, mereka berbuka dan wajib berpuasa (qadha`) satu hari setelah hari raya. Jika mereka berpuasa selama tiga puluh hari dengan persaksian satu orang, dan hilal belum juga terlihat, maka mereka tetap tidak berbuka sampai melihat hilal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النَّبِيُّ- صلى الله عليه وسلم-: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاثِينَ». متفق عليه.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Maka jika ditutupi atasmu, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh’ Muttafaqun ‘alaih.[1]
Apabila penduduk sebuah negeri melihat hilal, mereka harus berpuasa. Karena tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, maka bagi setiap wilayah atau daerah ada hukum yang menentukannya pada permulaan puasa dan akhirnya, menurut rukyah mereka. Dan jika kaum muslimin berpuasa serentak di seluruh penjuru bumi dengan satu rukyah, maka ini sesuatu yang baik. Ia merupakan fenomena yang menunjukkan persatuan, persaudaraan dan kebersamaan, dan menuju terwujudnya hal itu, Insya Allah. Setiap muslim harus berpuasa bersama negaranya. Janganlah penduduk negeri terbagi-bagi, sebagian berpuasa bersama negara dan sebagian lagi bersama yang lain, ini untuk menghentikan perpecahan yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Barang siapa yang melihat hilal Ramadhan sendirian dan persaksiannya ditolak, atau melihat hilal Syawal dan ucapannya tidak diterima, ia harus berpuasa atau berbuka secara tersembunyi. Jika hilal dilihat di siang hari, maka hilal itu untuk malam berikutnya, dan jika tenggelam sebelum matahari, maka ia untuk malam yang telah lewat.
Disunnahkan bagi orang yang melihat hilal Ramadhan atau bulan lainnya untuk membaca:
أَللهُ أَكْبَرُ, اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالْإِيمَانِ وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
Allâh Maha Besar! Ya Allâh! Tampakkanlah bulan sabit ini kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam, serta mendapatkan taufiq untuk menjalankan syari’at yang Engkau sukai dan ridhai. Rabb kami dan Rabb-mu (bulan sabit) adalah Allâh’ HR. Ahmad dan at-Tirmidzi.[2]
Pemimpin umat Islam harus mengumumkan dengan berbagai sarana yang disyari’atkan dan dibolehkan tentang masuknya Bulan Ramadhan, apabila sudah pasti rukyah hilal secara syara’, demikian pula keluarnya.
Apabila seorang muslim berpuasa di suatu negeri, kemudian safar ke negeri lain, maka hukumnya dalam berpuasa dan berbuka adalah hukum negeri yang ia berpindah kepadanya. Maka ia berbuka bersama mereka apabila mereka berbuka. Akan tetapi bila berbuka kurang dari dua puluh sembilan (29) hari, ia mengqadha` satu hari setelah idul fitri. Dan jikalau ia berpuasa lebih dari tiga puluh (30) hari, maka ia tidak berbuka kecuali bersama mereka.
Hukum niat Puasa.
Wajib menentukan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar untuk puasa Ramadhan, dan sah niat puasa sunnah di siang hari, jika ia belum melakukan yang membatalkan puasa setelah terbit fajar.
Sah puasa wajib dengan niat di siang hari, apabila ia tidak mengetahui wajibnya di malam hari, sebagaimana jika adanya persaksian dengan rukyat di siang hari, maka ia menahan diri (dari yang membatalkan puasa) yang tersisa di hari itu. Dia tidak perlu mengqadha`, sekalipun ia sudah makan.
Barang siapa yang terkena kewajiban puasa di siang hari, seperti orang gila yang sudah sembuh/sadar, anak kecil sudah baligh, dan orang kafir yang masuk Islam. Cukuplah bagi mereka berniat di siang hari saat terkena kewajiban puasa, sekalipun sesudah makan atau minum, dan tidak wajib mengqadha` atasnya.
Bagi setiap muslim dalam shalat dan puasa ada hukum tempat yang ia berdomisili padanya. Orang yang berpuasa menahan diri (dari yang membatalkan) dan berbuka di tempat yang ia berdomisili padanya, sama saja di atas muka bumi, atau berada di atas pesawat terbang di udara, atau di atas kapal laut di lautan.
Puasa orang tua dan sakit.
Barang siapa yang berbuka karena tua atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, muqim atau musafir, ia memberi makan seorang miskin setiap hari. Dan cukuplah hal itu sebagai pengganti puasa, maka ia membuat makanan sejumlah hari yang wajib atasnya, dan mengundang orang-orang miskin kepadanya. Dan ia boleh memilih: Jika ia menghendaki, ia memberi makan setiap hari dengan harinya, dan jika ia menghendaki, ia bisa menundanya hingga hari terakhir. Ia juga boleh mengeluarkan setiap hari setengah sha’ makanan dan memberikannya kepada orang miskin.
Barang siapa yang terkena pikun, maka tidak ada kewajiban puasa dan tidak perlu membayar kafarat, karena pena diangkat darinya (bukan mukallaf).
Wanita yang haidh dan nifas diharamkan puasa, keduanya berbuka dan mengqadha di hari yang lain. Apabila keduanya suci di tengah hari, atau musafir yang tidak puasa telah sampai di siang hari, ia tidak wajib imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa), namun hanya wajib mengqadha` saja.
Wanita yang hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap dirinya dan anaknya, keduanya boleh berbuka di bulan Ramadhan, kemudian mengqadha` sesudahnya.
Hukum puasa dalam perjalanan.
Yang paling utama adalah berbuka bagi yang puasa dalam perjalanan secara mutlak. Bagi musafir di bulan Ramadhan: jika berbuka dan berpuasa baginya sama saja, maka puasa lebih utama. Dan jika puasa terasa berat atasnya dalam perjalanan, maka berbuka lebih utama. Dan jika puasa sangat memberatkannya dalam perjalanan, maka berbuka wajib atasnya dan ia mengqadha’ di hari yang lain.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata. :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ- صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلا المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ. متفق عليه
‘Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.’ Muttafaqun ‘alaih.[3]
Barang siapa yang berniat puasa, kemudian berpuasa dan pingsan sepanjang hari atau sebagiannya, maka puasanya sah.
Barang siapa yang kehilangan perasaannya di bulan Ramadhan dan selainnya karena pingsan, sakit atau gila, kemudian sadar, maka ia tidak wajib mengqadha` puasa dan shalat, karena terangkat taklif darinya. Dan barang siapa yang kehilangan kesadaran karena perbuatan dan kehendaknya, kemudian sadar, ia wajib mengqadha`.
Barang siapa yang berniat puasa, kemudian makan sahur dan tertidur dan tidak terbangun kecuali setelah terbenam matahari, maka puasanya shahih dan tidak wajib mengqadha’.
Apabila seorang muslim makan, minum, atau berjima’, karena lupa di siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya sah.
Apabila seorang muslim bermimpi (keluar mani dalam tidur), dan dia sedang puasa, maka puasanya sah. Ia wajib mandi dan tidak ada dosa atasnya.
Barang siapa sakit yang berat berpuasa baginya serta membahayakannya, maka puasa haram atasnya dan wajib berbuka dan mengqadha` sesudahnya.
Yang utama bagi seorang muslim adalah selalu dalam keadaan suci, dan boleh menunda mandi junub dan mandi haid dan nifas bagi yang berpuasa hingga terbit fajar, dan puasanya sah.
Yang disunnahkan bagi orang yang ingin safar di Bulan Ramadhan, agar berbuka jika ia menghendaki di saat meninggalkan bangunan (kota). Dan barang siapa yang berbuka karena mashlahat orang lain, seperti menyelamatkan orang tenggelam, atau memadamkan kebakaran dan semisalnya, maka ia harus mengqadha` saja.
Tata cara puasa di negeri yang tidak terbenam matahari padanya.
Barang siapa yang tinggal di negeri yang matahari tidak tenggelam pada musim panas dan tidak terbit di musim dingin, atau tinggal di negeri yang siang harinya berlangsung selama enam bulan dan malamnya juga seperti itu, atau lebih banyak, atau kurang, maka mereka harus shalat dan puasa berpedoman kepada negeri terdekat kepada mereka, yang berbeda malam dan siang padanya. Dan gabungan keduanya adalah dua puluh empat (24) jam, maka mereka membatasi permulaan puasa dan kesudahannya, mulai menahan diri dari yang membatalkan puasa dan berbuka, menurut waktu negeri itu.
Apabila pesawat terbang lepas landas sebelum tenggelam matahari dan naik di udara, maka tidak boleh berbuka bagi yang puasa sampai tenggelam matahari.
Barang siapa yang meninggalkan puasa Ramadhan karena mengingkari kewajibannya, ia kafir. Dan barang siapa yang meninggalkan puasa karena melalaikan dan malas, maka ia tidak kafir dan sah shalatnya, akan tetapi dia menanggung dosa besar.
Hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut.
- Makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan.
- Bersetubuh (jima’) di siang hari bulan Ramadhan.
- Mengeluarkan mani di saat jaga (tidak tidur) secara langsung, atau mengecup (istri), atau onani, atau semisalnya.
- Menggunakan jarum penambah gizi (infus) untuk badan di siang hari bulan Ramadhan.
Dan segala yang membatalkan ini (lima macam), batal orang yang puasa bila ia melakukannya secara sengaja, mengetahui, ingat terhadap puasanya.
- Keluar darah haid dan nifas di siang hari bulan Ramadhan.
- Murtad dari Islam.
Yang membatalkan puasa kembali kepada dua perkara.
1. Memasukkan segala sesuatu yang berguna untuk tubuh, memberi gizi dan menguatkannya, seperti makan dan minum, dan semisalnya, atau beberapa perkara yang memudharatkan tubuh, seperti minum darah, memabukkan dan semisalnya.
2. Keluarnya beberapa hal yang melemahkan tubuh, maka menambah kepadanya kelemahan di atas kelemahan, seperti sengaja melakukan onani, darah haid dan nifas.
Hukum orang yang mendengar Azdan Fajar sedangkan bejana berada di tangannya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: «إذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ». أخرجه أبو داود.
‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kalian mendengar suara azan dan bejana berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya darinya.’ HR. Abu Daud.[4]
Barang siapa yang makan karena meyakini bahwa ia berada di malam hari, ternyata sudah siang, atau dia makan karena meyakini bahwa matahari sudah tenggelam, ternyata matahari belum tenggelam, maka puasanya shahih (sah, benar) dan tidak wajib mengqadha` atasnya.
Hal-hal yang tidak membatalkan puasa sangat banyak, di antaranya.
Celak, suntikan, yang diteteskan pada saluran air kencingnya (urethra), mengobati luka, minyak wangi, minyak rambut, garu, pacar, tetasan di mata atau telinga atau hidung, muntah, bekam, mengeluarkan darah, pendarahan hidung, terkena pendaharan, darah luka, mencabut gigi, keluar madzi dan wadi, alat penyemprot (sprayer) untuk penyakit asma, pasta gigi, semua itu tidak membatalkan puasa.
Menguraikan/membersihkan darah, dan jarum suntik apabila untuk pengobatan, bukan untuk tambahan gizi, tidak membatalkan puasa, dan menundanya hingga malam hari, jika bisa, lebih utama.
Perempuan boleh mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghalangi haid karena puasa atau haji, apabila para ahli kedokteran memutuskan bahwa hal itu tidak membahayakannya, dan lebih baik baginya menahan diri dari hal itu.
Mencuci ginjal, yaitu dengan mengeluarkan darah dari tubuh, kemudian mengembalikannya dalam kondisi bersih, disertai tambahan beberapa bahan kepadanya, pembersihan ini merusak puasa.
Apabila orang yang puasa mengeluarkan mani dengan onani atau bermesraan dengan istrinya tanpa bersetubuh, maka ia berdosa, dan ia harus membayar qadha`, tanpa kafarat.
Barang siapa yang safar di bulan Ramadhan dan berpuasa dalam perjalanannya, kemudian ia bersetubuh (jima’) dengan istrinya di siang hari, maka ia harus membayar qadha`, tanpa kafarat.
Barang siapa yang jima’ (bersetubuh) di siang hari bulan Ramadhan, dan ia tidak bepergian, maka ia harus mengqadha`, kafarat, dan dosa, jika melakukannya secara sengaja, tahu, dan ingat. Maka jika ia dipaksa, atau tidak tahu (jahil), atau lupa, maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha dan kafarat atasnya. Perempuan seperti laki-laki dalam dua keadaan ini.
Kafarat jima’ di siang hari bulan Ramadhan.
Memerdekakan budak, jika ia tidak menemukan, maka puasa dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, maka memberi makan enam puluh (60) orang miskin, bagi setiap orang miskin setengah sha’ makanan. Maka jika ia tidak mendapatkan (tidak punya apa-apa), gugurlah ia (gugurlah kewajiban kafarat ini). Dan kafarat ini tidak wajib selain jima’ di siang hari Ramadhan dari orang yang harus berpuasa, apabila ia melakukannya dalam keadaan tahu dan sengaja. Maka siapa yang melakukannya dalam puasa sunnah atau nazar atau qadha`, maka tidak kafarat atasnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى النبي- صلى الله عليه وسلم- فقال: هَلكتُ يا رسول الله. قال: «مَا أَهْلَكَكَ؟» قال: وقعت على امرأتي في رمضان، قال: «هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟» قال: لا، قال: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟» قال: لا، قال: «فَهَلْ تَجِدُ ما تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِيناً؟» قال: لا، قال: ثم جلس، فأُتي النبي- صلى الله عليه وسلم- بعرق فيه تمر فقال: «تَصَدَّقْ بِهَذَا» قال: أفقر منا؟ فما بين لابتيها أهلُ بيتٍ أحوجُ إليه منا، فضحك النبي- صلى الله عليه وسلم- حتى بدت أنيابه، ثم قال: «اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ». متفق عليه.
‘Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Aku telah binasa, ya Rasulullah.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang telah membinasakanmu?’ Ia berkata, ‘Aku menjima’ istriku di bulan Ramadhan.’ Beliau bersabda, ‘Apakah engkau mendapatkan (mempunyai uang) untuk memerdekakan budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Apakah engkau mampu puasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak mampu.’ Beliau bersabda lagi, ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak mampu.’ Ia (yang meriwayatkan hadits, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu) berkata, ‘Kemudian ia duduk.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan sekeranjang kurma. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersedekahlah dengan ini.’ Ia berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami. Tidak ada di antara dua harah ini (maksudnya kota Madinah) satu keluarga yang lebih membutuhkannya dari pada kami.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga nampak dua giginya, kemudian bersabda, ‘Pergilah, berilah makan kepada keluargamu. ‘Muttafaqun alaih.[5]
Beberapa hal yang tidak terputus dengannya puasa berturut-turut bagi orang yang terkena kewajiban berpuasa dua bulan bulan dan semisalnya, yaitu: dua hari raya, safar, sakit yang boleh berbuka, haid dan nifas.
Apabila seseorang bersetubuh dengan istrinya dalam dua hari atau lebih di siang hari Bulan Ramadhan, ia wajib membayar kafarat dan qadha` sejumlah bilangan hari. Dan jika ia mengulanginya dalam satu hari, maka hanya satu kafarat disertai qadha`.
Apabila orang yang musafir telah tiba dalam keadaan berbuka di hari istrinya dalam keadaan suci dari haid atau nifas di tengah-tengahnya, ia boleh menjima’nya (bersetubuh dengan istrinya).
Disunnahkan bersegerah mengqadha` puasa Ramadhan serta berturut-turut, dan apabila waktunya sempit wajib berturut-turut. Dan apabila ia menunda qadha` Ramadhan hingga tiba Ramadhan yang lain tanpa ada uzur, maka ia berdosa dan wajib mengqadha`.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan berpuasa Ramadhan pada hak orang yang tidak mempunyai uzur, dan secara qadha` pada hak orang yang ada uzur yang telah berlalu seperti safar dan haid, serta dengan memberi makan pada hak orang yang tidak mampu melaksanakan puasa secara tunai dan qadha`, seperti orang tua renta dan semisalnya.
Barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, jika ada uzur dengan sakit dan semisalnya maka tidak wajib membayar qadha` darinya dan tidak wajib pula memberi makan. Dan jika bisa mengqadha`, lalu ia tidak melakukannya sampai meninggal dunia, maka walinya melaksanakan puasa darinya.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا أنَّ رَسُولَ الله- صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ». متفق عليه.
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai kewajiban puasa, walinya menggantikan puasa darinya’. Muttafaqun ‘alaih.[6]
Barang siapa yang berbuka di Bulan Ramadhan atau sebagiannya dalam keadaan tahu, sengaja, ingat, tanpa ada uzur, maka tidak disyari’atkan qadha` baginya dan tidak sah darinya. Dia menanggung dosa besar, maka ia harus bertaubat dan istigfar.
Barang siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa nazar, atau haji nazar, atau i’tikaf nazar, atau semisalnya, disunnahkan bagi walinya untuk mengqadha`nya. Walinya adalah ahli warisnya. Dan jika diqadha` oleh orang lain, niscaya sah dan sudah cukup.
Barang siapa yang berniat berbuka, berarti ia berbuka, karena puasa terdiri dari dua rukun: niat dan menahan diri dari yang membatalkan. Dan apabila ia berniat berbuka niscaya gugur rukun pertama, yaitu dasar segala amal dan nilai ibadah yang besar, yaitu niat.
Barang siapa yang tertidur di malam ke tiga puluh dari bulan Sya’ban dan ia berkata, ‘Jika besok adalah bulan Ramadhan maka aku berpuasa.’ Ternyata memang benar-benar bulan Ramadhan, maka puasanya sah.
Larangan, jika kembali kepada jenis ibadah yang sama, maka ia adalah haram dan batil, seperti jika seorang muslim berpuasa di hari raya, maka puasanya haram dan batil. Dan jika larangan itu kembali kepada ucapan atau perbuatan yang khusus dengan ibadah, maka hal ini membatalkannya, seperti orang yang makan sedangkan dia berpuasa niscaya rusaklah puasanya. Jika larangan itu bersifat umum dalam ibadah dan yang lainnya, maka hal ini tidak membatalkannya, seperti mengumpat, maka ia adalah haram akan tetapi ia tidak membatalkan puasa. Dan seperti inilah halnya dalam setiap ibadah.
[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Ibadah العبادات ) Penulis : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] HR. al-Bukhari no 1909, ini adalah lafazhnya dan Muslim no. 1081
[2] Shahih/HR. Ahmad no 1397, as-Silsilah ash-Shahihah no. 1816, at-Tirmidzi no. 3451, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2745
[3] HR. al-Bukhari no. 1947 dan Muslim no. 1118
[4] Hasan Shahih/ HR. Abu Daud no. 2350, Shahih Sunan Abu Daud no. 2060.
[5] HR. al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111, ini adalah lafazhnya.
[6] HR. al-Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/84329-hukum-hukum-puasa.html