Keutamaan Dan Kemuliaan Masjid
KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN MASJID
Oleh
Syaikh Sa’id Ali Wahf al-Qahthani[1]
Masjid memiliki kedudukan dan keutamaan dalam Islam, oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menyebutkannya dalam Kitab-Nya pada 18 tempat.[2]
Dan dikarenakan kedudukannya yang tinggi dan agung di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla menyandarkan kata masjid pada Diri-Nya dalam bentuk penyandaran yang bermuatan pemuliaan dan penghormatan. Sesuatu yang disandarkan (di-idhâfah-kan) kepada Allâh Azza wa Jalla ada dua macam:
- Sifat-sifat yang tidak bisa berdiri sendiri, seperti ilmu (mengetahui), qudrah (berkuasa), kalâm (berbicara), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan lain sebagainya. Ini adalah penyandaran sifat kepada Dzat yang memiliki sifat tersebut. Maka ungkapan Ilmu Allâh, kalam-Nya, qudrah-Nya, Hayat-Nya, Wajah-Nya, tangan-Nya, artinya semua sifat-sifat itu milik-Nya. Tidak ada seorangpun makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dalam sifat-sifat tersebut. Dan sifat-sifat ini sesuai dengan keagungan-Nya.
- Penyandaran dzat-dzat yang terpisah dari-Nya. Seperti rumah (bait; yaitu baitullâh), unta (naqah; nâqatullâh), hamba (abdullâh), rasul, ruh. Ini semua adalah idhâfah (penyandaran) makhluk kepada Khaliqnya, dan idhâfah (penyandaran) seperti ini menunjukkan adanya pengkhususan dan pemuliaan, artinya sesuatu yang disandarkan tersebut mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Dan Allâh menyandarkan (idhâfah) kata masjid kepada Diri-Nya sebagai penyandaran yang memuat makna pengagungan dan keutamaan, seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya. [Al-Baqarah/2:114]
Juga firman-Nya:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari akhir. [At-Taubah/9:18]
Dan firman-Nya:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allâh, maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allâh. [Al-Jinn/72:18]
Padahal semua belahan bumi dan semua yang ada di dalamnya adalah milik Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi masjid mempunyai keistimewaan dan kemuliaan. Karena masjid mempunyai kekhususan sebagai tempat pelaksanaan banyak ibadah, ketaatan, dan qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada Allâh). Jadi, masjid itu milik Allâh semata. Sebagaimana juga ibadah yang Allâh Azza wa Jalla bebankan kepada para hamba-Nya, tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya.[3]
Dan di antara idhâfah (penyandaran) ini juga adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandarkan tempat ibadah tersebut kepada Allâh dengan penyandaran yang bermuatan makna pemuliaan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بينهم ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيتْهُمُ الرَّحْمَةُ ، وَحَفَّتْهُمُ المَلاَئِكَةُ ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu diantara rumah-rumah Allâh, mereka membaca Kitabullah dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat akan meliputi mereka, para Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.[4]
Dan di antara yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan masjid adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا
Dan sekiranya Allâh tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allâh. [Al-Hajj/22:40]
Jihad disyariatkan untuk meninggikan kalimat Allâh, sedangkan masjid adalah tempat terbaik yang ditinggikan kalimat tauhid di dalamnya dan merupakan tempat ditunaikan kewajiban yang paling agung setelah dua syahadat. Oleh karena itu membelanya merupakan kewajiban kaum Muslimin.
Mengenai firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata bahwa pendapat yang paling mendekati kebenaran mengenai maknanya adalah; Allâh Yang Maha Tinggi telah memberitakan bahwa kalau sekiranya bukan karena Allâh Azza wa Jalla menolak sebagian manusia dengan sebagian manusia lain, tentu apa-apa yang disebutkan tadi telah dihancurkan. Diantara wujud penolakan yang dilakukan Allâh Azza wa Jalla adalah Allâh menghalau kaum musyrikin dari perbuatan jahat mereka dengan kaum Muslimin. Termasuk juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencegah tindakan saling menzhalimi dengan sebagian manusia, misalnya dengan seorang penguasa. Dengan penguasa, Allâh Azza wa Jalla mencegah rakyatnya dari tindakan saling menzalimi di antara mereka. ….[5]
Sedangkan Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya seandainya Allâh tidak menolak (gangguan) suatu kaum dengan kaum lainnya dan tidak mencegah kejahatan manusia terhadap sekelompok manusia lain dengan sebab-sebab yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala ciptakan dan takdirkan, tentu bumi sudah rusak dan pasti orang yang kuat sudah menghancurkan yang lemah.”[6]
Imam Baghawi rahimahullah berkata, “Makna ayat ini : sekiranya bukan karena Allâh menolak (kejahatan) sebagian manusia dengan sebagian manusia lain melalui jihad dan ditegakkannya hukum had, tentu tempat shalat pada zaman setiap nabi telah dirobohkan, tentu kanisah (gereja) tempat ibadat pada zaman nabi Musa telah dirobohkan, biara pada zaman nabi Isa dan masjid-masjid pada zaman nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7]
Barangsiapa membela masjid dan menolong agama Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala pasti menolongnya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Sesungguhnya Allâh pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allâh benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. [Al-Hajj/22:40]
Kemudian Allâh menjelaskan kriteria-kriteria orang-orang yang menolong Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allâh-lah kembali segala urusan. [Al-Hajj/22:41]
Dikarenakan besarnya keutamaan masjid, maka Allâh Azza wa Jalla menggolongkan perbuatan menghalang-halangi dari memakmurkan masjid termasuk perbuatan buruk yang paling jelek dan kezhaliman yang paling zhalim. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allâh dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? [Al-Baqarah/2:114]
Dan tidak diragukan lagi bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menghapuskan semua syariat sebelum ini dengan syariat Islam. Setelah penghapusan ini (naskh), tentu memakmurkan gereja-gereja, biara dan semua tempat peribadatan lainnya menjadi suatu yang terlarang (bagi kaum Muslimin). Dan mereka berkewajiban menampakkan dan meninggikan (kemuliaan) masjid serta menghidupkannya. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Bertasbih kepada Allâh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang [An-Nûr/24:36][8]
Mengenai keutamaan masjid yang lainnya yaitu disebutkan dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ البِلادِ إلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا ، وَأبْغَضُ البِلاَدِ إلَى اللهِ أسْوَاقُهَا
Tempat yang paling dicintai Allâh adalah masjid-masjidnya; dan tempat yang paling Allâh benci adalah pasar-pasarnya.[9]
Imam Nawawi rahimahullah berkata,”Tempat-tempat yang paling Allâh cintai dari sebuah negeri adalah masjid-masjidnya” karena masjid merupakan tempat-tempat ketaatan, terbangun atas dasar takwa. Sementara tempat yang paling Allâh Azza wa Jalla benci dari suatu negeri adalah pasar-pasarnya. Karena pasar (sering-red) menjadi tempat perbuatan menipu, riba, sumpah-sumpah dusta, melanggar janji, berpaling dari dzikrullâh dan tindakan-tindakan lain yang semakna.[10]
Imam Qurthubi rahimahullah berkata, “Tempat yang paling Allâh cintai dari sebuah negeri adalah masjid-masjidnya” artinya rumah-rumah atau wilayah yang paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla (adalah masjid-masjid-red). Karena tempat-tempat itu terkhususkan untuk melakukan berbagai ibadah, dzikir, tempat kaum Mukminin berkumpul, tempat syiar-syiar agama Allâh Azza wa Jalla terlihat jelas, dan tempat yang dihadiri para Malaikat. Sebaliknya, pasar menjadi tempat yang paling dibenci Allâh Azza wa Jalla , karena pasar dijadikan khusus untuk mencari dunia, berbagai ambisi para hamba dan berpaling dari dzikrullâh. Juga karena ia menjadi tempat sumpah-sumpah yang membawa dosa. Di sanalah terjadi pergumulan setan; dan di sana pula ia menancapkan panjinya.”[11]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang gemar memperhatikan dan memakmurkan masjid-masjid demi meraih ridha Allâh Azza wa Jalla .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari kitab beliau al-Masâjid, Mafhûmun, wa Fadhâilu wa Ahkâmu wa huqûqu wa Adâbun fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hlm. 7 – 14
[2] Lihat al-Mu’jam al-Mufahras Li alfâzhil Quranil Karîm, Muhammad Fuad Abdul Baqi, hlm. 345
[3] Lihat: Fushûl wa Masâ’il Tata’allaqu bil Masâjid karya al-Allamah DR. Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin hlm. 5. Juga al-Atsar At-Tarbawi Lil Masjid karya al-Allamah DR. Shalih Bin Ghanim as-Sadlan hlm. 4; dan al-Masyrû` wal Mamnû` Fil Masjid, karya Syaikh Muhammad bin Ali al-Arfaj, hlm. 6
[4] HR. Muslim, Kitab adz-Dzikr wad Du`â’, Bab fadhlul ijtimâ’ ala tilâwatil Quran, no. 2699
[5] Jâmi`ul Bayân `an Ta’wîli Âyil Qura’ân, 18/647.
[6] Tafsîrul Qurânil Azhîm, hlm. 901
[7] Tafsir Al-Baghawi, 3/290
[8] Lihat Tafsir Ibni Katsîr, hlm. 109
[9] HR. Muslim, Kitâbul Masâjid wa mawâdhi’us Shalat, no. 671
[10] Syarh An-Nawawi Ala ShahîU Muslim 5/177
[11] Al-Mufhim Limâ Asykala min Talkhîsh Shahîh Muslim 2/294
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6380-keutamaan-dan-kemuliaan-masjid.html