Beranda | Artikel
Hidayah
Senin, 20 Februari 2023

HIDAYAH

Oleh
Ustadz Ruslan Zuardi Mora Elbagani, Lc.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia dari suatu ketiadaan menjadi suatu bentuk wujud nyata nan bagus elok rupa dan parasnya.  Sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya :

 لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.  [at-Tin/95:4]

Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka nikmat yang sangat banyak. Diantaranya nikmat kesempurnaan  panca indera, kesehatan, rezeki, keturunan dan nikmat-nikmat lain yang tidak terhitung.

Selanjutnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan nikmat-nikmat itu dengan menganugerahkan hidayah kepada mereka. Yaitu suatu nikmat yang tidak diberikan kepada setiap hamba, karena merupakan nikmat yang diberikan khusus kepada hamba-hanba pilihan Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Hidayah adalah milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan di tangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sungguh hanya hamba yang terpilih lagi beruntung yang akan mendapatkannya. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Demi Allâh Subhanahu wa Ta’ala !  Pendidikan orang tua tidak akan bermanfaat jika tidak didahului oleh pilihan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap anaknya. Sesungguhnya, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala  memilih seorang hamba, maka  Allâh Subhanahu wa Ta’ala  akan menjaganya semenjak ia kecil. Allâh Subhanahu wa Ta’ala  juga memberinya hidayah menuju jalan kebenaran serta membimbingnya ke arah yang lurus. Allâh Subhanahu wa Ta’ala  akan membuatnya menyenangi hal-hal yang baik, dan mempertemankanya  dengan orang yang baik.”[1]

Ada di antara hamba yang mengharap hidayah kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakannya kepadanya, namun ada pula yang tidak diberi, dikarenakan keadilan dan ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala  terhadap kejujuran serta kebenaran harapannya.

Di antara hamba-hamba Allâh, ada yang telah merasakan indah dan manisnya hidayah namun ia tidak menjaganya sehingga hidayah itu pun sirna dari dirinya. Ada juga yang pernah menikmati hidayah dalam waktu yang lama, namun kemudian terlepas darinya. Akhirya karena rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala  semata, hidayah itu  dapat kembali kepadanya. Dengan bertaubat dan beristighfar kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala  merupakan jalan terbaik. Seorang hamba yang mengalami hal tersebut  merasakan seolah-olah terlahir kembali, hidup setelah kematian yang panjang.  Menangis karena kebahagian yang tiada tara setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala  menyelamatkannya kembali… La haula wala quwwata illa billah. Sungguh, nikmat hidayah itu adalah nikmat yang sangat besar. Namun hidayah apakah yang dimaksud mari kita simak ulasan berikut ini.

Lafadz “Al-Huda” serta pecahan katanya dalam al-Qur’ân disepakati oleh Ulama sebagai kata yang paling banyak bentuk maknanya. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan ada dua puluh empat makna lafadz al-huda.[2] Dan Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan  ada tujuh belas makna lafadz al-huda.[3] Keseluruhan makna tersebut bermuara pada satu inti yaitu penjelasan dan pengarahan dengan penuh lemah lembut dan santun.

Adapun makna hidayah secara istilah adalah penjelasan dan pengarahan kepada tujuan yang dimaksud[4]

Penggunaan Lafadz Hidayah
Lafadz hidayah (هِدَايَةٌ) dan pecahannya memiliki beberapa keadaan.

  1. Muta’addi dengan sendirinya (tunggal) tanpa bantuan huruf jar.

Dalam keadaan ini, lafadz hidayah secara makna mencakup hidayah al-irsyâd wal bayân, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala  :

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ 

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. [al-Balad/90:10]

Juga mengandung makna hidâyatut taufîq wal ilhâm, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [al-Qashash/28:56]

  1. Muta’addi dengan huruf jar ila (إِلَى).

Dalam keadaan seperti ini, hidayah maknanya adalah hidâyatul Irsyâd. Contohnya, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [asy-Syûrâ/42:52]

  1. Muta’addi dengan huruf jar lam (اللَّامُ).

Dalam keadaan ini, lafadz hidayah bermakna hidâyatut taufîq. Contohnya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ  

Dan mereka berkata: Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.” [al-A’raf/7:43]

Tingkatan Hidayah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada empat macam atau tingkatan hidayah :[5]
Pertama, hidâyah ‘ammah (menyeluruh).
Hidayah ini meliputi semua makhluk hidup dengan jenisnya yang beragam.

Kedua, hidâyatul bayân wad dalâlah wat ta’rîf wal irsyâd
Hidâyatul bayân bisa dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kemampuan menyampaikannya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala  tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.”[asy-Syûrâ/42:52]
Setiap Muslim yang menyeru kepada kebaikan, ketaatan atau amal shaleh adalah seorang da’i kepada hidâyah. Selain itu hidayah ini juga dapat diperoleh dari kitab bacaan maupun kitab visual.

Ketiga, hidâyatut taufîq wal ilhâm
Hidâyatut taufîq merupakan kekhususan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , tidak ada yang memilikinya kecuali Allâh.[6] Ia memberikan hidayah ini kepada siapa yang Ia kehendaki tanpa ada campur tangan pihak lain sekalipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Inilah yang terpahami dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala  tehadap Nabi-Nya :

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Bukan kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetepi Allâh-lah yang mrmberi petunjuk(memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-nya. [al-Baqarah/2:272]

Karena hati itu berada ditangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Ia dapat membolak-balikkannya sekehendak-Nya.

Hidâyatut taufîq wal ilhâm ini memiliki dua tingkatan:
1. Hidâyatut taufîq dari kekufuran dan kesyirikan menuju Islam dan tauhid.
Hidayah ini diperoleh oleh seseorang yang sebelumnya kafir dan musyrik dengan mengucapkan dua kalimat syahadat beserta segenap ketentuan dan persyaratannya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau) masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allâh) dan Allâh maha melihat akan hamba-hambanya.”  [Ali Imran/3:20].

Hidayah ini dapat menyelamatkan seseorang dari kekekalan dalam api neraka, meskipun ia pernah terjatuh dalam lembah dosa dan jurang kemaksiatan. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala  menghendaki maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala  akan mengampuni dosanya meskipun ia meninggal sebelum sempat bertaubat.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allâh maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisa’/4:48].

Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencabut hidayah ini, melainkan apabila seseorang melakukan salah satu pembatal keislaman dan ketauhidan yang telah dirinci oleh para Ulama dalam kitab-kitab akidah.

2. Hidâyatut taufîq dari kebid’ahan menuju sunnah, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dan dari dosa menuju ibadah.
Hidayah inilah Merupakan hidayah yang paling utama. Inilah yang diinginkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala  dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini juga yang seharusnya dicari oleh seorang hamba. Dengan hidayah ini seorang hamba berlomba meraih pahala yang besar, kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan surga dambaan setiap hamba.

Tidak semua orang yang telah diberi hidayah kepada Islam bisa mendapatkan hidayah untuk mengamalkan Islam sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan, sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allâh Azza wa Jalla ), banyak pihak yang menyimpang dan sesat, sedangkan yang selamat dari mereka hanyalah sedikit.

Cermatilah berita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan yang terjadi pada umat ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Umatku akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah dia, wahai Rasûlullâh?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada diatasnya“. (HR. at-Tirmidzi.[7] Hadits ini dihasankan oleh syaikh Al-Albani.[8])

Hanya satu golongan yang dinyatakan selamat dari kesesatan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa di atas Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hidayah ini merupakan konsekuensi dari hidâyatut taufîq yang pertama. Setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama Islam harus mempelajari dan mengamalkan Islam sesuai dengan bimbingan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia harus mengaplikasikan Islam secara kaffah dalam kehidupannya.  Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” [al-Baqarah/2:208]

Inilah makna dan hakikat hidayah yang sesungguhnya. Hidayah di atas jalan yang lurus. Hidayah di atas as-Sunnah. Bila hidayah ini luput dari seorang Muslim, maka dikhawatirkan ia telah ditimpa musibah besar, yaitu musibah yang menimpa agamanya disebabkan jauhnya ia dari sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  . Karena sesungguhnya tidak ada musibah yang lebih besar selain musibah yang menimpa agama seseorang.

Keempat : Hidayah untuk dapat masuk kedalam surga.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا

Dan mereka berkata: Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.” [al-A’râf/7:43].

Keempat tingkatan hidayah ini bertahap sifatnya. Seorang hamba yang belum mencapai tingkatan kedua tidak akan mendapatkan hidayah tingkatan yang ketiga. Untuk mencapai tingkatan hidayah keempat, ia harus melalui tingkatan yang kedua dan ketiga.[9]

Buah dari Hidayah
Hidayah akan menghasilkan hidayah yang lain, dan diantara buah dari hidayah sebagaimana berikut ini:

1. Hidayah adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih. Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap amal shalih akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, terlebih lagi jika kebaikan itu diikuti dan diamalkan oleh orang lain setelahnya, maka akan lebih mendatangkan hasil dan buah yang akan dipetik oleh pelaku pertama kebaikan tersebut. Sebagaimana dinyatakan di dalam hadits:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً ، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَه ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أجُورِهمْ شَيئاً ، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ ، كَانَ عَلَيهِ مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيئاً

Barangsiapa menyeru kepada hidayah maka akan ia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi.  At-Tirmidzi berkata Hadits hasan shahih.[10] Hadits ini dishahihkan oleh Imam al-Albani[11])

2. Seorang yang mencari hidayah berarti ia telah memenuhi seruan Allâh Subhanahu wa Ta’ala  yang akan berdampak positif bagi-nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۖ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al-Qur’ân) dari Rabbmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” [Yûnus/10:108].

Ketika seorang hamba memenuhi panggilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mencari dan mengejar hidayah, mengorbankan segala yang dimilikinya, lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala  menganugerahkan taufik kepadanya sehingga dia meraih kenikmatan dan keutamaan yang tiada tara di dunia, dan di akhirat dimasukkan ke dalam surga, yang merasakan semua ini adalah si hamba sendiri. Sedangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala  Maha Kaya, tidak membutuhkan apa pun dari hambanya.

3. Istiqâmah di atas ad-Din dan as-Sunnah, ini juga bagian dari buah hidayah dan sekaligus merupakan konsekwensi hidayah.

4. Merasa ringan untuk melakukan semua perkara yang disyariatkan.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman :

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ 

Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekararang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat ) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allâh; dan Allâh tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allâh maha pengasih lagi maha penyayang kepada manusia”.[Al-Baqarah/2:143].

5. Hidayah adalah penyebab datangnya ampunan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sesungguhnya aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih kemudian tetap dijalan yang benar.”[Thahâ/20:82].

6. Orang-orang yang diberikan hidayah akan tergolong menjadi orang yang lapang dada, paling bahagia dan paling elok hatinya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman.

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa Allâh kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki kelangit.”[Al-An’aam/6:125].

7. Jalan untuk menambah ilmu.

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk”.[Maryam/19:76]

Kata “al-huda” disini mencakup ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.[12]

8. Sebagai perantara untuk mendapatkan kemenangan.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala  berfirman,

أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Mereka itulah yang tetap mendapatkan petunjuk dari tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”[Al-Baqarah/2:5].

Nas’alullah al-huda wa at-tuqa wa al-‘afafa wa al-ghina.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Shaidul Khathir, 1 / 84
[2]  Nuzhatul a’yun, 1 / 626-630
[3]  Al-Itqân, 1/ 410-411
[4] At-Ta’rîfât, 1/277
[5] Ibid, 2 / 271-273
[6] Ini yang mendasari perbedaan antara hidâyatut taufîq dan hidâyatul Irsyâd
[7] Sunan at-Tirmidzi, no. 2641
[8] As-Shahîh wad Dha’îf, no. 9474
[9]  Fathul Bâri, 11 / 515
[10]  Shahîh Muslim, no. 2739; Sunan at-Tirmidzi, no. 2674; Sunan Abu Daud No. 4611; Sunan Ibnu Mâjah, no. 206; Musnad Ahmad, no. 916, Sunan ad-Darimi No. 530
[11] Sisilah al-Ahâdîts as-Shahîhah, 2 / 439
[12] Tafsir as-Sa’di, 1/581


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/76412-hidayah.html